"Ada apa, Casanova? Astaga, kemana perginya gadis itu?" Ibu Merry tiba-tiba muncul dari dapur dengan membawakan tisu. Matanya melirik ke arah lantai 2 sekilas, lalu beralih menatap Casanova, menginginkan jawaban.
"Mora sudah kenyang, Ibu Merry. Jadi ia ingin melanjutkan tidur."
"Huh! Apa sebenarnya maunya anak itu? Dasar tidak sopan! Meninggalkan makanan yang belum disentuh sama sekali adalah perbuatan tidak terpuji," dengus kesal Ibu Merry. Betapa terlihat, dirinya sangat menghargai makanan, serta tidak suka jika ada seseorang menyia-nyiakan makanan.
Namun Casanova segera mengalihkan suasana. Ia menggeretkan kursi yang ada di depan Ibu Merry.
"Sudahlah ... Silakan duduk saja dan nikmati sarapan Anda. Aku janji, akulah nanti yang akan menghabiskan makanan di piring Mora. Jadi, tidak ada makanan yang tersisa, kan?" Ia tersenyum.
Ibu Merry memutar bola matanya. Lalu duduk di kursi seraya membetulkan posisi bokongnya yang terlalu besar. "Ya, sudah, apa boleh buat? Jadi sekarang cepatlah kau yang pimpin doa, Casanova."
"Baik, Ibu Merry."
Casanova lalu lekas memejamkan mata, meletakkan kedua siku di atas meja, serta menangkupkan kedua tangan penuh hikmat. Dengan suara rendah ia mulai berdoa, "Tuhan, semoga Kau limpahkan keberkahan yang banyak di dalam makanan ini. Sebab, bukakah Kau tahu, jika makanan ini dibuat oleh seorang wanita yang sangat dermawan? Ya, dan semoga dengan tangan-Mu yang lembut itu, Kau sentuh Ibu Merry dengan belas kasih-Mu yang mendalam, Tuhan. Serta berilah ia cinta, sebagaimana aku yang juga memberinya cinta. Amin." Casanova membuka matanya, tersenyum nakal.
"Hahahaa, apa-apaan doamu itu? Tapi ya, ya, amin, amin. Hahahaa..." Ibu Merry sangat girang. Casanova hanya tersenyum, lalu ia mulai menyantap sarapannya dengan lahap.
Tak hanya diam, namun di atas meja makan sangat ramai oleh obrolan mereka berdua. Dengan lincah Casanova menceritakan berbagai hal menarik yang pernah ia baca dari buku.
Ibu Merry menyimak saksama, apa lagi saat pemuda itu mulai memberikan rayuan mautnya. Itu sukses membuat Ibu Merry terpingkal-pingkal, bahkan nyaris terjengkang dari kursi.
"Anda perlu tahu. Padahal dulu, aku sangat mengidolakan gadis-gadis muda. Tapi sejak bertemu dengan Anda seleraku berubah total," ujar Casanova seraya menyuapkan pasta ke dalam mulut.
"Ah, jangan coba-coba merayuku, Casanova. Tapi tunggu ... apa yang membuatmu lebih tertarik kepada wanita janda sepertiku dibandingkan dengan gadis-gadis muda di luar sana?" Ia penasaran.
"Pengalaman," jawab Casanova cepat-cepat, "tak bisa dipungkiri, jika gadis muda memanglah menggoda. Tapi seorang janda lebih menarik. Sebab ia lebih punya pengalaman dan mungkin banyak 'gaya'."
"Mmm? Ahahahaa, baiklah, baiklah. Tapi masalahnya, apakah janda gemuk sepertiku masih menarik di matamu? Oh, ayolah, jangan berbohong, Casanova. Tentu saja seharusnya gadis-gadis muda bertubuh langsing itu masih lebih menarik untukmu dibandingkan aku, kan?"
Pemuda itu menggeleng pelan. "Tidak, Ibu Merry. Sekarang izinkan aku bertanya. Bagaimana menurut Anda, jika ada seorang penunggang kuda melesat kencang dengan kudanya yang bertubuh kurus? Apakah si penunggang kuda itu akan merasa nyaman?" tanya Casanova.
