Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 2 - 01.01 Izzatunnisa (Rumahku)

Chapter 2 - 01.01 Izzatunnisa (Rumahku)

"Maria Ulfa, adik korban pembunuhan yang tubuh kakaknya ditemukan dalam kondisi mengenaskan sebulan lalu, meminta kerjasama seluruh masyarakat guna kepentingan penyelidikan."

Aku mengalihkan perhatianku dari tumpukan barang ke sudut atas ruangan di mana televisi 32 inch terpasang. Pembawa berita sedang membacakan rangkuman kejadian selama seminggu sebagai penutup akhir pekan.

Saat sebuah pembunuhan keji terjadi di sekitar kita, dunia mendadak terlihat begitu menakutkan. Para orang tua, saudara lelaki, mereka saling mencemaskan anggota keluarga mereka yang lain. Para anak gadis dipenuhi ketakutan dan perasaan was-was. Mungkin, suatu kali mereka menjadi lebih sering menoleh ke belakang saat berjalan di malam hari. Mungkin, beberapa dari mereka bahkan ada yang lebih memilih mengurung diri di rumah yang aman.

Tapi, bagiku dan banyak orang lain yang tidak tinggal di kota yang sama dengan tempat kejadian, yang hanya bisa menyaksikan peristiwa mengerikan itu dari balik layar kaca, akan tetap berpikir dunia aman sentosa dan senantiasa damai. Bahwa hal-hal mengerikan seperti itu hanya ada dalam drama-drama thriller. Cerita yang mustahil hidup dan bergentayangan di dunia nyata.

Tidak peduli bahwa kejadian itu benar-benar ada dan nyata terjadi di belahan kota lain. Tidak peduli keluarga korban dan orang-orang di sekitarnya merasakan kengerian yang teramat. Merasakan sakit dan duka yang dalam. Sementara pelaku masih hidup bebas dalam keadaan baik-baik saja, berkeliaran tanpa kekurangan suatu apa pun. Tanpa khawatir akan tertangkap.

"Jangan bengong aja kalau kerja!"

Seseorang menempelkan minuman dingin ke pipiku. Suara yang aku suka. Aku langsung kembali berpijak pada duniaku. Aku berbalik ke arahnya. Aku suka tatapannya.

"Sudah lama?" tanyaku basa-basi, padahal aku tahu dia selalu datang 5 -10 menit sebelum aku pulang.

"Hmmm ..." Dia berpikir sesaat. Mungkin sedang memperkirakan waktu kedatangannya. "Satu, dua, tiga ..." dia menghitung dengan jari-jarinya yang panjang "Lima menit," katanya sembari tersenyum. Senyum yang aku suka. Yang selalu bisa membuatku juga ikut tersenyum segelap apa pun dunia yang aku tinggali.

Dia, Ilyas Rasyid. Laki-laki yang sontak mengubah warna dalam duniaku.

Warna abu-abu di duniaku yang selama ini selalu kugambarkan, tidak lagi hanya abu-abu. Aku juga menemukan warna merah mudaku sama seperti remaja lain seusiaku. Warna-warna yang akan menghiasi pipi saat merona karena tersipu, atau warna yang sering dipersamakan dengan lambang hati.

Ilyas Rasyid, aku jatuh cinta padanya tepat ketika Ilyas menyatakan perasanya padaku.

Ketika itu, pertama kalinya kusadari bahwa aku menyukai suaranya. Ekspresinya yang malu-malu karena Ilyas menyatakan perasaannya di situasi yang tidak terduga. Aku menyukai semua itu.

Tapi ... entahlah. Mungkin saja aku yang terbiasa terabaikan ini hanya terharu saat mengetahui ada laki-laki seperti Ilyas Rasyid yang lebih dulu menyukaiku.

Aku sering meragu.

"Sini!"

Ilyas mengambil beberapa kaleng dari tanganku, menyusunnya sembarangan dalam rak, kemudian mengembalikan sisanya dalam kardus dan meletakkannya merapat di dinding dekat kulkas.

"Ayo, siap-siap! Waktunya pulang." Ilyas menepuk-nepuk tangan satu dengan yang lainnya sembari cengar-cengir penuh kebanggaan. Seolah ia baru saja membantu dunia mengatasi kekacauan.

