Chereads / Beautiful Mate / Chapter 28 - Tanaman Jiwa Abadi

Chapter 28 - Tanaman Jiwa Abadi

Dunia Anima ....

Seorang wanita setengah baya berambut keperakan bergelombang sedang menatap sebuah foto lusuh dengan raut sedih. Ia menatap foto putri satu-satunya dengan bayi mungil yang tampak bersinar di gendongannya. Itu adalah foto Serenity beserta cucu perempuannya yang belum pernah ia temui sebelumnya. Ia mendapatkan benda-benda manusia itu dari seorang kurir gelap perbatasan bertahun-tahun yang lalu.

"Elena!" panggilan Weasley, suaminya membuyarkan kesedihannya. Ia terburu-buru memasukkan kembali foto putrinya ke dalam boks rahasia yang ia tanam di dalam dinding dengan mantra kecil.

Weasley, pria tegap yang sekarang tampak menyedihkan itu kini memasuki kamar dengan raut serius. "Apa kau sudah menemukan sesuatu?" tanyanya.

Elena menghela napasnya lalu menyongsong suaminya. "Aku belum menemukan petunjuk apapun Weasley," ucapnya lembut.

"Tapi energi Serenity yang kemarin memancar, begitu kuat kurasakan. Simbol di aula utama bahkan berpendar sesaat karena menerima getaran itu! Apakah ... apakah ... Serenity kita ...," ucapnya lalu terhenti.

"Weasley ...," jawab Elena. "Kalaupun itu terjadi, kita sudah merelakan dirinya sejak bertahun-tahun yang lalu. Kau tahu apa artinya jika energi itu terpancar, bukan? Terimalah kenyataannya, Sayang."

"Tidak!! Ia mungkin saja memutuskan untuk melepaskan semua kekuatan sihirnya dan memilih untuk menjadi manusia biasa! Putri kita tidak akan mungkin mati begitu saja!" teriaknya bersikeras. "Kita adakan ritual pemanggilan roh!"

"Weasley, hentikan!" cegah Elena. "Kau tahu apa konsekuensinya jika kau menggunakan sihir hitam, bukan?! Sadarlah! Sudah sejak bertahun-tahun yang lalu kita telah mengupayakan berbagai macam cara untuk menemukan putri kita, semua tak ada yang membuahkan hasil. Dan sekarang energi sihirnya telah terlepas, aku yakin ia memberikan energi itu kepada putrinya, cucu kita Weasley."

Wajah Elena memerah dan matanya bergetar. Kedua pelupuk matanya dipenuhi oleh genangan air mata yang siap tumpah membasahi wajahnya. "Tolong, Weasley ... temukan cucu kita. Dengan begitu ... kita mungkin dapat memiliki petunjuk tentang Serenity," isaknya kemudian.

Weasley mengatupkan bibirnya seolah menahan amarah. "Aku tidak akan sudi menganggap ia cucuku, sementara darahnya telah tercampur dengan kaum beast rendahan itu!" geramnya.

"Weasley!" teriak Elena mengiba sambil menangis. Sementara pria berjanggut putih dan rambut yang terkuncir rapi itu berbalik pergi meninggalkannya sendirian.

Kepergian Weasley tak luput dari perhatian Maltus yang tengah melintas menyusuri lorong rumah sahabatnya itu. Lalu, ia melihat Elena keluar dari kamar tersebut beberapa saat kemudian setelah Weasley terlebih dahulu pergi meninggalkannya. Instingnya kemudian menuntunnya untuk bergerak mengikuti Elena.

Elena sendiri tidak mengikuti suaminya. Ia melangkah keluar menuju balkon yang mengarahkannya pada taman berbunga bernaungkan kaca berkilauan dengan raut sedih. Elena kemudian berhenti pada satu tanaman berkilauan yang bunga kecilnya memancarkan cahaya kebiruan dengan alis yang mengerut dan tatapan sendu.

"Apakah kau masih memikirkan Serenity, Elena?" tanya Maltus yang kemudian mengejutkan wanita itu karena kedatangannya yang tiba-tiba.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Elena dengan sedikit tersentak. Kedua bola matanya membulat melihat kehadiran Maltus yang telah berada di sampingnya.

Maltus tersenyum tipis dan menatap syahdu wajah lembut Elena yang masih terlihat begitu cantik dan menawan di matanya. "Aku melihatmu sedang bersedih, aku hanya ingin menghiburmu saja," ucap Maltus sambil bergerak mengangkat salah satu tangannya seolah hendak mengusap wajah Elena.

"Hentikan, Maltus!" cegah Elena sambil berpaling. Tangan Maltus yang telah terulur, mengepal hampa di udara. Ia menggertakkan rahangnya kuat-kuat. Rupanya Elena masih belum dapat menerima kebaikan dan ungkapan perasaannya selama ini.