"Mmm, mungkin tidak. Sebab si penunnggang kuda akan kesakitan akibat bokongnya merasa tidak nyaman saat menunggangi punggung kuda yang kurus itu?"
"Nah, tepat sekali! Lalu sekarang, bagaimana menurut Anda, jika kuda yang kurus dan langsing tadi diganti dengan kuda betina yang gemuk? Tentu akan membuat si penunggang kuda merasa lebih nyaman?" tanya Casanova lagi.
"Mmm? Ahahahaa, sialan! Kau memang pintar merayu rupanya, hahahaa." Ibu Merry bergelak tawa, tak bisa menahan lagi rasa girangnya atas rayuan maut Casanova.
Pemuda itu memang punya keunggulan dalam beretorika, mengolah kata-kata, sehingga bisa membuat setiap wanita lebih percaya diri dengan ucapannya. Bahkan untuk sekelas Ibu Merry saja, Casanova mampu membuatnya menjadi lebih percaya diri.
Casanova dilahirkan untuk tulus mencintai wanita. Sebab baginya, setiap wanita mempunyai sisi-sisi keindahan sendiri-sendiri. Baik yang bertubuh langsing maupun yang berbadan besar. Yang berkulit putih maupun coklat atau bahkan legam. Yang berambut lurus maupun yang mengombak. Wanita-wanita itu ... ah, bagi Casanova adalah pahatan Tangan Tuhan yang layak untuk dikagumi semuanya.
Begitulah yang tertanam dalam diri seorang Casanova.
"Oh ya, Ibu Merry, sebaiknya Anda kuberitahu juga, jika semalam aku telah dipecat dari pekerjaanku di restoran," ucap Casanova mulai curhat mengenai kondisinya. "Chef Juna, si pemilik restoran itu semalam marah besar. Sehingga ia mengusirku tanpa memberi pesangon sepeserpun."
"O, begitukah? Aku turut prihatin mendengarnya, Casanova. Tapi apa masalahnya? Apa kau telah membuat kesalahan yang besar?"
"He'em." Casanova mengelap mulutnya. Pasta di piringnya kini telah habis. "Aku salah menyajikan makanan untuk tamuku. Dan masalah terbesarnya, tamuku itu adalah Mister Adam dan Nona Bianca."
"Celaka!" Ibu Merry membulat matanya, tapi satu detik kemudian ia tertawa. "Hahahaa, kenapa kau bisa begitu ceroboh, Anak Muda? Ya, ya, nasibmu memang malang. Tapi semestinya kau juga harus bersyukur."
"Bersyukur?" Casanova tidak paham maksud ucapan itu.
"Tentu. Bersyukurlah sebab Mister Adam tidak sampai mengeluarkan pistolnya dan menembak kepalamu di restoran malam itu. Apa kau tahu? Selain seorang politikus kaya-raya, dia juga salah satu pimpinan kelompok mafia berbahaya. Anak buahnya banyak tersebar di seluruh penjuru kota. Manusia bodoh mana yang berani membuatnya murka? Jadi, kau cukup beruntung sebab tidak sampai ditembak mati di tempat saat itu, Casanova."
Casanova mendadak gemetar. Rautnya berubah pucat, memikirkan ternyata kesalahan pada malam itu sungguh sangat besar. Para mafia yang terkenal bengis itu tentu bisa membunuhnya sewaktu-waktu.
"Tapi Anak Muda, kau tidak perlu khawatir. Sebab aku mengenal Nona Bianca. Jadi aku bisa melobinya nanti, memintakan permohonan maafmu kepadanya."
"Eh, Anda mengenal Nona Bianca?"
"Ya, bahkan kami cukup akrab. Kami tergabung dalam sebuah club, bernama Club Arisan Rahasia."
"M-maksud Anda? Club Arisan Rahasia apa?" Casanova terus bertanya.
"Sudahlah, kenapa kau jadi mencampuri urusan pribadiku? Yang terpenting saat ini, aku bisa menjamin keselamatanmu. Nona Bianca dan Mister Adam pasti memaafkanmu, dan kau akan baik-baik saja, Anak Muda."
Casanova mengangguk paham. Ia mengucapkan terima kasih dan mencium punggung tangan Ibu Merry yang sudah mau membantunya. Setidaknya Casanova tidak ingin jika urusan malam itu menjadi lebih panjang.
