Pukul 22:30 malam.
Aku dan Fans berada di dalam ruangan kerja milikku. Jari-jemari Fans terus mengetik di atas laptop milikku, kedua matanya serius memandang monitor laptop, sedangkan aku. Aku sedang merebahkan tubuhku di atas sofa panjang, kedua kaki aku letakkan di tangan sofa, tangan kanan menggoyang pelan gelas yang berisikan minuman anggur merah.
"Dapat." Ucap Fans membuat aku langsung duduk.
"Mana! Cepat berikan informasi itu kepadaku." Tegasku.
Wajah Fans seketika berubah menjadi panik, dahinya mengerut, kedua mata menatap serius wajahku. "Apa Bos yakin ingin melihat data-data tentang nona muda atau Jingga?"
"Jangan buat mood aku menjadi buruk Fans." Ucapku merampas laptop dari tangan Fans. Kedua mataku membesar saat aku melihat semua informasi mengenai Jingga. Gelas yang berisi minuman anggur yang berada di tangan kiri aku hempaskan ke atas lantai.
Kltang..
Aku segera berdiri, wajah aku tekuk, bibir aku berdecak penuh amarah. "Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin! Dari awal saat melihat informasi Jingga yang banyak keganjilan, saya sudah menaruh curiga kepadanya. Tapi wanita itu tidak bersalah, wanita itu adalah wanita yang baik dan kehidupannya sejak kecil penuh dengan siksaan." Jelas Fans memberitahu aku tentang sedikit informasi yang sudah ia baca tentang Jingga.
Braakk!!
Aku menggebrak meja, kedua mata penuh amarah menatap lurus ke depan. "Aku tidak perduli. Rasa berterimakasih ku seketika hilang saat mendengar informasih tentang dirinya."
"Tapi Bos."
"Diam." Sambungku memutus ucapan Fans. Aku segera berlalu meninggalkan Fans yang masih duduk di sofa. Kedua kaki terus melangkah keluar dari ruangan kerja milikku.
Kedua kaki terus melangkah cepat menuju kamar milikku yang di tempati oleh Jingga, dahiku terus mengerut, kedua alis menyatu, bibir terus mengupat. "Ck. Kenapa bisa seperti ini. Kenapa harus wanita bodoh itu! kenapa tidak wanita lain. Aku tidak boleh terkecoh melihat wajah polos dan dirinya yang malang itu, wanita ini harus merasakan apa yang aku rasakan dan mendiang kedua orang tuaku dulu rasakan."
Kedua kakiku terhenti di depan kamar, saat tangan kanan membuka pintu kamar aku mendengar suara Jingga yang berkata. "Tuhan. Terimakasih kamu sudah mempertemukan aku dengan orang yang baik. Sampaikan salam kepada Ibu angkatku yang sudah berada di Surya jika diriku saat ini sudah mendapatkan tempat yang layak dan nyaman. Katakan padanya hiduplah dengan tenang dan jangan memperdulikan keadaanku lagi di sana."
Aku mengeratkan tangan kanan yang memegang gagang pintu kamar, bibirku berdecak. "Ck." Perasaanku seketika berubah-ubah, aku tak tahu kenapa diriku tiba-tiba berubah menjadi labil. Tapi aku harus membalaskan dendam itu. Rasa sakit saat mendengar jeritan mendiang kedua orang tuaku. Aku membulatkan tekad untuk menghilangkan rasa tak karuan yang kini aku rasakan. Aku membuka kasar pintu kamar.
"Ka-kamar kamu bukan di sini." Ucap Jingga gugup, ia segera berdiri, kedua mata bingung menatap diriku yang terus berjalan dengan wajah dan hati yang terasa tidak karuan.
Aku menarik kasar tangan Jingga. "Panggil aku, Tuan." Tegasku dingin. Aku terus menarik tangan Jingga, membawa dirinya menuju pintu kamar.
"Kenapa kamu kasar sekali. Dan kamu mau bawa aku ke mana?"
