Putri pada akhirnya pun ikut menumpang pulang dengan Sultan. Dirinya duduk disebelah kirinya, terus melihat ke arah kaca jendela mobil dengan tatapan sendu.
Biasanya di jam segini dirinya sering pulang bersama Nara, dalam sekali jentikan jari dirinya langsung sampai ke depan rumahnya.
Itu terus dilakukan setiap harinya oleh lelaki itu belakangan ini, hingga membuatnya tidak terbiasa ketika pulang dalam keadaan seperti ini.
Bodoh sekali rasanya. Ia begitu merindukan masa-masanya bersama Nara. Apa sebenarnya yang menyebabkan dirinya tidak kunjung muncul ke hadapannya?
Apakah mungkin terjadi sesuatu padanya? Atau memang dirinya tidak ingin lagi menemuinya?
Sebuah awan pemikiran terus mengambang di atas kepalanya.
Ia merindukan sosoknya, setidaknya jika ingin benar-benar pergi, berpamitlah dulu.
Lalu katakan alasannya, yang menyebabkan ia berkeinginan untuk meninggalkannya. Tidak dengan menggantung perasaan seperti ini.
Sultan menyadari betapa murungnya Putri saat itu, ia pun segera bertanya. "Kenapa kok sedih gitu?" tanyanya heran.
"Enggak pak, enggak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu aja."
"Kekasih hantu kamu yang hilang itu?" tebak Sultan. Putri sedikit kaget mengetahui tebakannya itu tepat sasaran. Putri hanya tersenyum tipis lalu memalingkan wajah.
"Kan saya sudah bilang, makhluk seperti mereka tidak bisa diharapkan. Kamu berharap terlalu berlebihan padanya ujung-ujungnya akan membuat kamu merugi." ucap Sultan.
Putri terkekeh. "Entah ya.. Kok perasaan saya seakan bilang kalo Nara enggak sama seperti yang ada di pemahaman bapak selama ini." ujar Nara.
"Keras kepala sekali ya kamu. Padahal sudah ketahuan dari sekarang kekurangannya itu." ujar Sultan.
"Terserah bapak mau menganggap saya bagaimana." ujar Putri.
Tiba-tiba Sultan melihat ke seberang sana, sebuah restoran yang lumayan terkenal di daerah sana.
"Kamu udah laper belum? Kita makan yuk." ajak Sultan.
"Enggak, maaf pak. Saya mau langsung pulang aja." ucap Putri.
"Kenapa memangnya?" tanya Sultan.
"Enggak kenapa-napa pak. Cuma lagi pengen pulang cepet aja."
"Masih galau?"
Putri tersenyum tipis.
"Saya saranin jangan lama-lama galaunya. Mending cepetan move on, supaya bisa ceria lagi. Cowok di dunia ini banyak loh, Nara kan juga bukan manusia, sekalipun kalian berdua menikah, belum tentu kedepannya bakal langgeng. Kalian itu ibaratnya pasangan yang LDR. Enggak bakal pernah bersatu." ucap Sultan.
Putri semakin galau dikatakan seperti itu. Bukannya disemangati malah semakin dibuat terpuruk. Dasar direktur aneh.
"Atau kalau enggak, mau sama saya?" tanya Sultan yang langsung membuat kedua mata Putri melebar sesaat.
"H-hah??"
"Serius. Mau gak pacaran sama saya?" tanya Sultan. Putri menatapnya heran, sedikit melongo. Ia benar-benar tidak percaya dengan perkataan itu.
"E-enggak pak. Saya masih belum bisa move on dari yang ini." ucap Putri. Sultan tertawa mendengarnya.
"Oke, kapanpun itu, saya tunggu hingga kamu siap." ucap Sultan. Putri hanya terdiam.
Disaat yang sama seorang hantu wanita berambut ikal sedang berjalan menyusuri jalanan ibu kota.
Dia adalah Rita yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki ke kota tersebut, selepas tinggal lama di rumah sakit daerah Bekasi.
Dirinya tampak takjub dengan pemandangan kota Jakarta yang dikelilingi oleh banyak gedung pencakar langit menjulang tinggi.
Ketika berjalan, dirinya sering menjahili orang-orang yang ada disekitarnya. Seperti menggoyang-goyangkan semak belukar dibelakang dua sepasang kekasih yang sedang duduk berduaan hingga membuat mereka ngibrit kabur dari sana.
