Sementara itu, William yang baru saja bangun kesiangan di rumah, terkejut mendapati dirinya yang tak mengenakan apa pun di kamar. Aneh sekali karena biasanya, dia akan bangun dalam kondisi seperti itu hanya bila sedang lupa diri bersama Paula. Namun, saat ini, wanita itu tidak ada di sisinya. Mungkin saja, semalam Paula tidur di kamarnya sendiri setelah menghabiskan waktu dengannya.
William yang masih pusing mendapati botol-botol minuman yang berserakan di ruang tamu. Kemudian, dia ingat bahwa dirinya minum tanpa kendali setelah pembicaraan dengan Lea. Luka dalam kembali muncul di hati William saat ingat bahwa Lea telah tidur dengan pria lain. Namun, apa haknya memprotes? Dia juga sudah berpengalaman sekarang. Sangat berpengalaman karena Paula menjadikannya pria yang hebat di ranjang.
"Nggak adil rasanya kalau aku harus marah ke Lea, sementara aku juga bersenang-senang dengan Paula setiap malam," gumam William meratapi sendiri kelakuannya selama ini. Dia lalu pergi ke kamar mandi untuk membereskan urusan paginya.
William mendesah seraya mengelap wajahnya yang basah dengan handuk bersih. Dia telah bertekad untuk menerima Lea apa adanya. Bagaimanapun juga, dia tak akan bisa menghapus rasa sayang yang telah dipupuk bertahun-tahun hanya karena kesalahan semalam saja. Kedudukan penting Lea tak akan berubah di hatinya. William akan tetap menjadikan itu wanita nomor satu di dunia setelah mamanya tentu.
Pria muda nan tampan itu lalu mengambil celana boxernya dan beranjak ke dapur untuk mengambil air minum. Dia minum air putih cukup banyak dan mencari pil hangover di kotak obat dan segera menelannya, berharap pusingnya akan segera hilang.
Kepala yang masih pusing membuatnya malas sarapan. Namun, dia paksakan untuk mengambil cereal dan susu yang dia campur potongan pisang serta stroberi. Sarapan dingin memang pilihan terbaik saat mual begini.
"Paula! Turunlah! Apa kamu nggak ke kantor?" Karena tak ada bekas-bekas dapur digunakan, William berasumsi bahwa Paula masih tidur. "Paula? Aku buatkan cornflakes pakai potongan pisang dan stroberi, ya? Atau kamu mau wafel? Pancake? Sandwich?"
Tentu saja, tak ada sahutan dari kamar lantai dua. Hal ini membuat William merasa sangat heran. Dia pun mengecek gantungan kunci mobil dan tersadar bahwa istrinya sudah tidak di rumah karena kunci mobilnya tak ada.
"Oh, pagi banget dia berangkat? Dasar istri solehot. Suaminya ditinggalin begitu saja," ujar William meniru kata temannya, Maulana, yang pernah menyebutkan istilah semacam itu untuk istri yang sopan di luar rumah, tetapi tampil menggoda di dalam rumah.
William pun akhirnya sarapan sendiri dan menyiapkan diri untuk ke kantor dengan perasaan kesepian. Tak biasanya Paula meninggalkannya sekalipun dia kesiangan. Mereka lebih sering menyambut pagi bersama, sibuk bersama, dan meneriaki satu sama lain bila salah satu dirasa terlalu lambat.
Senyum masam tersungging di bibir William saat melajukan mobil ke kantor. Dia tak menyangka paginya yang ribut dan kacau bersama Paula akan menjadi sesuatu yang dia rindukan saat ini. Kekacauan pagi yang menyenangkan. Dalam hati, William berharap akan bisa menebusnya dengan membuat makan malam untuk Paula nanti.
Sampai di kantor, pria itu meminta sekretarisnya untuk belanja online dan menjadwalkan untuk mengirim belanjaan saat dia sudah sampai di rumah nanti.
