KINI, mereka sudah sampai di tempat tinggal barunya. Tidak begitu besar, namun tidak terlalu kecil juga. Cukup ditinggali berdua dengan fasilitas seadanya. Bella maupun Simon, mereka tampak bahagia sambil melihat langit-langit tempat itu.
Simon menyentuh jendela dan meja di depannya membuat debu halus menempel di jarinya tersebut. "Kita hanya perlu membersihkannya, bukan? Ini sudah malam, tapi aku tidak nyaman jika harus tidur di rumah yang kurang bersih ini," ujarnya sambil menutup hidungnya, takut jika debu-debu yang melayang masuk ke rongga hidungnya.
"Aku pikir kamu mengantuk tadi. Jadi, aku tidak tega jika harus membersihkan ini sekarang," balasnya dengan sedikit cercaan. Disusul dengan mulutnya yang melengkung membuat senyuman damai.
"Tidak. Aku hanya lelah. Aish, dasar nenek sihir itu! Kenapa harus mengusir kita malam-malam? Kenapa tidak menunggu pagi dulu? Ah, dia benar-benar wanita jahat," umpatnya dengan menggertakan giginya.
Mendengar hal itu, Bella malah menahan tawa nya. Alih-alih sedih di usir, dia hanya sedih di usir malam-malam. Lucu sekali adiknya. Bahkan, Bella tak berhenti menahan tawanya. Kemudian, meledak.
"A-hahaha. Kamu ini aneh. Kamu benar-benar tidak sedih di usir olehnya?" tanya Bella yang masih tertawa.
"Aku tidak sedih. Asal bersama kakak," balasnya dengan gengsi.
"Cih, ayo kita bersihkan," ajak Bella.
Dua saudara tersebut, membersihkan seluruh ruangan. Lagi-lagi, mereka bisa tertawa dimana saja. Saling melempar lap, bertarung dengan sapu layaknya pedang, berjalan dengan baju yang akan mereka rapikan ke lemari layaknya model.
"Wah, Simon! Kamu sudah seperti model," ucapnya yang terpukau melihatnya berjalan layak model. "Lihat aku," sambungnya sembari meniru model yang dia lihat di internet.
Di tengah sunyinya malam, tawa Simon bagaikan petir yang mengejutkan. "Hahaha. Kamu malah mirip orang yang mau memukul. Apalagi, lihat wajahmu. Hahaha. Kacau sekali. Sudahlah, kak. Kamu tidak berbakat," ejek laki-laki berumur 21 tahun tersebut.
Namun, memang benar. Bella payah untuk menjadi model. Dia malah seperti akan menyerang lawan. Tidak dengan adiknya. Postur, ekspresi, dan langkah kaki sangat tepat dan juga menawan.
"Aish, dasar adik gila! Kalau begitu, bantu aku mencari uang dengan wajahmu itu," sentaknya yang membuat bulu kuduk Simon berdiri.
"Tidak mau. Aku mau mencuci piring saja seperti biasanya," balasnya acuh.
Selain kuliah, Simon melakukan pekerjaan pencuci piring di sebuah restoran yang tidak begitu mewah, guna menambah uang sakunya. Simon memang mendapatkan beasiswa Kedokteran. Namun pada kenyataannya, ada biaya lain yang harus dibeli. Bella sudah menegurnya supaya fokus saja pada studinya. Namun, Simon kekeh ingin membantu kakaknya itu, setelah ayahnya tidak ada.
Setelah menyelesaikan bersih-bersih rumahnya, Mereka pun duduk dan melanjutkan obrolan. Orang bilang, obrolan seseorang akan semakin dalam jika sudah memasuki tengah malam, bukan? Entah ini benar atau tidak. Tapi, mereka memang seperti itu saat ini.
"Mau melihat bintang?" ajak Bella sambil menarik simpul bibirnya.
"Tidak," balas Simon singkat.
Bella memutar bola matanya. "Aish, dasar tidak menyenangkan," kata Bella yang sedari sudah menduganya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Simon.
"Hm? Maksudmu setelah di usir ibu?" tanya Bella kembali.
"Jangan panggil dia Ibu. Ibu kita sudah meninggal," katanya dengan darah merangkak naik. "Aku tidak menanyakan itu juga. Aku bertanya bagaimana perasaanmu terhadap Josh. Kamu melihatnya, bukan? Aku sudah bilang dia selingkuh. Kamu saja tidak mau percaya," kata Simon dingin.
"Ah, aku percaya sekarang. Aku hanya masih tidak menyangka. Ternyata, Cindy menyukainya," jawabnya pasrah.
