Sosok Luna adalah hal pertama yang Rafael tangkap saat keluar dari kantor polisi itu. Lantas kemudian dia melihat wajah Gino. Di mana kedua orang itu tampak berbicara dengan serius saat keluar dari pintu lain di kantor polisi.
'Untuk apa mereka ke mari?'
Ada berbagai emosi yang kembali melingkupi dirinya, namun Rafael fokus pada hal yang paling penting untuk dipikirkan. Dia mencoba untuk tidak larut dalam perasaan cemburu di dadanya dan memilih untuk mempertanyakan hal tersebut. Karena rasanya sangat aneh melihat kedua orang itu berada di tempat ini.
'Apa ada masalah?'
Ini adalah jenis kekhawatiran. Terutama karena Rafael menyadari ekspresi berat yang sulit diungkapkan di wajah Luna. Namun dengan cepat pria itu menepis pemikiran tersebut. Dia tidak ingin lemah oleh kekhawatiran yang berarti klau hatinya kembali peduli pada sosok yang masih membuatnya sakit hati itu.
Omong-omong Luna dan Gino tampak sudah menaiki mobil mereka, sebelum akhirnya keluar dari sana. Di saat itu Rafael juga berjalan menuju mobilnya. Di mana dia masih menggunakan jasa sopir karena masih belum merasa siap untuk kembali mengemudi sendiri.
"Kita akan langsung ke gedung Raftech kan, Tuan Muda?" Sopirnya itu bertanya begitu Fabian melangkah memasuki mobil.
Rencananya sih begitu, namun pria itu merasa ragu untuk mengatakannya. Otaknya malah bercabang pada hal lain. Yang walau berusaha dia tahan mati-matian, namun terus saja membuatnya ingin melakukannya.
'Aku hanya ingin memastikan saja. Karena bisa saja informasi yang Mama dapatkan pagi ini adalah salah. Ini juga termasuk cara untuk sepenuhnya meyakinkan diriku untuk move on.'
Dengan alasan itu, sang CEO melirik sopirnya lagi. Lantas berkata, "Tidak. Sekarang kamu cepat keluar dan ikuti sedan hitam yang barusan meninggalkan tempat ini. Ada yang ingin saya pastikan."
Sng sopir terkejut. Namun tangannya dengan cepat mengikuti perintah sang atasan. "B-Baik, Tuan Muda."
Mobil ini pun melaju. Di mana untungnya tak begitu sulit untuk menemukan kembali mobil milik Gino yang berjalan pelan. Menyisakan Rafael yang bahkan tak tahu kenapa dia melakukan semua ini.
'Hanya untuk meyakinkan diriku saja. Agar aku bisa benar-benar melupakan mereka berdua.'
Itulah alasan yang dia buat di kepalanya.
***
Sementara itu Gino dan Luna sama sekali tak menyadari kalau mereka diikuti. Saat di mana pria itu mengendarai mobilnya pelan membelah ibu kota Jakarta.
Sesekali, Gino melirik Luna. Curi-curi pandang karena wanita itu hanya diam sejak tadi. Kepalanya bahkan tertunduk dalam.
"Jangan khawatir. Polisi akan segera bertindak. Mereka akan segera mengusutnya," kata Gino sambil terus mengontrol laju kendaraan dengan aman.
"Aku tahu. Tapi bukankah mereka terlalu lelet menyiasatinya? Maksudnya, aku tahu kalau memang ada proses yang harus kita lalui selama pengusutan. Tapi bagaimana kalau pelaku malah kabur dulu sehingga mempersulit pengejaran. Sehingga dengan begini… akan semakin sulit bagiku untuk bisa mendapatkan kehidupan bebasku lagi."
Gino tahu itu, sehingga itu sebabnya dia nekat melakukannya. Sehingga kini ketika Luna merasa tersudutkan, dia hanya perlu berpura-pura mengajak melapor demi meyakinkan Luna kalau dia sama sekali tidak terlibat dalam teror semalam. Dia bahkan bisa bertindak sebagai pahlawan.
Namun walau begitu – lagi-lagi – Gino percaya kalau kebohongannya tidak akan pernah terbongkar. Karena dia memiliki anak buah yang sudah sangat terbiasa melakukan kejahatan, sehingga mereka tahu cara berkelit denga naman.
