Pagi ini aku terlambat untuk bangun pagi, mungkin karena kebiasaan untuk bangun pagi bukanlah hobi-ku. Saat aku ingin melihat jam di Ponsel ku yang tergeletak di atas meja kecil yang bersebelahan dengan kasurku, aku mencoba untuk membuka layarnya... "Anjirrr! charger-nya lupa gak dicolokin! ah bego banget sih gue" diriku sembari menahan emosi setelah tahu bahwa ponsel-ku mati total karena baterai habis dan lupa untuk men-charging-nya. Berangkat kuliah atau kerja tanpa membawa ponsel adalah hal yang sulit bagiku, karena di era sekarang, ponsel sudah menjadi kebutuhan. Aku bergegas keluar kamar untuk bertanya kepada temanku di kamarnya masing-masing, namun pintu kamar mereka semua dalam keadaan terkunci. Aku pun menuju lantai satu untuk melihat jam yang terpasang di dinding ruang utama, dan ternyata jam telah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Ah untung baru jam segini, kelas hari ini mulainya jam 10" gumam diriku sambil menenangkan diri. Aku pun langsung bergegas mandi dan berangkat menuju kampus, namun saat hampir sampai di kampus, aku mencoba mampir ke Angkringan di sekitar kampus untuk sarapan. Angkringan yang satu ini lumayan terkenal di kalangan teman-temanku, karena kami biasa berkumpul disini jika kelas belum dimulai maupun setelah kelas selesai. Disana aku bertemu temanku yang sedang makan, mereka adalah Wandi, Harun, Rizky, dan Hanafi. Wandi dan Rizky adalah penghuni kos di lantai satu, Hanafi tinggal di rumah kos yang berbeda dari kami, sedangkan Harun adalah orang asli semarang, jadi ia tinggal bersama orangtua nya. Hubungan antara Harun dan Hanafi cukup dekat denganku, kami sudah sering bersama sejak masa-masa orientasi Bahkan kami sering nongkrong bareng, entah itu di Angkringan, Kafe, atau di rumah Harun. Bahkan cara kami berkomunikasi pun lebih sering menggunakan bahasa non formal seperti Gue/Elu.
"Zwel, ewu dah ngejain tugah bahaha inggwih? (Zel, elu dah ngerjain tugas Bahasa Inggris)?" tanya Harun sembari mengunyah gorengan yang masih hangat. "telen dulu bol, baru nanya" celetuk Wandi kepada Harun. Harun pun segera menelan gorengan-nya dalam sekejap, sambil diomeli oleh Wandi yang terus mengoceh, karena ia memang orang yang sulit berhenti jika sudah berbicara. Namun Harun hanya menyengir karena menganggap bahwa itu hanya candaan saja.
"Lu udah ngerjain tugas Bahasa Inggris? kalo udah gue mau liat bol" tanya Harun dengan nada sedikit memaksa. "Tunggu sebentar, gue pesen es dulu" jawab aku sambil menggeser kursi diantara meja yang mereka tempati. Aku pun menaruh tas di kursi lalu pergi menuju gerobak yang dipenuhi berbagai makanan dimana tempat pemilik angkringan berada "Bu, pesen es teh manis satu" sambil mengambil piring plastik sebagai wadah untuk menaruh makanan yang akan ku ambil, lalu aku mengambil dua nasi bungkus ala Angkringan dengan label favoritku yaitu Nasi Goreng, dan tak lupa mengambil gorengan tempe dan bakwan sebagai pelengkap. Angkringan ini memiliki dua meja yang terpisah dari gerobak, karena tempatnya yang tidak jauh dari kampus maka wajar jika selalu ramai dikerumuni oleh para mahasiswa. Setelah aku mengambil makanan, aku pun kembali ke meja yang ditempati teman-temanku. Aku menaruh piring berisi makanan di atas meja, lalu membuka tas dan mengambil tugas bahasa inggris yang diminta oleh Harun.
Setelah sarapan kami selesai, kami pun membayar makanan dan segera bergegas menuju kampus bersama. Gedung yang kami tuju berada di Gedung D yang letaknya tidak jauh dari Angkringan tersebut, bahkan cukup untuk berjalan kaki. Sesampainya disana, kami menuju ke lantai 4. Meskipun gedung ini sudah memiliki 1 Elevator (Lift), namun kami lebih memilih untuk melewati tangga biasa, karena kapasitas Lift sangat terbatas dan seringkali digunakan oleh para mahasiswi dan dosen wanita, serta antrian untuk menunggu giliran pun memakan waktu lama.
Setibanya kami di lantai 4, kami menuju kelas D 4-5 yang berada di ujung koridor. Harun pun bergegas mengeluarkan buku dan tugas yang sudah kuberikan padanya untuk dikerjakan di kursi koridor.
"Zel, selesai matkul bahasa inggris mau langsung balik apa nongkrong di rumah Harun?" tanya Hanafi.
