Rutinitas harian Adit adalah bekerja di sebuah Apotek besar yang letaknya tepat berdampingan dengan sebuah rumah sakit ternama. Adit selalu mendapat shift kerja pagi hingga sore sebab ia tak mau ambil resiko atau terlalu over bekerja sampai lembur.
Perihal uang Adit tidak terlalu khawatir. Uang hasil penjualan Apartemen kala itu mencapai nominal yang cukup memuaskan. Jadi untuk beberapa waktu Adit ingin fokus menikmati hidupnya.
Membayar apa yang dahulu tidak pernah ia lakukan. Yaitu mensyukuri hidup tenang setiap harinya.
Adit turun dari Transjakarta, menenteng minuman yougurt yang tinggal separuh. Adit menyusuri jalanan perumahan padat untuk pulang kerumah. Lelah memang, namun Adit lebih senang berjalan kaki saat pulang bekerja seperti ini. Apalagi bisa sembari menyaksikan beragam interaksi orang-orang di sekelilingnya. Kehidupan sosial yang majemuk dan beragam. Apalagi saat melewati lapangan futsal tepat didepan gerbang masuk kawasan rusun. Ia akan di sambut riuh suara pemuda-pemuda tanggung yang tengah asik bermain futsal.
Adit menghentikan langkah dan mampir pada pedagang sate, ia memesan dan duduk di salah satu kursi sambil menyaksikan pertandingan futsal di dalam lapangan yang di pagari teralis tipis itu.
Ini bukan pertama kalinya Adit duduk menonton, walau seringkali Adit hanya sekedar lewat dan berlalu. Namun yang ia perhatikan dan cari-cari setiap hari selalu sama.
Seorang wanita berambut ekor kuda yang paling mncolok di antara pria-pria yang sibuk berlarian mengejar bola itu. Entah mengapa Adit senang melihatnya, gadis itu tampak sangat bersemangat.
"Kak Eza! Kak Eza! Lempar ke gue! Gue! gue! Gue disini! Oper-oper!!" teriak Winty menggebu-gebu pada salah satu pemuda didalam regunya . Dan akhirnya di kabulkan dengan mudahnya, sepertinya ia sudah punya jam terbang yang tinggi sebagai pemain futsal di timnya.
Tak butuh waktu lama sejak Winty menguasai bola hingga Gol berikutnya terjadi.
"Golllllllllll!!!" tendangan Winty lagi-lagi tepat sasaran hingga ia mampu membobol gawang lawannya sekali lagi semua bersorak girang dalam grubnya.
Tak terlihat namun disini, di balik pagar tinggi lapangan Futsal Adit tersenyum turut bangga melihat mereka. Ia lekas bangkit dan membayar sate pesanannya yang sudah jadi. Adit pun segera bergerak tuk sungguhan pulang setelah tenang bisa menonton selebrasi gadis itu bersama teman-temannya yang kesemuanya pria itu.
Namun tepat saat Adit melewati pintu masuk lapangan futsal yang tak tertutup, sebuah bola dengan cepat melesat terbang hingga jatuh menyenggol pundak bagian kiri Adit.
Tentu yang jadi korban ini terkejut. Tak lama seseorang dari para mahkluk di dalam lapangan keluar.
"Maaf-maaf om! Kaga sengaja gue."
"Aww..." Adit mengelus sebentar bahunya yang terasa perih karena baru dihajar bola sembari menyeka Jejak si kulit bundar di lengan kemejanya sebelum mengambil bola itu dan berbalik menghadap yang berbicara.
"Iya gapapa..." Ujar Adit kalem.
"Loh! Elo... Om banyak duit kan? Sakit yah Om? Beneran sorry yah gue ga sengaja."
"Iya..." Adit mengulur bola itu ke arah Winty dan bersambut.
"Beneran gapapakan?"
"Hmm sebenernya sakit sih, kalau saya minta ganti rugi, kamu bisa beri apa?