Tapi ... meski aku sering meragu, aku suka seperti ini. Aku menyukai Ilyas Rasyid. Aku menyukai perhatiannya dan berharap ini selamanya. Yah, meski aku tahu tidak ada yang abadi.

Setelah kasir selesai menotal penjualan, kami berganti jaga.

"Hai!"

Seorang laki-laki berkacamata menyapaku saat melihatku keluar dari toko. Alvian. Anak laki-laki yang selalu mengenakan pakaian berlengan panjang. Bahkan sampai seragam sekolahnya pun berlengan panjang. 

Berkacamata dan juara kelas adalah ciri khas seorang kutubuku.

Itu benar. Alvian memang seorang kutubuku dan kau akan menemukan Alvian dan buku dalam satu paket. Tapi yang Alvian tahu bukan hanya belajar. Kacamata yang digunakan juga bukan yang berlensa tebal. Minus di matanya tidak seberapa, berpenampilan rapi, masuk tim futsal, dan jago beladiri. Jelas Alvian tidak sama seperti kutubuku kebanyakan.

Alvian Putra datang bersama Ilyas. Mereka adalah teman dekat sejak kecil dan bertemu lagi belum lama ini di SMA yang sama. Karena telah saling mengenal sejak kecil, keduanya sangat akrab dan bersahabat dengan cara yang unik.

Persahabatan yang unik karena setiap kali berbicara keduanya pasti terlibat perdebatan. Padahal kebanyakan hal-hal yang mereka perdebatkan adalah sesuatu yang tidak penting. Mereka juga sering saling memanggil dengan julukan, bukan dengan nama yang benar. Keduanya masuk tim futsal, sering nongkrong bersama, dan membahas hal-hal pribadi secara serius. Sebuah persahabatan yang melihatnya saja mampu membuat iri.

Mungkin, dibanding mencintai, aku lebih membutuhkan keberadaan Ilyas. Cukup lama aku tidak memiliki teman dekat yang bisa diajak berbagi suka dan duka.

"Bagaimana pekerjaan hari ini? Semuanya lancar?" Ilyas bertanya saat kami meninggalkan tempat kerjaku.

Sadar kini sebatang kara membuatku ingin memiliki seseorang yang bisa selalu ada untukku. Yang bisa mencariku saat aku tiba-tiba menghilang, atau menangisiku saat aku pergi untuk selamanya.

Berpikir seperti itu membuat sebagian dari diriku merasa bersalah.

Bagaimana rasanya ditinggal untuk selamanya, menanggung rindu yang tidak akan pernah terobati, aku tahu pasti sakitnya, bagaimana menderitanya. Berpikir orang lain harus merasakannya untuk kepergianku membuatku merasa teramat kejam.

Kuputuskan untuk hanya mengandalkan diriku sendiri. Untuk tidak akan merepotkannya dengan segala rengekan atau hal-hal remeh-temeh tentang kehidupanku. Karena bagiku, keberadaannya di sisiku saja sudah lebih dari cukup. Lebih dari membahagiakan.

"Baik. Ada kejadian lucu tadi." Aku mulai bercerita.

Kami jalan bertiga. Masuk dalam gang, melewati jalan setapak, dan menaiki tangga yang tidak terlalu panjang. Sembari membawakan belanjaanku, Ilyas juga bercerita mengenai berbagai hal dengan gaya bicaranya yang penuh semangat dan antusias. Sesekali Alvian menanggapi dengan sindiran dan mereka pun berdebat panjang lebar.

Sebenarnya Alvian tipe yang lebih pendiam, karena begitulah seorang kutubuku. Hanya saja Alvian selalu tahu cara memposisikan diri saat bergaul dengan seseorang.

Ini menyenangkan. Aku selalu menyukai situasi seperti ini. Langit malam, rembulan yang mengintip malu-malu di balik awan yang berarak, lampu jalan yang temaram, menapaki langkah demi langkah perjalanan pulang, cerita-cerita Ilyas, suara gelak tawa, sampai bayangan tubuh kami yang saling mengejar. Aku menyukainya sebagai penggenap hariku, ucapan selamat malam pada usainya ceritaku untuk hari ini, bersama orang yang kusukai dan segala hal tentangnya.