"Mereka kan bilang akan bekerja keras sesuai dengan wewenang mereka. Sementara itu kita lakukan dulu bagian kita. Kita periksa sendiri, sambil mengemasi barang-barang kamu untuk pindah ke apartemenku."
Namun Cinta tampak masih sangat ragu. Menundukkan kepalanya.
'Apa aku perlu pindah ke apartemen Gino. Demi tuhan, rasanya sangat ragu sekali. Apa aku memang harus begini untuk bisa melanjutkan hidup? Tapi rasanya begitu canggung. Terutama karena aku tahu perasaannya padaku, serta aku tak bisa membalasnya.'
Namun terlalu lama kalau harus kembali mempermasalahkan hal ini. Ketika jawabannya masih sama dengan sebelumnya. Kalau memang inilah satu-satunya jalan yang dia punya sampai penjahatnya ditangkap.
Tapi bagaimana kalau keadaannya malah sedikit menggantung begini. Karena tak langsung melapor setelah kejadian, polisi tak menganggap kasus ini sebagai kasus darurat yang perlu ditangani langsung. Mereka bilang akan memeriksa pelaku pengiriman dengan melacak dari nomor yang meneror semalam, lalu Luna hanya diminta menunggu untuk perkembangan selanjutnya. Tak ada pengecekan langsung sama sekali, sebab Luna tampak baik-baik saja. Sehingga itu sebabnya Luna merasa frustrasi setengah mati.
"Aku berharap pelaku segera tertangkap agar aku bisa hidup tenang. Agar aku tak perlu hidup dalam ketakutan seperti ini," kata Luna lagi tak lama setelahnya. Hal yang dengan cepat membuat Gino menganggukkan kepalanya.
"Ya. Kita bisa lakukan apa yang kita bisa. Nanti aku akan langsung mengecek CCTV atau hal lainnya yang mungkin bisa mempercepat proses penyelidikan. Agar masalah ini bisa segera diselesaikan."
Kalau begini Luna sudah tak punya pilihan selain memuji dan merasa bersyukur atas kehadiran pria ini di sekitarnya. Karena tak bisa diakui betapa besarnya bantuan dan kekuatan yang telah Gino berikan padanya, dalam melewati semua rintangan yang dia hadapi.
"Makasih ya, Gin. Aku beneran nggak tahu harus bagaimana kalau saja tidak ada kamu," katanya sambil melirik pria itu.
"Sudah kubilang nggak usah berterima kasih." Gino terkekeh ringan. "Aku hanya melakukan hal yang memang harus kulakukan – sebagai teman kamu."
Perjalanan itu berlangsung selama beberapa menit saja, sebelum akhirnya mereka sampai lagi di depan gedung kontrakan yang ditempati Luna. Kedua orang itu langsung turun. Lantas keduanya sibuk menerawang ke sekitar guna menemukan apa yang mereka cari.
"Kulihat ada lumayan banyak CCTV kok di tempat ini. Bahkan ada di gedung kontrakan kamu juga. Kita mungkin bisa mengeceknya satu persatu. Agar kalau kita bisa menemukan sesuatu yang menguatkan pengaduan kita tadi, proses penyelidikan kasus kamu bisa dipercepat," kata Gino setelah sempat menemukan beberapa titik peletakan kamera pengawas.
"Ya, sepertinya memang itulah caranya," sahut Luna.
Lantas kedua orang itu pun bersama-sama lebih memasuki kawasan itu. Selalu berdampingan saat menaiki tangga.
"Tapi sebelum itu aku mau memeriksa unit kontrakanku dulu. Takutnya setelah kita pergi orang itu memaksa masuk atau membuat kegaduhan," kata Luna begitu mereka hampir sampai di lantai tiga.
"Ya. Bagusnya begitu. Aku akan menemani kamu."
Mereka terus saja asyik dengan permasalahan itu, sampai mereka tak menyadari kalau ada dua mata yang memperhatikan mereka sejak tadi. Di mana mata itu tampak lebih dingin dan penuh kebencian setelah menyaksikan mereka memasuki unit kontrakan itu berduaan.
Rafael menghela napas yang berat. Sebelum akhirnya meminta sopirnya untuk segera meninggalkan tempat itu.
***