Adit meletakan ransel diatas lantai sebuah hunian yang baru ia masuki dan telah di sepakati akan menjadi tempat tinggal barunya kini.
Tempat itu tak sebesar hunian lamanya namun tak sesempit kamar penjara yang kemarin masih ia tempati.
Adit melepas hoodi yang ia kenakan dan di letakan benda itu di sofa. Ia beranjak membuka tiap pintu kamar rumah barunya. Hanya ada empat pintu di dalamnya, 2 kamar tidur kecil. Kamar mandi dan pintu balkon. Sempit namun ini termasuk luas sebab akan Adit tinggali sendirian.
Pilihan Adit untuk tinggal jatuh pada sebuah bangunan Rususnawa ( Rusun untuk sewa) di kawasan pinggiran kota Jakarta. Tempat yang sempurna tuk awali hidup baru dan lupakan masa-masa kelam yang telah lalu.
Adit tidak mau menyia-nyiakan kebaikan Johan yang buat Adit bebas lebih cepat, jauh dari tuntutan jaksa yang bahkan menuntuk hukuman lebih dari sisa usia Adit.
Tiga tahun dalam bui sungguh Adit rasa sangat tidak sepadan dengan kejahatannya pada keluarga kecil Johan. Ia hanya dikenai pasal peneranhan sampai mengakibatkan luka berat pasal 358 KUHP yang menuntutnya 2 tahun 8 bulan. Padahal kesalahan Adit lebih-lebih banyak pasal yang seharusnya menjerat.
Adit membuka pintu balkon dan berdiri di tepi. Tersenyum tipis menikmati sapuan angin yang menyapa wajahnya lembut, lengkap dengan bentangan alam kota Jakarta yang terlihat damai dari ketinggian. Tuhan sangatlah hebat menciptakan semua keindahan ini maka amat sayang jika Adit lupa bersyukur hari ini.
Penjara sungguh berdampak pada Adit. Adit kian ingin perbaiki pribadinya lebih dan lebih baik lagi. Atas begitu banyaknya waktu pemberian tuhan yang Adit telah sia-siakan.
Adit ingin membayar semua dengan banyak bersyukur dan berbuat baik. Mungkin dengan begitu nanti Tuhan akan berkehendak beri takdir indah bagi hidup Adit yang masih hampa.
Adit pindah ke wilayah ini sebab seorang temannya memberi info bahwa ada pekerjaan kosong untuknya tatkala Adit iseng menyapa di dalam chat basa-basinya kemarin.
Sebagai seorang penjaga Apotek, itu pilihan terbaik untuk pria dengan latar belakang dunia medis dan kini tengah berada di situasi krisis identitas. Hendak gunakan ijazah kedokterannya atau tidak.
Di saat Adit masih merasa dirinya lebih pantas disebut seorang kriminal daripada seorang yang bisa menolong orang lain.
Adit mematut dirinya di cermin, mengenakan Jas biru mudanya. Adit saksikan dirinya tampak gagah dengan celana putih diatas mata kakinya. Buat Adit tampak berusia lebih muda dari hari-hari kemarin.
Rambutnya telah dipangkas rapi tak lagi gondrong seperti orang stress. Tak luput pula bulu-bulu halus di sekitar rahangnya kini telah tercukur habis.
Sempurna, kini Adit terlihat tampan seperti ia seharusnya.
Di kenakannya ransel hitam kulit legendaris miliknya lalu ia siap berangkat dengan menenteng dua bungkus parsel kecil berisi ragam kue. Etika sebagai orang baru pindah.
Dua hari kemarin Adit terlalu sibuk berbenah rumah lalu beristirahat lama. Maka ia belum sempat menyapa para tetangga.
Diketuknya pintu rumah bernomor 195 itu, tak lama terbuka dan seorang wanita paruh baya berdaster muncul. Sesaat ibu itu terdiam bisu menatap pria yang baru mengetuk pintu rumahnya.
Adit terseyum manis di tengah kecanggungannya di pandangi sangat fokus seperti itu.
"Selamat pagi ibu, maaf mengganggu. Saya... Hanya ingin menyapa. Kebetulan saya penghuni baru di unit 194. Ini ada sedikit pemberian dari saya. Dan... Senang bertemu dengan anda."
"Oh jadi kamu penghuni baru 194? Oh iya-iya sama-sama saya juga senang berjumpa kamu. Saya kira tadi sales atau siapa haha. Ternyata tetangga baru. Saya Ayu panggil aja kak Ayu yah jangan ibu." Adit cengengas-cengenges ganteng.
