Terlepas dari hasil akhirnya, aku senang semuanya telah berakhir, ia sempat memujiku walaupun pada akhirnya aku hanya berkontribusi cukup kecil padanya. Aku sempat panik ia akan kesulitan rupanya itu cukup mudah, kemarin seusai pertarungan tersebut aku bertanya kenapa waktu itu dia bisa sekarat waktu pertama kali bertemu denganku, rupanya sebelumnya ia melawan raja iblis dan 5 jendral iblis sekaligus, jadinya waktu itu energinya benar-benar telah habis. Untung saja aku datang setelah pertarungan Tirta hampir usai, jika tidak mungkin aku sudah tak ada sekarang ini.
**
Hari berikutnya di sore hari, aku kembali belajar membaca secara mandiri, sementara di depan ada Tirta yang sedang menulis di depanku. Ia terkadang menulis beberapa hal yang dialami dalam perjalanannya.
"Kau sedang menulis apa Tirta?" tanyaku memecah keheningan.
"Sejarah suatu peradaban."
"Apa kau tidak punya kemampuan menuliskannya secara instan?"
"Mikka, apa kau mengerti bagaimana cara menikmati hidup?"
"Em ... Baiklah?"
"Maksudku, ketika kita melakukan sesuatu secara instan, maka itu berarti kita menghilangkan salah satu esensi di dalamnya."
Kurang lebih itu seperti bagaimana kita mencapai sesuatu. Ada sebuah pembelajaran di dalam suatu proses, dimana kita tidak bisa menemukan hal itu jika kita tidak mengalami seperti halnya teori tanpa praktek. Kurasa itu yang ia maksud.
"Seperti halnya ketika makan, bisa saja aku mentransfer makanan itu langsung ke perutku."
"Tapi kau tak dapat merasakan rasa makanan itu kan?"
"Iya. Itu mengingatkanku pada sebuah negeri."
Tirta bercerita ketika ia berada di dunia tertentu, sebuah negeri yang dihuni banyak ras yang ceritanya berfokus antara negeri manusia dan negeri elf. Negeri manusia terkenal dengan hidup yang santai, masyarakat yang ramah dengan segala hal terpenuhi karena wilayah yang subur, namun teknologi disana tidaklah maju. Lalu satunya lagi adalah negeri para elf dengan kemajuan teknologi yang tinggi, hidup yang sangat terstruktur namun penuh dengan persaingan karena wilayahnya kurang subur. Tapi negeri para elf adalah negeri yang kuat sehingga negeri lain pun akan berpikir dua kali untuk membuat masalah dengan negeri tersebut.
Suatu ketika negeri manusia sudah lelah dengan ketebelakangan teknologi, meskipun rakyat mereka cukup terpenuhi kebutuhannya. Jadi pemimpin mereka melakukan revolusi besar-besaran, sebagian besar rakyat juga setuju karena dengan begitu mereka akan menjadi negeri yang kuat, mereka mulai belajar dari bangsa elf, membangun wilayahnya. Lalu bangsa elf pun mulai berdatangan ke wilayah mereka untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tapi banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh para manusia sendiri, sebagian mulai tersiksa karena gaya hidup yang amat berbeda. Elf memiliki etos kerja yang sangat keras, sehingga para manusia mulai tak bisa beradaptasi, lalu sebagian dari mereka tersisihkan hidupnya. Rakyat mulai banyak yang mengeluhkan soal kehidupan yang keras dan wilayah yang semakin tak subur karena industri-industri yang dibangun tidak ramah terhadap lingkungan. Tapi pemerintahan di negeri para manusia tetap membangun seperti negeri para elf. Dan berkata bahwa manusia yang tidak mampu mengikuti perkembangan zaman adalah pemalas, mentalitas manusia perlu dirubah. Pada akhirnya semakin banyak elf yang hidup di negeri para manusia, karena para manusia tak mampu bekerja seperti para elf yang memiliki banyak tenaga dan berumur panjang.
Setelah beratus-ratus tahun kemudian, akhirnya negeri para manusia mampu bahkan lebih kuat dari negeri para elf, tapi para manusia sudah tak tersisa di negeri para manusia tersebut. Negeri itu memang menjadi negeri manusia yang kuat, namun ketika menjadi negeri kuat yang didambakan oleh para manusia, para manusianya sudah tidak lagi menghuni di tempat itu. Hanya tersisa para elf.
"Itu terdengar cukup ironis."
"Ya, padahal bisa saja para manusia itu menunjukkan kelebihan mereka agar negeri lain tunduk pada mereka tanpa harus meningkatkan teknologi," ucap Tirta.
"Kelebihan?"
"Ya, kehidupan santun dan santai mereka, itulah kelebihannya. Tapi, negeri mereka juga sangat rentan meskipun mereka melakukan yang kubilang itu, mereka juga akan hancur dengan cara yang berbeda."
"Sudah seperti maju akan tercebur ke laut, sementara mundur akan terkena ranjau, apapun pilihannya mereka akan akan hancur begitu bukan?"
"Tidak juga, kalau aku yang memimpin mereka," senyumnya dengan penuh percaya diri.
Mentang-mentang ia kuat dan terlihat berpengalaman dengan mudahnya berkomentar seperti itu, Tirta tidak berkaca akan negerinya sendiri yang juga hancur. Tapi kelihatannya perkataannya hanya sebuah candaan.
"Kalau begitu aku juga bisa memimpin negeri mereka."
"Mikka, kau terlalu percaya diri."
"Bukankah kau juga begitu."
"Itu harus karena sebagai seorang pemimpin seseorang harus memiliki ketegasan dan keputusan yang tepat."
"Bukankah itu namanya standar ganda?"
"Standar ganda? Tentu tidak, aku punya banyak sertifikat keahlian disini, dan memiliki pengalaman memimpin negara berpuluh-puluh tahun, bagaimana denganmu?"
Ia menampilkan beberapa tulisan-tulisan seperti piala penghargaan yang tak kumengerti karena bahasanya, ia memunculkannya lewat portal yang entah mengarah kemana. Kalau aku, tentu saja tidak ada, hanya pengalaman formal pendidikan dan pekerjaan selama beberapa tahun, itupun mendapat pemecatan karena sebuah kesalahan.
"Hei Mikka, jangan sedih, setidaknya kau sudah berkembang selama beberapa minggu ini ditambah lagi kau mendapatkan layanan istimewa dari ratu sepertiku."
"Hiburanmu itu terdengar seperti ledekan."
Tiba-tiba ia memegang kedua tanganku, cukup mengagetkan tapi aku serasa seperti mendapat sebuah penghargaan darinya. Seolah ia memang mengharapkan kehadiranku.
"Jangan khawatir, aku percaya padamu. Lagipula aku memiliki misi untukmu."
"Misi?"
*****