Dia tak sengaja melihat ada telepon umum di seberang jalan. Dengan segera Olivia menghampirinya dan menggunakan telepon umum untuk menghubungi ibunya.
"Halo, Bu? Ini aku, maaf baru bisa mengabari sekarang. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?" tanyanya sambil menundukkan kepala karena sangat rindu pada ibunya.
Bu Susan-ibunya menjawab dengan suara yang terdengar begitu lemah, membuat kecemasan Olivia semakin menjadi-jadi.
"Akhirnya kamu menghubungi Ibu. Nak, sepertinya Ibu sudah tidak bisa bertahan lebih lama. Kapan kamu kembali ke kampung dengan Erfan? Ibu ingin melihat kamu menikah baru bisa pergi dengan tenang, uhuk, uhuk...!"
Kedua mata Olivia langsung berkabut mendengarnya. "Jangan bicara begitu, Bu. Ibu jangan cepat menyerah, aku yakin Ibu bisa sembuh. Aku akan berusaha semampuku membiayai pengobatan Ibu."
"Ibu takut usahamu akan sia-sia. Cepatlah menikah, jangan terus ditunda. Dengan begitu setelah kepergian Ibu masih ada yang akan menjagamu," ujar Bu Susan dengan suara yang semakin lemah.
Olivia terdiam cukup lama dengan raut wajah sedih. Dia tidak tahu harus mengatakan apa sekarang. Tidak mungkin bila mengatakan Erfan telah berselingkuh dan membatalkan pertunangannya. Bisa-bisa keadaan ibunya semakin memburuk.
"Kenapa, Nak? Apa ada masalah? Apa permintaan Ibu sangat menyulitkanmu?" tanyanya seakan tahu ada sesuatu yang Olivia sembunyikan darinya.
"Tidak, Bu. Aku ... hanya ... sepertinya tidak bisa menikah di kampung," ucap Olivia gelisah sambil memainkan jari jemari tangannya.
"Tidak apa-apa, Ibu mengerti Erfan pasti sangat sibuk di sana. Kamu kirimkan saja foto pernikahanmu nanti, Ibu akan menyimpannya dengan bahagia di sini." Terdengar suara yang begitu bahagia dari perkataan Bu Susan. Membuat Olivia semakin tak tega bila harus merenggut kebahagiaan itu dengan cepat.
"Baik, aku janji akan kirimkan fotonya nanti. Ibu harus bertahan, setidaknya sampai Ibu melihat cucu Ibu nanti, hehe...," kata Olivia berusaha mencairkan suasana yang diselimuti kesedihan.
"Baiklah, Ibu hanya perlu berjuang sedikit lebih lama, kan? Hehe...."
Panggilan telepon pun terputus. Tangis Olivia langsung pecah tak terbendung. Dia menangis tersedu-sedu sambil jongkok dan memeluk lutut. Tidak peduli banyak pejalan kaki yang melihatnya aneh pun, dia larut dalam kesedihannya.
Haruskah dia kembali menemui Erfan untuk memohon agar Erfan meninggalkan wanita selingkuhannya dan kembali menikahinya?
Tiba-tiba saja ada seseorang yang menyentuh bahunya dari belakang. Dengan mata dan hidung bengkak, Olivia menoleh dan terkejut melihat kehadiran Petra di sana.
"Kamu?" Olivia mengusap air mata serta ingusnya dengan baju, lalu beranjak bangun.
"Kamu meninggalkan ponselmu," ucap Petra dengan wajah datar tanpa ekspresi, tapi hatinya tergetar melihat Olivia menangis meski tidak tahu kenapa.
"Ponsel? Mana? Berikan padaku," katanya sambil berusaha menyembunyikan wajahnya yang berantakan.
"Ada di mobil. Ambil sendiri," ujar Petra sambil menggerakkan kepalanya ke arah mobil miliknya yang terparkir di pinggir jalan.
Olivia bergegas membuka pintu mobil Petra dan buru-buru mencari ponselnya, tapi tanpa diduga Petra mendorongnya masuk dan langsung membawanya pergi dari situ.
"Penculikan...!! Toloooong...!! Hentikan mobilnya! Kamu mau membawaku ke mana, hah?!" teriak Olivia sambil mencabik-cabik lengan Petra hingga membuat mobil oleng.
"Diam! Kamu ingin mati bersamaku?!" bentak Petra dengan wajah muram. Dia menatap tajam ke depan, fokus mengemudikan mobilnya sambil mengingat perkataan Dokter saat di rumah sakit.