Sarapan pagi ini akhirnya selesai.
Ibu Merry mengumpulkan piring-piring kotor di atas meja, lalu menumpuknya menjadi satu. Casanova segera berdiri untuk membantunya.
"Biar kubantu mencucinya, Ibu Merry."
"O, ayolah, sepertinya kau harus banyak belajar menjadi seorang pria sejati, Anak Muda. Pria sejati tidak perlu mencuci piring, sebab itu merupakan pekerjaan wanita. Seharusnya sekarang ini kau fokus menjaga harga dirimu saja."
Casanova mengerutkan kening. "Menjaga harga diri?"
"Ya! Pergilah mencari pekerjaan baru. Sebab itu akan menjaga harga dirimu."
Ibu Merry lekas pergi menuju dapur membawa tumpukkan piring kotor itu, meninggalkan Casanova yang masih mematung demi mencerna penjelasan barusan.
Sangat masuk akal. Harga diri seorang pria akan terletak pada pekerjaannya. Sebuah pelajaran yang akan pemuda itu simpan di dalam kepala. Serta sepertinya, mulai hari ini ia akan banyak belajar dari ucapan-ucapan dan pengalaman wanita tua itu.
"Oh ya, Casanova, ada satu hal lagi yang perlu kau ingat!" teriak Ibu Merry dari balik dinding dapur. Casanova mendekat, hingga wanita tua itu yang sedang mencuci piring membalikkan badan. "Hari ini kau juga pergi ke barbeshop untuk merapikan rambutmu. Sebagai seorang pria sejati, kau juga harus mulai memperhatikan penampilanmu."
"B-baik, Ibu Merry, akan kulakukan saranmu. Dan sekali lagi, terima kasih untuk sarapan pagi ini. Anda sungguh dermawan." Casanova membungkukkan badannya sopan.
"Ya, jangan terlalu dipikirkan. Pergilah."
"Baik, Ibu Merry."
**
Casanova kembali berjalan ke kamar kumuhnya, dan ketika sampai di dalam ia lekas merebahkan tubuh ke atas kasur yang berdebu.
Perutnya kini telah kenyang. Dan sekarang Casanova sedang memikirkan apa yang hendak ia lakukan.
"Hm, sepertinya saran Ibu Merry cukup masuk akal. Ya, aku harus mencari pekerjaan. Tapi sebelum itu aku harus mengubah penampilan agar telihat lebih rapi," ucapnya penuh semangat. Ia lalu bangkit dan memakai topinya, berjalan keluar kamar untuk memulai aktivitasnya hari ini.
Pagi sangat cerah di luar sana.
Hanya dengan berbekal uang kepingan receh yang ada di sakunya, Casanova berjalan dengan penuh percaya diri menuju deretan toko-toko di tengah kota.
Jarak rumah kontrakannya dengan area pertokoan tak terlalu jauh, sekitar 30 menit dengan berjalan kaki.
Sepanjang jalan ia mendongakkan kepala, juga membusungkan dada. Berjalan tegap seperti tentara yang hendak pergi ke medan perang.
Ia pun menyapa setiap orang yang berpapasan dengan dirinya, menunduk santun saat berpapasan dengan orang yang lebih tua, melepas topi coklatnya, mengucapkan selamat pagi, atau semoga hari Anda menyenangkan, Tuan.
Serta, Casanova juga akan menyapa gadis-gadis cantik Venesia. Mengedipkan sebelah mata bila sedang berpapasan dengan mereka, sambil memekik lantang, "Bella! Bella!"
Casanova melambaikan, sengaja agar cincin pemikatnya bisa dilihat oleh para gadis yang sedang membawa barang-barang belanjaan.
Inilah hari yang sangat menyenangkan bagi pemuda itu. Sebab para gadis juga membalas lambaian tangan Casanova, serta tertawa malu-malu.
"Hai, Bella! Hai, Cantik Jelita!" Casanova bersiul-siul, seakan merasa bahwa dialah laki-laki paling tampan di dunia!
Hingga sampai di depan barbershop yang dituju, Casanova segera mendorong pintunya, hingga terdengar bunyi lonceng yang tergantung di atas pintu itu.
Klinting!
"Selamat datang di barbershop kami, Tuan. Eh...?"