Petra mengangguk. "Bahkan kulitku juga akan memucat seperti mayat saat Rex menguasai tubuhku. Tapi, setelah bertemu denganmu semuanya berubah. Sebelumnya akan sangat lama menyadarkanku. Saat kamu menyentuh tubuhku, Rex tiba-tiba saja menghilang. Itu semua karena cincin batu hitam yang kamu miliki," jelas Petra.
"Cincin batu hitam?" Kening Olivia mengernyit. "Ah, pantas saja kamu bersikeras menginginkan cincinku."
"Ya, cincin itu sudah dibuktikan kebenarannya dan memang sangat berpengaruh padaku, tapi hanya jika kamu sendiri yang mengenakannya. Mungkin karena kamu benar-benar keturunan asli dari pemilik cincin ini. Jadi, inilah alasanku yang sebenarnya setuju untuk menikahimu," ujar Petra resah. Dia takut Olivia akan kabur setelah mendengar semuanya.
"Kenapa tidak dari awal kamu menceritakan semuanya? Jika tahu kepribadian lainmu sangat berbahaya sampai bisa mengancam nyawa, aku tidak mau menikah denganmu. Bagaimana jika kamu kumat saat aku sedang lengah? Aku bisa berada dalam bahaya. Dia bisa membunuhku kapan pun," gerutu Olivia dengan raut wajah tidak tenang.
Petra terdiam menatapnya. Dia juga memikirkan hal yang sama. Apalagi Petra menikahinya tanpa sepengetahuan dan seizin Rex. Jika Rex tahu, tidak tahu akan semarah apa dia nanti.
"Aku mengerti keresahanmu, tapi selama cincin batu hitam berada di tanganmu, Rex tidak akan melukaimu," kata Petra berusaha menenangkan Olivia.
"Kamu yakin? Apa yang dapat memicu kamu berubah menjadi dia?" tanya Olivia penasaran sambil ketakutan.
"Emosi yang berlebih. Aku harus menstabilkan suasana hatiku agar tidak mudah marah. Tidak banyak yang tahu mengenai kondisi tubuhku, hanya orang-orang terdekat yang dapat memahamiku saja yang tahu. Mereka sangat menjaga perasaanku. Kamu juga harus menjaga sikapmu dengan baik," ujar Petra.
Olivia semakin ketakutan mendengarnya. "Aku tidak tahu sampai kapan aku dan cincinku harus melindungimu. Aku juga tidak mau hidupku berada dalam bahaya terus-menerus. Tapi, pernikahan ini adalah pernikahan kontrak. Kita belum membicarakan jaraknya, kan? Bagaimana jika satu tahu? Dalam satu tahun aku akan menjagamu dan setelah itu kita bercerai."
Deg!
"Pernikahan kontrak?" gumam Petra dengan kening mengenyit. Dia tampak tidak menyukai pembicaraan ini. "Kenapa kamu bisa berpikir pernikahan kita sebagai pernikahan kontrak? Meski tanpa cinta, tapi pernikahan kita sah dan tidak terkontrak oleh apapun."
"Kamu jangan egois. Aku juga memiliki kehidupanku sendiri, aku tidak mau mati di masa muda. Aku perlu jaminan atau sedikit kelonggaran," kata Olivia sambil menggerakkan jari jemari tangannya.
"Olivia, kamu pikir kamu bisa lari dariku setelah aku tahu kamu adalah penangkal kutukanku? Jika setelah satu tahun aku masih belum sembuh, aku pasti akan mencarimu lagi. Meski kamu pergi ke ujung dunia sekalipun aku tetap akan mengejarmu. Kamu tidak bisa ke mana-mana. Jangan berpikir untuk pergi sebelum aku sembuh," kata Petra dengan suasana hati yang tidak baik. Dia bahkan membuang muka karena kesal pada perkataan Olivia.
Olivia berjalan menghampiri Petra sambil melipat kedua tangannya di atas perut. "Baiklah, kalau begitu kita akan bercerai setelah kamu sembuh, bagaimana? Kamu harus mengerti, aku tidak mungkin bisa terus-menerus berada di sampingmu. Tidak ada yang tahu kapan kamu bisa sembuh. Setidaknya aku harus memikirkan sesuatu agar kehidupanku terjamin."
"Berada di dekatku juga tidak akan merugikanmu. Kamu tahu seberapa banyak wanita yang menginginkan posisimu sekarang? Kamu seharusnya bersyukur. Aku bukan orang yang tidak tahu balas budi, aku akan memenuhi semua kebutuhanmu. Uang jajanmu, uang belanjamu, kendaraan pribadi, semua yang kamu inginkan aku beri," ujar Petra dengan wajah serius. Dia mengambil dompet dari saku celananya dan mengeluarkan sesuatu.