"Mau masak, Pak?" tanya si sekretaris William menggoda. "Asik, ya, jadi Bu Paula. Disayang suami! Dimasakin pula! Steak wagyuu."
William tersenyum dan berkata, "Sok tau banget kamu! Aku yang beruntung punya istri baik kayak Paula."
"Semoga langgeng, ya, Pak!" ujar sekretaris jenaka itu dengan doa yang tulus.
Hati William mencelos mendengar doa semacam itu. Langgeng? Padahal dia dan Paula berencana akan bercerai segera karena sudah ada Lea. Kalau saja Lea tak pulang, apa dia akan tetap bersama dengan Paula?
William hanya mengangguk karena dia paham bahwa sekretarisnya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dengan Paula. "Udah, sana cepetan belanja! Jangan lupa jadwalkan tepat waktu, ya! Jangan sampai Paula sampai duluan di rumah. Aku mau nyiapin kejutan soalnya."
Saat pulang kantor, William segera memasak begitu belanjaan sampai. Tak lama tentunya karena daging dan sayuran yang dipesan sekretarisnya sudah siap pakai.
Hanya saja, tak ada tanda-tanda kepulangan Paula walaupun sudah setengah jam berlalu.
"Ke mana, sih, dia? Kok tumben, sudah jam tujuh, tapi belum pulang?" gumam William cemas. Pria itu menatap dinner romantis di meja dengan agak kecewa. "Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi?"
Karena khawatir, William mencoba menghubungi ponsel Paula. Namun, ponsel pribadinya dimatikan.
William pun menghubungi nomor bisnis Paula. Namun, panggilannya dialihkan. Apa yang sebenarnya terjadi? William tak habis pikir.
Apakah dia melakukan kesalahan yang membuat Paula sangat marah? William mencoba mengingat kejadian malam sebelumnya. Namun sayang, dia tak bisa sedikit pun meraih kembali ingatannya.
Malam itu, makan malam romantis hanya sebuah rencana. William tertidur di sofa tanpa menyentuh masakannya sama sekali.
***
Sementara itu, Paula masih bermalam di hotel. Dia masih tak ingin berada di dekat suaminya walaupun dia tahu saat itu William sedang di luar kendali. Dia butuh waktu untuk berpikir jernih dan mempertimbangkan masak-masak mengenai hal yang sebaiknya dia lakukan.
Besok pagi, Lea akan pergi ke Surabaya. Bila Lea menjauh, William akan menjadi miliknya selamanya. Anaknya akan memiliki seorang ayah. Bisa jadi, William akan bisa melupakan Lea bila wanita itu sendiri yang menjauh.
Namun, di sisi lain, Paula merasa bersalah bila melakukan hal itu. Dia merasa menjadi orang ketiga yang merebut William dari Lea. Lea pun akan hidup menderita karena hal itu. Siapa yang bisa menjamin dia akan hidup bahagia bersama pria lain yang mencintainya? Apalagi, anak yang dikandung Lea adalah anak William. Adakah pria yang bisa menerima Lea apa adanya?
Mungkin ada. Tapi entah di mana. Apakah Lea akan menemukannya atau tidak, juga tak ada yang tahu.
Malam itu, Paula tak bisa tidur karena memikirkan hal ini. Bahkan hingga pagi menjelang dan sinar matahari muncul menerobos sela-sela gorden, Paula tak bisa memejamkan mata.Namun, wanita itu tidak begadang tanpa hasil. Dia telah membuat keputusan yang menurutnya akan menjadi keputusan terbaik untuk semua orang.
Dia lalu mengambil ponsel dan menelepon William. Dari seberang, terdengar suara malas William yang baru saja bangun tidur.
"Paula, kamu ke mana saja?" tanya William sambil menguap dengan malas.
Paula tak menghiraukan pertanyaan William. Dia kemudian berkata tanpa berbasa-basi, "Will, Lea berencana kabur ke Surabaya dengan penerbangan jam sembilan pagi ini. Cegah dia, Will! Jangan sampai kamu menyesal karena Lea sedang hamil!"