"Sepertinya sekarang mereka tinggal bersama. Jadi… Mama menyewa seseorang untuk mengikuti mereka, suruhan Mama itu melihat Luna memasuki apartemen Gino tadi malam. Mama bahkan punya fotonya."
Rafael mencoba untuk tidak peduli. Bahkan walau sejujurnya mendengar nama kedua orang itu saja mengganggunya, namun dia mencoba untuk terus fokus. Sebab selama ini begitulah dia menjalani kehidupan. Itulah caranya mendapatkan kesuksesan.
Namun ucapan Bertha itu mematahkan usahanya.
Rafael membeku. Tubuhnya benar-benar refleks berhenti seperti dikontrol oleh remote. Di mana bahkan tangannya yang hendak meraih sendok dan garfu pun juga sampai tak berkutik. Dia terpaku dengan fakta yang dia temukan.
'Jadi Gino dan Luna memang sudah sedekat itu? Bukankah tidak mengejutkan karena aku tahu mereka memang diam-diam menjalin hubungan di belakangku. Namun membayangkan mereka sebebas itu. Membayangkan mereka tinggal serumah. Rasanya… rasanya….'
"Raf?"
Pria itu tersadar lagi. Dengan cepat melirik sang ibu yang menunggu reaksi darinya. Di mana sebenarnya sejauh ini, sesuai dengan targetnya.
"Kamu pasti penasaran, kan? Nih. Ini fotonya—"
"Ma." Bukannya menerima, Rafael malah langsung protes. Dengan cepat melirik wajah sang ibu. "Kenapa sih Mama masih terus melibatkan diri dengan mereka berdua? Nggak ada gunanya. Biarkan mereka lakukan apa yang ingin mereka lakukan. Terutama… karena aku nggak ingin terpengaruh oleh hal itu lagi."
"Tapi Raf—"
"Kalau Mama begini terus aku nggak mau bergabung makan dengan Mama. Kalau Mama terus menggangguku."
Bertha sedikit panik. Dengan cepat dia menutup layar ponselnya tadi, lalu segera tersenyum manis pada putra semata wayangnya itu.
"T-Tidak, Raf. Mama sama sekali nggak bermaksud begitu kok. Mama hanya masih dendam saja dengan apa yang mereka lakukan, serta… tak rela dengan perbuatan mereka kepada kamu. Sehingga itu sebabnya Mama begini."
"Semua itu hanya akan mengganggu Mama. Sudahlah. Biarkan saja. Toh, masalah uang yang mereka curi juga nggak banyak-banyak amat. Itu bukan sesuatu yang membuat kita rugi, karena untungnya kita selalu dianugerahi kekayaan. Oleh sebab itu cukup. Sudahlah. Berhenti mengurus mereka dan benahi hidup kita sendiri."
Sebenarnya tentu saja itu yang Bertha inginkan. Dia juga tak mau Rafael mengingat terus soal Luna dan Gino, lalu fokus dengan hidup dan kariernya. Tapi masalahnya dia sudah terjebak dalam permainan Serra di mana dia mengancam akan membuka seluruh rahasia Bertha pada Rafael.
Itu yang Bertha takutkan. Dia tak mau Rafael sampai tahu, karena hal itu bisa membuat sang putra benci kepadanya. Karena memang dia pun sadar sendiri kalau kesalahannya cukup fatal untuk Rafael toleransi.
Sehingga itu sebabnya mau tak mau dia harus melakukan ini untuk membungkam Serra. Lagipula ide kalau ini mungkin bisa membuat Rafael membenci Luna sepenuhnya. Membuat gadis itu pindah ke luar kota. Semua itu rasanya akan lebih baik bagi kehidupan Rafael ke depannya.
"Y-Ya udah. Mama janji nggak akan membahasnya lagi. Sekarang lebih baik kamu melanjutkan makan. Kamu juga harus ke kantor, bukan? Mama nggak akan membahasnya lagi."
Hal ini gagal.
Sepertinya dia harus mencari cara terakhir untuk menyelesaikan misinya ini.
Pada akhirnya mereka berdua makan di dalam keheningan. Bertha sempat melempar beberapa pertanyaan terkait topik lain untuk memecah keheningan. Namun Rafael hanya menjawab seadanya saja. Sehingga tidak membangun suasana sama sekali.