Maltus mengangkat salah satu alisnya dan kemudian mengubah mimik wajahnya. "Weasley semakin hari semakin tampak tak waras. Apa kau akan membiarkannya begitu saja?" ucap Maltus kemudian sambil sedikit memicingkan matanya.

Elena sontak menoleh menatap Maltus. "Weasley tidak gila, jika itu yang ingin kau katakan. Ia hanya sedang bersedih karena belum juga dapat menemukan jejak Serenity!" balas Elena bersikeras.

"Aku telah mendampinginya selama ini, Elena. Jika anggota dewan penyihir mencium ketidakstabilannya dan kecenderungannya yang selalu ingin menggunakan sihir hitam, tentu kau tahu apa yang akan mereka lakukan, bukan?!"

Kali ini, Elena menatap Maltus dengan tajam. "Tetapi Weasley tidak pernah mempraktekkannya! Ia hanya sedikit meracau karena kegelisahannya saja!"

Senyum sinis Maltus sedikit mengembang. "Hmm ... meracau. Kau tahu hanya orang yang telah kehilangan pikirannya saja yang sering meracau, bukan?" balasnya.

"Maltus!" protes Elena.

"Weasley adalah pemimpin kehormatan tertinggi para penyihir di Anima. Menurutmu apa mereka akan tinggal diam saja jika mengetahui kemunduran kemampuannya?!"

"Weasley masih mampu memimpin. Aku yakin itu hanya kesedihan sesaatnya saja. Kau adalah wakil dan sahabatnya, seharusnya kau tahu itu." Dada Elena sedikit naik-turun karena menahan gejolak emosinya.

"Aku mengerti kesedihannya, tapi aku tak bisa selamanya menutupi ketidakstabilannya. Jika suatu saat para anggota dewan mempermasalahkan hal tersebut, kau tahu benar jika aku selamanya juga tak bisa untuk menolak desakan mereka, bukan?" ucap Maltus.

Elena mengangguk dan menatap Maltus dengan raut yang sulit terbaca. "Maka lakukanlah, gantikan posisi dirinya jika seperti itu yang mereka inginkan. Aku tak akan keberatan dengan itu."

"Oh ... Elena, kau tahu aku tak mungkin melakukannya tanpa memiliki seorang pendamping, bukan?" Kali ini Maltus meraih salah satu pergelangan tangan Elena dan menatapnya seolah berharap.

"Dan kau juga tahu aku tak mungkin melakukannya. Aku tidak akan menjadi pendampingmu atau meninggalkan Maltus dalam keadaan apapun. Seharusnya kau tahu itu," tegasnya. Ia kemudian menghempaskan tangan Maltus dan berlalu darinya begitu saja.

Maltus mengerutkan alisnya melihat kepergian Elena dengan gaun biru cerahnya itu. "Kau lihat saja nanti Elena, sebentar lagi kau tak akan bisa menolak untuk mendampingiku," geramnya tertahan. Matanya memancarkan kilat yang penuh dengan amarah dan rencana licik.

"Blaar!!"

Maltus kemudian mengarahkan telapak tangannya pada tanaman yang memancarkan sinar kebiruan itu dengan kesal. Setiap kali ia ingin menghancurkan tanaman itu, setiap kali pula sihirnya tidak pernah bekerja dengan baik. Hanya letupan kecil lalu setelahnya menghilang tak berbekas. Segala macam mantra sihir telah ia coba selama ini. Tetapi, tak ada satu pun yang berhasil menghancurkannya.

"Tanaman sialan! Suatu saat nanti aku akan benar-benar menghancurkanmu!" geramnya tertahan.

Ia kesal karena tanaman berbunga kecil yang memancarkan sinar kebiruan itu adalah "Tanaman Jiwa Abadi". Tanaman tersebut merupakan tanaman jiwa milik Serenity yang putri Elena tanam untuk menyimbolkan kehidupan jiwanya. Selama tanaman sihir itu bersinar, selama itu pula menandakan bahwa jiwa sang pemilik masih hidup di suatu tempat. Entah di mana ....

Maltus sendiri tahu, Weasley dan Elena tak dapat berhenti berharap tentang putri mereka selama sinar pada tanaman itu belum redup dan padam. Ia sendiri secara berkala selalu memeriksa keadaan tanaman tersebut secara diam-diam. Tanaman yang seharusnya sinarnya telah padam sejak bertahun-tahun yang lalu ketika ia menghabisi pemiliknya itu, membuatnya begitu frustasi.

"Di mana kau Serenity?" geramnya lagi. Salah satu alisnya terangkat licik sebelum akhirnya ia meninggalkan kebun berbunga itu dengan langkah kesal.

____****____