Cincin dengan batu hitam milik Olivia hanya bisa berfungsi jika Olivia sendiri yang mengenakannya. Tidak berguna bila cincin itu ada di tangan orang lain termasuk Petra sendiri. Tidak heran saat Rex memegang cincin itu tidak ada reaksi apapun, tapi setelah cincin itu berada di tangan Olivia, Rex menghilang dan Petra langsung sadar.
Itu artinya Petra tidak boleh melepaskan Olivia sedikit pun.
"Berhenti...! Aku bilang berhenti, apa kamu tuli?! Jika kamu tidak mau menghentikan mobilmu, aku akan lompat dari sini sekarang juga!" ancam Olivia dengan mata melotot.
Petra langsung menepikan mobilnya dan berhenti di jembatan penyeberangan dengan hamparan laut yang luas.
Dia ke luar dari mobil dan membuka pintu mobil bagian Olivia, lalu mempersilakannya keluar.
Olivia sedikit terkejut karena Petra mendadak jadi penurut. Tanpa pikir panjang dia pun ke luar dari mobil dengan emosi di wajahnya dan berlalu begitu saja meninggalkan Petra.
Tiba-tiba saja Petra menarik lengan Olivia dan mendekap pinggangnya dengan begitu erat hingga perut mereka menempel dan pandangan mereka bertemu.
Sejenak Olivia terbuai akan tatapan lembut serta paras tampan yang Petra miliki. Rambut berantakannya yang diterpa angin kencang semakin membuat Olivia mabuk kepayang. Namun, sekarang bukan waktunya untuk menikmati semua itu. Ada yang perlu dia beri perhitungan.
Olivia tersadar dari lamunannya. "Lepas!" ucapnya salah tingkah sambil berusaha mendorong Petra. Namun, dekapan Petra sangat kencang hingga Olivia kesulitan melepaskan diri.
"Jangan banyak bergerak. Aku hanya ingin kamu setuju untuk bertunangan denganku," celetuk Petra dengan tatapan penuh keyakinan.
Tentu saja Olivia tersentak kaget mendengarnya. Matanya membulat, mulutnya menganga lebar.
"Apa! Be-bertunangan denganmu?"
"Aku akan memberikan semua apa yang kamu mau, asal kamu mau menuruti permintaanku," ucap Petra lagi.
"Dasar gila, jangan mengada-ada!" geram Olivia sambil mengerahkan kekuatannya untuk mendorong tubuh Petra dan akhirnya dekapan itu terlepas.
"Jangan terlalu terburu-buru. Pikirkan baik-baik, lalu putuskan. Bahkan jika kamu mau semua hartaku, aku akan memberikannya secara cuma-cuma," ujar Petra bersikeras.
Olivia terdiam menatapnya. Dia merenung memikirkan sesuatu. Baru saja dia berada dalam masalah karena permintaan ibunya yang menuntutnya untuk segera menikah. Sekarang muncul kejadian tak terduga yang membuat pikirannya jadi semakin berantakan.
"Apa alasanmu tiba-tiba ingin bertunangan denganku? Kita bahkan tidak saling kenal. Aku curiga kamu memiliki rencana busuk lagi," tuduh Olivia sambil menyipitkan kedua matanya.
"Akan kuberitahukan alasannya jika kamu setuju. Yang pasti, aku tidak memiliki rencana jahat apa pun. Aku, Tuan Muda pertama Kota A berjanji akan memperlakukanmu dengan sangat baik!" tegas Petra dengan tatapan serius, tak perlu diragukan.
Perkataan Petra seakan menyihir Olivia hingga ketidakpercayaannya goyah. Olivia melipat kedua tangannya di atas perut dengan dahi mengernyit. Dia sedang berpikir penuh, menyusun sebuah rencana gila saat menyadari begitu banyak keuntungan bila dia menyetujuinya.
"Aku tidak mau bertunangan. Aku ingin langsung menikah," ucap Olivia dengan begitu lantang.
Deg!
Petra terkejut bukan main, bahkan kakinya sampai melangkah mundur. Dia mengira wanita di hadapannya ini akan menolaknya berkali-kali dulu baru akan setuju, tapi sungguh di luar dugaan, Olivia malah ingin menikah.
Petra bungkam untuk beberapa saat karena sedang mencari jawaban atas keputusan gila yang Olivia lontarkan, tapi otaknya tidak bisa memberikan jawaban. Dia tidak tahu kenapa Olivia malah ingin menikah.
....
BERSAMBUNG!!
Beri dukungan untuk author dengan cara komentar dan memberikan power stone.