Namun di suatu titik, Rafael tiba-tiba teringat akan sesuatu yang mengganggunya sejak kemarin. Hal yang membuatnya melirik Ibunya itu lagi.
"Tapi Ma, sebenarnya ada hal yang ingin kutanyakan."
Bertha berhenti mengunyah dan meliriknya cepat. "Apa memangnya?"
"Aku mau tanya… saat kecelakaan dan aku dilarikan ke rumah sakit, pihak polisi mana yang menangani kasus kecelakaanku? Serta aku dilarikan ke Rumah Sakit Sky International, kan?"
Bertha kali ini benar-benar berhenti mengunyah. Ditatapnya sang putra dengan heran. Sama sekali dia tak menyangka mereka akan memabhas ini secara mendadak.
"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?"
"Hanya ingin tahu saja. Karena aku baru sadar, kalau setelah ingatanku kembali… aku belum menganalisa lagi kejadian yang menimpaku."
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin menganalisanya? Selain itu… apa tidak akan menyakitkan untuk kamu? Bagaimana kalau ingatan kamu soal betapa menyakitkannya hari itu malah bangkit lagi?"
"Aku nggak papa. Aku sudah bisa menghadapinya. Bahkan Dokter Alex juga bilang kalau aku termasuk bisa melewati pasca-trauma, bukan? Mungkin karena sebelumnya aku sudah cukup lama juga melakukan terapi saat amnesia." Rafael menyahut begitu.
"Untuk apa kamu melakukannya?"
Rafael terdiam. Semua itu terpikirkan setelah dia mendapatkan sejenis bayangan aneh yang terjadi pada malam itu, yang pada akhirnya membuatnya jadi kecelakaan. Namun untuk saat ini dia tidak akan memberi tahu hal itu pada siapapun – apalagi pada keluarganya. Dia tak ingin membuat mereka cemas dan paranoid, ketika dia sendiri tak sepenuhnya yakin.
"Kenapa kamu terlihat ragu? Atau… apa kamu mencurigai sesuatu, Rafael. Mungkin ada unsur manipulasi yang membuat kamu jadi kecelakaan. Begitu?"
Rafael langsung menggeleng. "Aku tak berpikir ke sana. Hanya saja… aku penasaran kenapa malam itu aku bisa sampai kecelakaan, padahal rasanya aku nggak mengantuk. Sekarang kalau dipikir hal itu memang sangat tiba-tiba dan aku masih tak ingat pangkal kenahasaannya. Sehingga kurasa aku perlu tahu lebih jelas saja kenapa aku bisa sampai kecelakaan."
Walau tampak masih curiga, Bertha akhirnya mengangguk. Mencoba untuk mempercayai ucapan sang putra.
"Kalau nggak salah yang mengurusnya bagian pihak lalu lintas kantor polisi di daerah terdekat."
"Apa kira-kira mereka masih menyimpan detailnya ya? Apalagi karena kecelakaanku sudah sekitar dua tahunan berlalu?"
"Mama juga nggak tahu sih. Tapi coba kamu tanya saja."
Rafael mengangguk.
Kini dia hanya perlu lebih melihat file soal detail apa yang menimpanya, nantinya baru mencari tahu beberapa kejanggalan yang kini dia rasakan. Dia percaya hal ini akan membantunya menemukan jawaban tentang segala pertanyaan yang masih tersimpan. Tentang beberapa bayangan aneh yang ada di kepalanya.
"Aku akan lebih senang kalau memang itu adalah kecerobohanku. Tapi… aku tetap perlu mencari tahu semuanya dengan jelas. Namun masalahnya karena waktu itu sudah berjalan cukup lama… aku ragu apakah mereka masih menyimpan footage kejadian. Karena biasanya data CCTV pun selalu diresfesh di dalam jangka waktu tertentu."
Ekspresi wajah pria itu jadi serius.
"Tapi aku yakin memang ada yang janggal. Memang ada yang tidak masuk akal. Sehingga aku harus mencari tahu hal itu. Terutama soal sejenis bayangan putih yang seperti kulihat saat melewati bagian bawah jembatan."
Ya, ada banyak hal yang perlu dia pikirkan selain masalah hubungan Luna dan Gino. Ada banyak masalah di hidupnya. Jadi dia harus menyingkirkan ini dan berfokus sepenuhnya.
***