"Paling cuma bisa sebentar aja, soalnya jam 1 siang ada kerjaan" jawab aku.
"Halah kerja mulu kaya engga, kerja apa dikerjain?" celetuk Wandi yang mendengar percakapan kami berdua.
"Nganggur mulu miskin engga" ucap aku sambil memasang wajah datar.
Kami pun lanjut mengobrol dan bercanda di koridor sampai dosen datang. Ketika kelas selesai, aku pun langsung bergegas untuk pergi berkerja. Sesampainya di tempat kerja, aku memarkirkan motorku di tempat parkir khusus karyawan, lalu aku menyapa semua karyawan, hal ini selalu ku lakukan untuk lebih mengakrabkan diri dengan mereka. Kafe dimana tempat aku bekerja lumayan besar, terdiri dari 4 meja besar untuk delapan orang, 12 meja sedang untuk 4 orang, 6 meja kecil untuk dua orang, dan 6 meja lebar untuk 6 orang tanpa kursi (lesehan). Kafe ini tidak memiliki jendela, itulah kenapa meskipun cuaca sangat panas, pelanggan tidak akan merasa gerah atau kepanasan karena bangunan yang cukup terbuka. Dengan beberapa bangunan lain seperti restoran, distro pakaian, dan beberapa kafe kecil di sekitarnya, membuat kawasan ini menjadi ramai dilewati orang-orang, yang membuatnya menjadi lebih hidup. Ketika malam pukul 19:00 wib, seorang atasan yang bernama Pak Rangga menyuruhku untuk segera melayani satu pelanggan yang duduk di meja kecil di pojokan dekat tembok seorang diri. Alasan mengapa ia menyuruhku adalah karena pria itu sangat mencurigakan, ia telah berada di tempat itu sejak dua jam setelah kafe dibuka dan tetap disana hingga malam hari. Kafe dibuka setiap jam 7 pagi dan tutup setiap jam 11 malam, kecuali hari sabtu yang tutup setiap jam 2 malam, itu berarti pria tersebut telah ada disini selama 10 jam dengan pesanan yang tidaklah sedikit. Ketika aku menghampiri orang itu, aku langsung menyapanya seperti pelanggan biasa, namun ketika ia menoleh kepadaku, tatapannya terlihat sinis. Pria ini terlihat seperti seseorang yang berusia kurang lebih 45 tahun, menggunakan kemeja putih dan coat berwarna hitam, terlihat topi jenis newsboy yang ia gunakan dan beberapa cincin di jari tangannya. Ia pun terlihat membawa sebuah tas koper kecil berwarna hitam, seperti seorang pengusaha besar pikirku.
"Permisi pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya aku sambil mencoba untuk bersikap biasa. Namun pria itu hanya berdiam diri, terus memandangku dengan tatapan seolah ia tidak peduli dengan keberadaanku. Aku mencoba terus bersabar dan tetap tersenyum, namun tiba-tiba ia mengambil sesuatu dari dalam koper nya. Aku tidak tahu apa niatan pria tersebut, aku hanya bisa menunggu sembari memegang buku menu. Kemudian ia memberiku sesuatu, itu terasa seperti sekaleng minuman berwarna putih yang tidak memiliki merk apapun di kaleng nya. Ia menatapku tanpa berbicara satu patah kata pun dan kemudian menuju tempat pembayaran lalu pergi dari Kafe. Namun anehnya, aku tidak bisa menolak pemberian itu, seolah sekaleng minuman ini memang untukku. Aku kembali berkumpul bersama pelayan lain yang sedang senggang, tidak butuh waktu lama pak Rangga datang menghampiriku, dan aku menceritakan apa yang terjadi pada saat itu juga.
Jam menunjukkan pukul 10 malam, sudah waktunya bagiku untuk mengakhiri pekerjaan hari ini. Sesampainya di rumah kos, aku langsung bergegas menuju kamarku dan mencoba untuk memeriksa sekaleng minuman yang aku bawa dari kafe hasil pemberian dari orang itu. Namun aku masih belum berani untuk membuka dan meminumnya, karena bagaimanapun ini terlihat mencurigakan. Aku tidak ingin mengambil resiko yang tidak perlu untuk diriku, jadi aku menyimpannya di lemari pendingin (kulkas) yang berada di dapur lantai satu, yang letaknya berada diantara gudang dan kamar mandi. Kulkas ini dapat digunakan oleh seluruh penghuni rumah kos, jadi jika kita ingin menyimpan sesuatu di dalamnya, cukup dengan menulis nama di barang yang kita simpan di dalam kulkas. Setelah aku menulis namaku dan menyimpan kaleng tersebut, aku kembali menuju kamarku, sembari berfikir untuk mencari tahu siapa pria itu? dan apa motif tersembunyi dibalik pemberiannya? lalu apa isi yang ada di dalam kaleng itu?