Bukan hanya itu saja, tetapi sepasang kekasih yang sedang jalan, ia elus bokong si perempuan hingga si perempuan pun menuduh kalau kekasihnya sengaja mengelus bokongnya, ia menabok pipi sang kekasih pada akhirnya.
Banyak kejahilan-kejahilan yang Rita lakukan saat itu. Ia merasa sangat puas setelahnya.
Saat melewati taman, dirinya tak sengaja melihat seorang pria berbaju serba putih sedang duduk sendirian.
Setelah dilihat dengan seksama, ternyata dia adalah pria yang belum lama ia temui di rumah sakit, pria yang sangat menjengkelkan. Nara.
Tapi kelihatannya dia lagi sedih sekarang, sebuah pemikiran licik pun terlintas di kepalanya. Ia berniat menggodanya.
Langkah demi langkah dirinya berjalan mendekati Nara. "Kasihan yang baru diputusin sama pacar. Kenapa enggak bunuh diri aja?" tanya Rita.
Nara melirik sinis Rita dan menatapnya jengkel.
"Sepertinya yang memberi saran, sedikit pengalaman dengan sarannya?" ujar Nara yang langsung makjleb menancap ke ulu hati Rita.
"Lo tuh! Lagi galau juga ngeselinnya gak ilang-ilang! Heran!" tandas Rita kesal.
"Siapa suruh deketin." ucap Nara balik serang.
"Udah ya. Gue selalu aja dibuat kesel tiap ketemu sama Lo! Kenapa sih!" ucap Rita lagi.
"Tinggal pergi kan?" balas Nara.
Rita semakin empet, tapi dirinya juga tidak meninggalkan orang yang bisa melihatnya sebegitu mudah. Dirinya kembali berkata padanya.
"Lo itu sejenis apa sih? Hantu penasaran, jin? Atau apa? Perasaan kok kayak muncul terus, enggak pulang-pulang?" tanya Rita heran.
"Bukan urusan kamu. Tidak menguntungkan bagi saya untuk memberitahu hal sejauh itu." ujar Nara.
"Hah? Pelit banget sih. Ya gue kepo lah. Lo sejenis jin ya?" tanya Rita semakin memojokkan. Nara tidak menjawabnya. Ia lebih memilih mengacuhkannya.
"Oh atau jangan-jangan lo itu emang sejenis jin yang hobinya ngerjain orang?"
"Bukannya itu kamu?" balas Nara.
Rita semakin kesal, dirinya benar-benar tidak sabaran untuk menjitaknya. Akan tetapi Nara keburu bangkit saat itu juga dan pergi meninggalkannya.
Tentu saja Rita tidak mau membiarkan Nara pergi. Ia menarik tangannya.
"Tunggu, kalau memang lo sejenis jin. Apa lo bisa bantu gue? Soalnya gue juga sejenis jin. Tapi gue masuk ke kategori manusia setengah jin." ujar Rita.
Nara tersentak kaget. Apa barusan katanya?
"Gue pengen lo sampein ke kedua orang tua gue yang ada di dunia jin. Kalo gue disini baik-baik aja. Mereka enggak perlu nyariin gue lagi. Lo bisa kan sampein? Plisss." pintanya penuh harap.
Nara masih menatapnya tidak percaya. Ia mendiamkannya beberapa saat kemudian langsung berkata. "Siapa ... Katamu barusan? M-manusia setengah jin?"
"Iya, kenapa lo kayak kaget begitu? Ngerasa aneh ya sama istilah itu? Ya asal lo tahu aja, spesies kayak gue emang termasuk langka. Limited edition." ujar Rita.
"Saya juga ... Manusia setengah jin." ujar Nara. Rita melotot. "Hah?! Serius?" Nara mengangguk. Rita jadi beralih tertawa.
"K-kok bisa sih samaan gitu hahaha." tawanya. Nara tersenyum tipis.
"Tapi kenapa lo bisa ujungnya ada disini? Sedangkan setahu gue, manusia setengah jin itu lebih suka bertempat tinggal di dunia sana. Bukan di dunia manusia. Apa ada hal yang memaksa lo untuk pindah kesini?" tanya Rita penasaran.
"Apakah memberitahumu bisa menguntungkan hati saya?" tanya Nara yang kembali memunculkan keinginan Rita untuk menjitaknya lagi. Kesal.