Ilyas mengembalikan kantong belanjaanku.

Terima kasih," ucapku. "Alvian, terima kasih." Aku beralih pada Alvian yang berada tidak jauh dari tempat Ilyas berdiri.

"Selamat malam," Ilyas berkata.

Aku mengangguk.

"Selamat istirahat."

Aku mengangguk.

"Mimpi indah."

Lagi, aku mengangguk. Kemudian melambaikan tangan, "Hati-hati!"

Dan ceritaku bersama Ilyas benar-benar selesai untuk hari ini, di lembar ini, bersama senyumnya, kata 'mimpi indah'-nya, lambaian tangananya, dan gambaran punggungnya yang bergerak selangkah demi selangkah semakin menjauh.

"Selamat malam, selamat istirahat, semoga mimpi indah." Aku berkata pada semilir angin yang berembus lembut ke arahnya.

Dan ... selamat datang di kehidupan keduaku yang sunyi dan rumahku yang kosong.

Dalam segala situasi, aku selalu menghindar pulang ke rumah. Tapi, saat malam tiba tidak ada lagi tempat yang bisa kudatangi selain pulang ke tempat di mana tidak ada siapa pun di dalamnya. Berhadapan dengan tembok-temboknya yang dingin dan cerita-cerita menyedihkan tentang segala kenangan mengenai rumah ini.

Sebenarnya tidak semuanya menyedihkan. Bagaimanapun sebuah keluarga yang hangat pernah berdiam di tempat ini. Pernah berbagi kasih sayang di bawah atap yang sama. Yang membuatnya menjadi menyedihkan, karena baik itu kenangan yang menyakitkan atau pun kenangan yang membahagiakan, semua hanya sebatas kenangan.

Dadaku mulai bergemuruh.

Aku tidak mau ucapan 'selamat malam', 'selamat istirahat', dan 'mimpi indah.' Aku tidak mau ditinggal sendiri dalam rumah yang kosong. Dikelilingi kenangan menyakitkan dan menyedihkan. Hal-hal indah tentang kasih sayang dan kehangatan keluarga hanya menjadi gambaran masa lalu. Aku tidak mau merasa sesak di sini seorang diri, menangis.

Tapi aku bisa apa? Hanya rumah ini yang aku punya. Hanya di tempat ini aku bisa tetap merasakan kehadiran keluargaku yang utuh.

Rumahku, dari kejauhan dia juga terlihat begitu kesepian. Seolah menghabiskan banyak waktunya hanya untuk menungguku pulang. Karena ia juga hanya punya aku.

Menjadi takut untuk pulang membuatku takut untuk tidak akan pernah kembali lagi. Kebahagiaanku bersama Ilyas juga membuatku takut menjadi lebih bahagia dan akhirnya melupakan kesedihanku, melupakan keluarga yang kini sepenuhnya hidup hanya dalam kenangan yang carut-marut dalam benakku.

Manusia hidup akan mengalami berbagai kejadian setiap harinya, setiap minggu, bulan, tahun. Sesuatu yang menyedihkan, membuat kecewa, menyenangkan, menambah semangat. Waktu kemudian berlalu dan menumpuk setiap kejadian itu dalam sebuah kenangan. Seiring berputarnya waktu segala kenangan akan memudar. Seperti itulah manusia yang memikul kesedihan mampu bertahan.

Bagaimana jika aku terlalu banyak menumpuk kenangan sehingga kenanganku yang lain memudar dengan cepat dan menghilang? Bagaimana jika aku tidak lagi merasa sedih karena kehilangan keluargaku? Bagaimana jika waktu benar-benar merampas semua ingatan itu dan mengaburkannya? Bagaimana aku masih pantas hidup jika sampai kehilangan keluargaku untuk yang kedua kalinya.

Aku takut, sangat takutnya hingga tidak mau lagi berpikir. Tidak mau bertanya untuk sesuatu yang tidak kutahu jawabnya.

Aku kembali menangis, meringkuk di sudut kamar orang tuaku yang kubiarkan tetep gelap. Menyesapi aroma mereka yang semakin pudar.

Di tengah kesendirian pada kesunyian tidak tertahankan ini, mendadak aku begitu merindukan Ilyas. Merindukan keluarga dan kehidupanku yang lalu.

[]