"Tinggal sama istri? Kok istrinya ga ikut?" Tanya si tetangga yang mulai kepo.
Masih dengan senyuman tampan Adit menggeleng dan segera membersihkan tuduhan tak mendasar itu. "Tidak, saya tinggal sendirian."
Mendengar Adit si tetangga lantas membola exited dan berujar. "Yaampun sendirian! Duh sepi dong yah. Merantau apa gimana? Istrinya tinggal di kampung yah?"
Adit mengerjab rada kaget ia lagi-lagi di tuduh tanpa bukti. Ia menggeleng dan berujar pelan.
"Tidak, saya memang belum menikah."
Lantas makin seger saja. "Kalo gitu kapan-kapan main saja kemari. Anak-anak saya bisa diajak main untuk jadi teman, biar ramai."
Adit merasa mulai kurang nyaman dan sadar ia harus lekas menghilang dari sini.
"Ah iya ibu, terima kasih "
"kok Ibu sih, Ka~ kak!"
"Ah iya maaf. Kak Ayu... Kalau begitu saya pamit yah, saya harus berangkat bekerja."
"Oh ya ya. Hati-hati yah. Saya juga berterima kasih atas hadiahnya."
Berpindahnya parsel itu dari sisi Adit jadi penanda harus segera berakhirnya basa-basi ini.
"kalau begitu saya permisi yah." Dan usailah semua tugasnya. Adit berbalik dan melihat jam tangannya. Sudah mepet ternyata lantas ia segera bergegas pergi bekerja.
Hari pertama bekerja selalu menjadi moment mendebarkan. Padahal Adit telah lalui moment seperti ini berkali-kali namun semua hal pertama kali pastilah selalu jadi spesial. Termasuk bagi pria berusia 34 tahun ini.
Adit berjalan cepat melewati gang sempit yang hanya muat dilalui dua orang itu pun dengan berhimpitan. Adit yang tengah berkutat dengan pesan dihandphonenya tak terlalu memerhatikan jalan. Hingga tak tau jika ada orang lain yang melewati gang itu. Tau-tau Adit di tubruk dari belakang oleh seorang anak laki-laki berseragam SMP.
"Ah Om! Buruan kek kalo jalan, gue buru-buru ni! Udah siang juga!" lantas Adit segera minggir sembari berujar kata maaf.
"Iya-iya maaf juga gue, buru ah isss!" si Bocah sedikit mendorong Adit ketika melewati tubuh nya dan tanpa menampilkan raut sopan sedikitpun.
Adit yang untuk beberapa saat Jantungnya berdetak cepat itu kembali berjalan tapi sekali lagi dia di kagetkan suara tak terduga dari arah belakang.
"Woi berenti lo! Awas-awas om Minggir ih Om! " Tangan itu mendorong punggung Adit hingga merapat dinding agar menyisahkan ruang untuk tubuh berbaju orange itu lewat.
Seorang wanita suaranya, ia berlari melewati Adit tanpa dosa. Ditambah berteriak-teriak dengan suara melengkingnya.
"Si Bajing lo yah! Kaga kapok-kapok!" Entah mengapa anak berseragam SMP yang tadi menubruk Adit langsung panik dan kelibukan mau kabur begitu melihat wanita berserang olahraga orange itu berlari kearahnya, garis bawahi Berlari dengan kencang.
Tak butuh waktu lama gadis itupun berhasil menarik kerah belakang anak SMP yang langsung merengek minta di lepaskan.
"Ketangkep lo! Lo tu yah butuh berapa kali sih di kasih pelajaran. Kaga kapok-kapok juga lo! Liat ni yang lo pake apa? Sekolah yang pinter! Baju da bener tapi kalo ni tangan di pake nyolong mah kaga ada gunanya! Pagi-pagi da nyopet lo di kasih duit jajan ga sih lo? Mau gue mintain ke babeh lo? " gadis itu menoyor-noyor kepala anak yang kini telah ia piting kepalanya.
"Ah kaga-kaga jangan Babeh gue. Mati gue yang ada digebukin dia. Iya emak gue ngasih duit jajan kok. Kaga perlu lapor-lapor babeh gue ye. Lepasin gue kali ini aja mpok! Ga bakal ngulang lagi gue!"
"kapok ga lo?"
"Iya kapok-kapok mpok. Ampun ih!"