"Lo bisa gak sih enggak bikin gue kesel mulu?! Tinggal jawab aja apa susahnya? Gue aja enggak lo tanya malah nyerocos panjang lebar nyeritain siapa gue! Nah elo. Ngasih jawaban aja pelitnya bukan maen!" tandas Rita kesal.
Nara mau tak mau pun segera membalas perkataannya, terpaksa.
"Saya berada disini karena berencana ingin berkeluarga dengan manusia dari dunia ini." ujar Nara. Tentu saja itu membuat Rita tersentak bukan main.
"Hah? Elo-elo mau ... mwahahaha! Elo mau apa barusan? Berkeluarga sama orang disini?! MWAHAHAHA! Apa Lo gila atau sableng sih? Manusia itu makhluk yang lemah dan juga suka berkhianat. Banyak para jin yang ujung-ujungnya setelah menjalin hubungan dengan manusia malah sakit hati karena diselingkuhi!" ujar Rita.
"Dia tidak seperti itu!" tandas Nara.
Rita masih tak habis pikir. "Siapa sih manusia yang sampai Lo bela-belain kayak gini? Apa dia secantik Putri Diana? Lo tahu gak sih, secantik-cantiknya penampilan mereka, sifat mereka itu sama. Emang Lo sendiri apa enggak cemburu kalo ternyata manusia yang pengen Lo ajak nikah itu dekat sama manusia lainnya? Apa Lo enggak bakal cemburu terlepas dari keadaan Lo yang berwujud transparan kayak gini?" tanya Rita.
Mendadak Nara jadi teringat dengan kegundahan hatinya saat ini. Selepas dirinya melihat dengan mata kepala sendiri, kekasihnya bercanda akrab dengan seorang pria manusia yang tentunya lebih baik dibanding dirinya yang hanya makhluk transparan.
Sejujurnya kalau ditanya. Apakah ia cemburu? Tentu jawabannya adalah ya. "Kenapa? Kok bengong? Atau emang benar yang gue katakan barusan?" tanya Rita.
Nara hanya melengos enggan memberi jawaban maupun klarifikasi kalau yang dikatakannya adalah salah.
Seakan Rita bisa membaca dengan cepat, kalau Nara sama saja mengiyakan yang dirinya katakan.
"Ayolah jawab. Lo pasti lagi merasakan hal itu kan? Kalo sekarang aja Lo udah merasakan hal kayak gitu. Gimana nanti kalo udah nikah? Lo bisa berakhir ditinggalin sama orang itu." ujar Rita.
Nara menatapnya penuh tanda tanya. Segera dirinya berkata.
"Apa kamu bisa membantu saya untuk bisa menjadi satu-satunya yang dirinya cintai?" tanya Nara. Rita tertawa.
"Lo benar-benar ya. Segitu bucinnya sama tuh cewek sampe rela ngemis begini sama gue."
"Kapan saya mengemis?"
"Ya ini?"
"Saya tidak mengemis."
"Terserah deh. Oke gue bakalan bantu caranya. Pokoknya gue akan bantu asal Lo juga bisa timbal balik. Bantu gue juga. Yak?" tanya Rita. Nara mengiyakannya.
Malam harinya. Nara berjalan menembus kamar Putri yang sudah gelap, langkah demi langkah pria berbaju serba putih itu berjalan menuju terbaringnya Putri, bisa terlihat wanita itu tampak pulas dengan memeluk gulingnya.
Sepertinya sang kekasih sedang merasa kelelahan saat itu, Nara duduk disebelah kasur Putri lalu tangan transparannya mengusap kening Putri perlahan. Ia tersenyum.
Putri yang menyadari ada sesuatu menyentuh keningnya langsung terbangun dan kaget bukan kepalang melihat Nara ada dihadapannya.
"Nara? KEMANA AJA SIH!" ucapnya yang langsung ngegas di ujung.
"Ngeselliiiiin! Sebel! Sebel! Sebel! Akh!" tandasnya berulang-ulang meninju ujung bahu Nara. Tentu saja Nara merasa sedikit kesakitan meski dirinya tidak mengeluh dan malah mengikhlaskan diri untuk terus dipukul.
"Keseeelll!!!"
Setelah berkata seperti itu, Putri tidak lagi memukulnya melainkan memakinya. "Kenapa baru dateng?! Kemana aja dari kemarin-kemarin?!" tandasnya kesal.