"Eum... Gue yah cuma bisa kasih permintaan maaf doang. Extra maaf deh. Meski gue kaga sengaja. Beda yah kalau gue sengaja ngelempar ke elo baru lo berhak nuntut." ujar Winti sok iya.
"Tapi kan rasa sakitnya sama dan bagaimanapun itu tetap salah kamu kan?"
Winty terdiam.
"Saya heran, mengapa kamu wanita sendirian tiap hari bermain dengan gerombolan pria seperti mereka."
"Emang kenapa? Mereka mah temen-teman gue dari orok. Emang Biasa main ama mereka gue mah. Lah tapi kok lo sewot dah, meratiin amat gue main ama siapa aja tiap hari--"
"WINTY!"
Seru suara bariton dari balik tubuhnya. Winty menoleh dan melemparkan bolanya. "Iya gue nyusul kak!"
"Om udah ah gue balik ya! Lagi seru-serunya ni. Sumpah gue ga sengaja loh yah. Beneran sorry om!" Winty lantas berbalik hendak pergi.
"Winty tunggu..." Entah mengapa Adit merasa sedikit kecewa dengan singkatnya percakapan mereka hingga tanpa sadar bibirnya mengucap nama gadis itu.
"Iya? Apaan lagi om?"
"Ah... Hmm apa?" Mampus, Adit yang tidak pintar basa-basi ini harus beri jawaban apa? Ajak ngobrolin perekonomian atau hukum-hukum di indonesia? Ah kok Adit malah jadi ngeblank begini? Seingatnya ia anak pintar. Cek saja IPK Adit selama kuliah tidak pernah di bawah 3.0 tapi mengapa sekarang ia jadi bloon begini?
"Hmm... Nama kamu Winty kan?" bersyukurlah karena otak Adit untung masih rada pintar.
"Tau dari mana lo?" tak menjawab Adit hanya tersenyum penuh arti.
"Ternyata benar nama kamu Winty yah..."
"Paan sih. Emang kenapa? Aneh? Asal lo tahu lebih anehan lo yah senyam-senyum kek orang cacingan. lo pikir lo ganteng banget? Yah walau emang ganteng sih. Ah buruan deh lo mau ngomong apa?"
"Itu..." Adit menggeleng kalem. "lain kali lagi yah... Sampai jumpa." Adit langsung saja berbalik dan melangkah mantap meninggalkan Winty.
Winty yang terlanjur penasaran jadi geram sendiri karena pertanyaannya tidak dijawab malahan si tinggal pergi. Baru selangkah hendak menahan Adit, sebuah tangan menyergah pundaknya. Winty pun lantas menoleh.
"Kak Eza..."
"Kenapa Win? Orang itu marah yah? Kok lama banget kalian bicaranya?"
"Enggak sih kak. Cuman... Gaje aja tu orang. Katanya mau ngomong sesuatu tapi bukannya ngomong malah senyum sok bego trus pergi... Asli mancing emosi banget tu orang."
"Udah-Udah Win ga usah diperpanjang. Menurutku sih emang kamunya yang emosian ga perlu dipancing juga kamu udah gahar haha"
"Ih kak Eza ih, malah ikutan nabur bensin. Winty bakar juga ni!!"
"Etdah sabar-sabar Win, becanda doang ih. Udah yuk balik main, penentuan ini babak Akhir loh. 10 menitan lagi kita pulang. "
"Tapi kak... Kok orang itu tau nama gue yah? Dia jelas nyebut Winty... Padahal kan yang manggil gue Winty cuma..."
"Mungkin tadi dia denger Aku manggil kamu Win... Ga usah dipikirin. Ayo!"
"Tapi..." pria bernama Eza itu merangkul pundak Winty yang masih terpaku menatapi punggung Adit yang kian jauh itu. Eza pun melihat ke arah Adit dengan rasa tak suka.
BERSAMBUNG...