"Dia selalu merebut milikmu sejak kecil dan kamu selalu mengalah. Aish, kenapa kamu selalu mengalah? Itu membuatku muak! Jangan mudah kalah seharusnya. Kakak juga jangan terlalu baik! Nanti bisa dimanfaatkan!" Simon berkata seperti itu, dengan rahang yang mengeras dan urat yang timbul.
"Aku hanya kasihan," kata Bella.
"Jangan sembarang mengasihani! Mulai sekarang!" sentak adiknya tersebut.
"Simon, kamu sekarang mirip ibu, ya," canda gadis itu yang mencubit pipi gemas adiknya.
"Kamu juga mirip ayah. Lugu! Ah, bagaimana ayah bisa jadi CEO selama ini? Aku tidak habis pikir," ucapnya yang terheran-heran.
"Itu karena ayah pintar," jawabnya lalu menepuk bahu Simon.
"Tapi kamu bodoh! Kamu bahkan, tidak lolos ujian masuk kedokteran. Apakah sesusah itu untuk masuk kedokteran?" ejeknya.
"Jangan sombong! Aku tidak lolos karena aku tidak mau menjadi Dokter. Aku sengaja tidak belajar dan malah sibuk mengurus portofolio untuk Sekolah Design. Kamu tau, 'kan?" cakapnya.
Bella memang sengaja tidak belajar saat itu, dan dengan sengaja memilih jawaban yang salah saat ujian masuk perguruan tinggi. Menjadi Dokter adalah cita-citanya saat kecil. Tapi tidak untuk sekarang. Bella takut darah saat melihat ibunya sekarat, dia melihat ibunya bersimbah darah yang keluar dari mulut dan telinganya. Penyesalannya terasa sampai sekarang. Karena pada saat itu, Bella hanya bisa berdiri dengan mulut merapat dan tubuh bergetar. Mengingat hal itu, dia selalu mengumpat dirinya sendiri.
"Kalau aku jadi Dokter, kakak tidak perlu susah payah membayar semua hutang," katanya bangga.
"Ah, benar juga. Dengan gajiku saat ini, aku hanya mampu membayar hutang belasan tahun bahkan puluhan tahun. Simon, bagaimana aku harus membayar hutang sampai mati?" katanya.
"Aku sudah bilang, setelah aku jadi Dokter. Kakak tidak perlu memikirkan hutang itu. Biar aku yang membayar semuanya. Untuk saat ini, aku akan bantu membayar walaupun sedikit. Kakak tahu kalau gajiku lima kali lipat lebih kecil dari gaji kakak," jawabnya merasa bersalah.
"Lama menunggumu jadi Dokter. Lupakanlah, percayakan saja semuanya padaku. Aku yang akan membayar semua hutang ayah dan nenek sihir itu," ungkapnya.
"Perusahaan bangkrut, aset yang diambil kenapa tidak semua, ya? Maksudku, kenapa hanya aset kita saja?" tanya Simon penasaran.
"Kerugian perusahaan tidak sebanyak kekayaan keluarga kita, Simon. Seharusnya, yang diambil atau dijual hanya aset cadangan keluarga. Bukan milik kita semua diambil. Itu hanya taktik nenek sihir yang sekaligus memiskinkan kita. Maka dari itu, perusahaan ayah tidak membuatnya miskin. Penghasilan ayah tidak hanya di perusahaan inti saja. Ayah memiliki penghasilan lain," jelasnya.
"Kalau begitu, bukankah ayah membuat surat wasiat? Atau pembagian warisan?" tanya Simon.
"Benar. Aku juga berpikir seperti itu. Ayah tidak mungkin tidak membuatnya,'kan? Secara kekayaan ayah tidak sedikit. Harusnya ada pengacara yang datang ke rumah," kata Bella.
"Benar. Bagaimana jika sudah datang ke rumah?" tanya Simon yang semakin penasaran.
"Tidak, Simon. Pengacara ayah harus mengumumkan isi wasiatnya, saat semua pihak yang bersangkutan hadir," balasnya.
"Aku sudah lama tidak melihat pengacara itu," sambungnya.
Tok! Tok! Tok!
Pembicaraan serius mereka, terpotong dengan ketukan pintu yang membuat mereka membukanya bersama.
"Hah?" Bella terkejut saat melihat laki-laki dihadapannya. "A-ada apa?" tanyanya kepada laki-laki bertubuh tinggi dan besar tersebut. Tidak lupa, tato yang menempel seakan menyatu dengan kulit hitam. Dan juga, tatapan membunuh seakan menusuk pupil gadis itu.
"Sudah waktunya membayar hutangmu! Kamu menunggak dua bulan! Cepat berikan, mumpung rumahmu tidak aku runtuhkan saat ini juga!" tegur penagih hutang rentenir tersebut.