Keesokan malam yang dijanjikan Ayla datang akhirnya. Dirman sudah memendam penasaran, kira-kira ending dongeng pak peramal gadungan dan ibu pencuri bagaimana gerangannya? Sambil menantikan Ayla masuk kamar, Dirman mengibas-ngibas seprai butut dan selimut tipis, siapa tahu Ayla mengantuk dan tidur di kamarnya malam ini.
"Malam, Ayah. Ayla masuk ya, Ayah." Seperti biasanya, Ayla meminta izin dengan santun.
"Silakan, Princess Ayla. Sini, yok ngobrol sama Ayah, yuk."
"Ini Ayah, pegangin boneka pensil Ayla dong." Ayla lekas menyerbu masuk dan merapat ke pangkuan Dirman.
"Oke, tapi janji Ayla gimana? Yang dongeng kemarin, si ibu pencuri dan bapak peramal palsu itu. Hayo, lho?"
Ayla mendeham bak orang dewasa. "Baiklah, Ayla akan buka ceritanya. Jadi gini, Yah ..."
Sepasang boneka pensil di tangan Dirman seakan menjelma sosok peramal dan istrinya yang tukang tipu. Dikisahkan, ibu pencuri menguping rencana empat penyamun yang berencana merampok di rumahnya, lalu melarikan diri ke kota terdekat. Buru-buru istri peramal gadungan menyusun siasat bersama suaminya, dengan tujuan melumpuhkan empat pria muda yang menginap di gudang mereka.
"Kita lumpuhkan saja mereka waktu tidur." Si suami mencari-cari senjata yang pas, namun cuma panci penggorengan yang didapatnya.
"Jangan, Pak. Mereka ada empat orang, masih muda dan kuat-kuat. Habislah kita kalau gegabah."
Ada benarnya pemikiran sang istri. Mereka hanya berdua suami istri, tidak ada momongan meski sudah bertahun-tahun menikah. Lawan mereka jauh lebih muda dan jumlahnya lebih banyak, mana mungkin menang bila baku hantam dengan kekerasan?
Penggorengan di tangan pak peramal memberi ide hebat. Ibu pencuri berencana menghantam keempat perampok melalui makanan yang "diracun". Cabai setan adalah jawabannya, kebetulan mereka punya rengginang lumayan banyak. Meski sedikit tak mengerti, pak peramal bekerjasama dan mereka segera menggoreng rengginang dan menumbuk cabai setan sebanyak-banyaknya.
"Bubuhkan gula juga, Bu, supaya saus sambalnya manis dan mengecoh lidah mereka." Si pak peramal mengusulkan pada istrinya.
Singkat cerita, hidangan rengginang yang lezat diusung kepada empat perampok, yang begitu takjub dengan kerupuk beras ketan yang tebal dan menggiurkan, apalagi ada cocolan sambal yang harum dan sangat merah. Si istri peramal beralasan makan malam tadi pastilah tak cukup mengenyangkan, maka si perampok dipersilakan menikmati camilan malam.
Selagi empat pemuda itu menggeliat kesakitan gara-gara cabai setan mematikan, peramal dan istrinya melapor pada polisi desa, tentang perampokan yang terjadi di desa mereka. Segera keempatnya dibekuk dan harta curian mereka, yang selama ini disembunyikan dalam makam kosong diamankan oleh yang berwajib.
Kapokkah keempat perampok itu? Mereka semua dipenjara untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka. Sementara sepasang suami istri penipu mendapatkan pelajaran penting, dan memutuskan hidup jujur mulai hari itu, dengan berjualan makanan, menu andalan mereka adalah kerupuk rengginang saus sambal, tentu memakai cabai biasa dan bukan bhut jolokia, dikenal sebagai ghost pepper dalam bahasa Inggris berskala kepedasan 1.001.304 Scoville Heat Units.
Dirman menjelaskan kepedasan cabai dalam bahasa yang mudah dimengerti putrinya, Ayla. Seumpama cabai merah keriting, cabai setan ini kira-kira dua puluh kali lebih menyengat, meskipun bukan yang paling pedas sedunia ini. Ada cabai bernama Napas Naga, dragon's breath yang asalnya dari Inggris, yang dua setengah kali lipat lebih pedas dari cabai setan. Artinya cabai napas naga lima puluh kali lebih pedas daripada cabai merah biasa.
"Wah, Ayah, berarti cukup cabai saja sudah bisa melumpuhkan penjahat, ya? Cerita dari Kak Kara ini keren banget, deh."
"Intinya, Ayla, kamu harus pintar dan pakai otakmu sebaik-baiknya. Di dunia ini ada banyak jalan selain kekerasan fisik, dan dengan memutar otak tak ada masalah yang tak selesai, asalkan kamu menghadapinya dengan berani. Mungkin kamu terlalu kecil untuk paham kata-kata Ayah, tapi nanti kamu akan mengerti juga, Nak."
Tiba-tiba Dirman merasa munafik. Menghadapi masalah dengan berani? Memangnya segampang itu melakukannya? Ia sendiri tak berani membuka buku gaib yang ditakdirkan jadi miliknya. Entah kenapa, ia makin takut menghadapi nasibnya sendiri. Seakan semakin diulangi, jalinan nasib makin semrawut bagi Dirman, yang dipusingkan oleh banyaknya pilihan yang tak diinginkannya.