"Yang bener?"
"Iye!"
Si gadis tersenyum puas masih sambil menoyor-noyor kepala anak laki-laki yang lehernya ia apit dengan lengan di samping perutnya.
"Sini gue jewer kuping lo dulu ampe panjang."
"Jangan mpok ah, sakit ih!"
"Siniin dompetnya!!"
"Nah-nah-nah ambil nah!" anak SMP itu mengeluarkan sebuah dompet dri sakunya.
"Bagus." akhirnya si gadis melepas bocah malang itu setelah tak lupa ia memukul kepala si pencopet kecil itu dengan dompet hasil curiannya yang gagal.
"Dah sono berangkat! Sekolah yang bener lo biar punya dompet tebel kayak gini." Bocah SMP itu bersungut-sungut mencebikan bibir. Mengolok si gadis berseragam olahraga orange.
"Dasar lu Mpok gangguin mulu! Mau punya dompet tebel mah gampang . Tinggal nyopet aja yang banyak! Udah tu nemu duit yang banyak, huh!!!" dan anak itu pun langsung berlari kaki seribu setelah berQuote indah.
"Sih dasar lu Bakul!" nyolot si gadis itu dengan gestur menendang anak yang telah kabur itu.
"Hmm." menormalkan nafas gadis itu kemudian memungut tasnya yang tadi ia buang karena sibuk menangkap anak yang ia panggil bakul. Sedangkan Adit yang sedari tadi hanya diam memerhatikan bergerak pelan-pelan melewati macan betina itu. Jujur Adit masih asing dengan kehidupan Jakarta yang seperti ini. Sudah lama hidup liarnya berakhir.
Sejak menjadi Dokter, hidup Adit hanya ia habiskan dilingkup Formal dan lurus-lurus saja sampai ia di penjara.
Adit berlalu begitu saja melewati gadis orange itu sampai ia merasa dirinyalah Orang yang di panggil gadis itu.
"Kamu memanggil saya?" tanya Adit menunjuk wajahnya bingung.
"Iyalah! Jadi siapa lagi?" gadis itu berjalan kearah Adit.
"Ni punya lo kan?" Adit melihat benda yang diulur gadis itu padanya. Sebuah Dompet yang amat familiar.
"Kok, ini mirip..."
"Ceklah, dompet lo pasti ga ada. Dan ini emang beneran dompet lo. Nah ambil. Buruan! Gue mau sekolah ini."
Adit memicing aneh. Ia tidak suka dengan perilaku gadis itu yang sepertinya sudah kebiasaan untuk tidak punya sopan santun serta tata krama.
Tapi Adit tetap mengambil dompetnya. Ia tak habis fikir bagaimna mungkin dirinya bisa kecopetan dan tak menyadarinya sama sekali.
"Terimakasih..."
"Kalo gitu kasih gue duit."
Sumpah Adit kaget dengan ucapan tiba-tiba gadis itu. Bukan berarti Adit pelit hanya saja Adit merasa Kalimat Gadis itu barusan tidak normal.
"Katanya lo berterima kasih kan? Kalo gitu kasih reward dong."
"I-iya... Tentu. Mau berapa?"
"Cih Songong amat. Kalo lo nawarin gitu yah... Seratus atau dua ratus rebu kek. Tapi jangan anggab gue malak yah. Ini mah imbalan buat gue kalo elo emang ngerasa syukur."
"Iya, saya berterima kasih sama kamu." mengulas senyum hangat Adit mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah. "Ini ambilah."
Si gadis tersenyum lebar "Widih! Beneran ni?! Om banyak duit ternyata orang baik hati rupanya, ga nyesel gue keringetan begini. Thanks yah om! Senang berbisnis dengan anda." gadis itu lantas mengambil uangnya dan segera beralih pergi.
"Gue duluan Om, kapan-kapan ketemu lagi, Oke?!" gadis itu berlarian menyusuri jalanan sempit perumahan padat tanpa menyadari sebuah benda jatuh dari tasnya. Adit menghampiri benda itu dan mengambilnya.
Ternyata itu sebuah gantungan kunci kaca bertulis satu kata "Winty..." Ujar Adit pelan membaca kata yang terukir di benda itu.
Tersenyum tipis Adit kembali menatap gadis berambut ekor kuda yang kelakuannya blangsak dan Tomboy itu.
"Winty?" ujarnya pelan sambil memicing mata penuh tanda tanya.
"Namanya...?"
BERSAMBUNG....