"Pegang kartu ini. Beli apa pun yang kamu mau, jangan sungkan memakainya karena kamu adalah istriku. Kamu hanya perlu menurut saja," sambung Petra sambil meletakkan sebuah kartu berwarna hitam elegan di atas meja.
I-itu ... bukankah kartu black gold? Kartu tanpa batas limit yang hanya bisa dimiliki oleh miliarder kelas dunia. Astaga, dia benar-benar kaya! Aku bisa memakainya untuk membiayai pengobatan Ibu. (Batin Olivia sambil menelan salivanya)
Petra menyunggingkan senyumnya melihat betapa hijau kedua mata Olivia saat disuguhkan kartu black gold.
Ternyata hanya wanita matre, tidak ada bedanya. (Batin Petra)
"Pakai saja, itu milikmu. Bebas kamu akan menggunakannya untuk apa, tapi kamu harus tetap merahasiakan status kita," ucap Petra sambil menatap sinis.
Olivia tersenyum sambil mengangguk. Tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dia bisa membiayai pengobatan ibunya sampai sembuh dengan kartu black gold. Sungguh doa baiknya menembus langit hingga mengirimkan orang dermawan seperti Petra. Kesembuhan ibunya sebanding dengan masa depannya.
Olivia mengambil kartu black gold dan memasukannya ke dalam saku dengan wajah ceria. Auranya sangat bersinar. Dia terlihat amat bahagia.
"Cih, dasar. Kalau begitu kita tutup pembicaraan ini karena semua sudah teratasi," gumam Petra sambil berdesis sebal. Dia kira Olivia berbeda dengan wanita lain yang sering mendekatinya karena maksud dan tujuan, ternyata sungguh mengecewakan.
"Aku harus ke kantor cabang sekarang, sepertinya akan pulang besok. Kamu tinggallah di sini dengan patuh," ucap Petra sambil beranjak bangun dan mengancingkan lengan kemejanya.
"Tunggu sebentar! Hari ini aku ingin pergi ke suatu tempat. Kamu tidak keberatan, kan?" tanya Olivia sambil tersenyum ramah.
"Ke mana?" tanya Petra dengan tatapan tak suka. Suasana hatinya terlanjur buruk.
"Emm ... ke pusat perbelanjaan. Ada yang ingin aku beli. Kamu sibuklah saja, aku tidak akan kabur ke mana-mana, kok. Aku juga akan menjaga cincinnya dengan sangat baik, hehe...."
Petra menghela napas kasar. Suasana hatinya semakin tidak baik mendengar perkataan diiringi dengan tawa yang menyebalkan itu. Seperti seorang penjilat yang tidak tahu malu.
"Oh iya, aku ingin ponselku kembali. Aku membutuhkannya sekarang," pinta Olivia sambil mengedipkan matanya dengan cepat.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Petra memberikan ponsel Olivia yang sudah lama dia simpan, kemudian Petra pergi meninggalkannya dengan aura hitam berkabut.
"Aih, ada apa dengannya?" gumam Olivia.
Dia mengecup ponselnya berkali-kali karena sangat rindu sudah terpisah begitu lama. Olivia mengaktifkan ponselnya sambil menyantap camilan karena mendadak napsu makannya meningkat.
Dia melihat ada banyak sekali pesan dan telepon tak terjawab dari Jerry dan Sera-adik kandungnya yang terbiasa mengabari kondisi ibunya di kampung.
Semua pesan Jerry memperlihatkan betapa mencemaskannya dia atas kehilangan Olivia minggu lalu. Pesan dari Sera kebanyakan mengabarkan kondisi ibunya, tapi hari ini Sera mengirim pesan berbeda. Dia membutuhkan uang untuk membayar biaya kuliahnya.
Saat sedang begitu, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Sera. Kebetulan sekali.
"Sera, bagaimana kabar Ibu sekarang?" tanya Olivia cemas.
"Kemana saja Kakak selama ini? Kenapa baru bisa dihubungi? Tidak tahu Ibu secemas apa pada Kakak?" gerutunya di balik telepon.
"Beberapa hari lalu Kakak mengabari Ibu dengan telepon umum. Kakak juga sangat mencemaskan Ibu, apa Ibu baik-baik saja sekarang?" tanyanya.
"Kemarin malam Ibu jatuh di kamar mandi, sekarang belum juga siuman. Kakak tidak ada rencana akan pulang? Ibu selalu menanyakan kapan Kakak pulang dengan Kak Erfan. Ibu bilang Kakak akan menikah di sana, apa itu benar?" tanya Sera penasaran.
...
BERSAMBUNG!!