Aku membuka pintu kamar, aku mencampakkan Jingga di depan pintu kamar, kedua mata menatap dirinya tajam, tapi hati aku bertolak belakang. Aku mengulurkan jari telunjuk ke lantai bawah. "Kamar tamu berada di bawah, bukan di atas bersama dengan kamar Tuannya." Ucapku dingin.
Jingga segera berdiri, kedua mata sendu menatap diriku yang sedang berbalik badan. "Kenapa kamu berubah menjadi kasar? Bukannya aku sudah menuruti permintaan kamu yang melarang diriku keluar dari Vila ini." Ucap Jingga sendu.
Aku membelakangi Jingga yang masih berdiri di belakangku. Aku mengerutkan dahi, kedua alis menyatu, kedua mata menatap lurus ke pintu kamar yang terbuka lebar. "Diam. Aku bilang panggil aku dengan sebutan Tuan bukan Kamu karena aku bukan sahabat atau kerabat kamu. Dan satu lagi! kamar pelayan bukan di sini." Bentakku kuat. Aku mengepal tangan kanan yang aku letakkan di depan perut, aku menggigit gigiku sendiri menahan amarah yang dan batin yang tak karuan saat berbuat seperti ini kepada Jingga.
"Pe-pelayan." Ucap Jingga mengulang perkataanku sendu. Jingga berbalik badan, wajah tertunduk sendu, kedua mata berkaca-kaca, tangan kanan di kepal di depan dada. "Aku pikir aku akan hidup bahagia. Ternyata aku terkurung dalam penderitaan yang baru dengan orang yang baru." Lirihnya pelan.
Aku melangkahkan besar masuk ke dalam kamar meninggalkan Jingga yang masih berdiri membelakangi aku di depan pintu kamar dengan baju piyama tipis yang aku belikan kepadanya.
Bam..!
Aku menutup kuat pintu kamar, aku menyandarkan tubuhku ke dinding pintu, aku mendongakkan wajahku ke atas langit, kedua mata terpejam. "Kenapa aku menjadi goyah." Aku berbalik badan, aku berjalan sedikit menjauh dari pintu kamar, kedua tangan aku kepal dengan sangat erat kemudian aku melayakan kepalan tinju ke dinding kamar dengan sangat kuat, bibir terus berteriak sekuat mungkin di dalam kamar kedap suara.
"Akh..aahhhhhhh." Teriakku sangat kuat melampiaskan rasa kekesalan dan rasa yang aneh sedang tumbuh di dalam hatiku. Setelah merasa cukup puas meluapkan amarahku, aku berdiri, wajah tertunduk, kedua mata menatap kedua punggung tangan yang mengalir darah dan memar. "Kenapa rasa sakit ini tidak aku rasakan."
.
.
.
Jingga menuruni anak tangga, wajah tertunduk lesu, kedua tangan menyatu di depan perut. "Apa salahku?"
"Nona muda. Kenapa Anda turun dengan baju tidur seperti itu?" Tanya Fans berjalan mendekati Jingga.
"Fans." Ucap Jingga menatap kedatangan Fans yang terhenti di hadapannya. Jingga mengulas senyum manis di balik wajah sedih. "Tuan bilang kamar aku bukan berada di atas, kamar aku berada di kamar tamu." Sahut Jingga terdengar tegar.
'Pasti Bos sedang mengusir Jingga. Kasihan wanita ini. Sebenarnya dirinya tidak bersalah, tapi rasa dendam Bos sepertinya sangat mendalam kepada Nathan.' Batin Fans mengingat diriku yang sangat dendam dan membenci Nathan dan keturunannya.
"Tapi kamar tamu masih berantakan dan masih banyak debu yang menempel karena tidak pernah di pakai. Bagaimana jika nona muda tidur di kamarku saja, ini sudah malam dan cuaca sangat dingin malam ini." Pinta Fans kepada Jingga dengan sopan.
Jingga melambaikan tangan kanannya. "Tidak perlu. Aku tidak ingin kamu di marahi Tuan hanya gara-gara kasihan kepadaku dan aku juga sudah terbiasa seperti ini. Hawa dingin dan rasa sakit sudah sering aku rasakan." Sahut Jingga tersenyum manis.
Fans membuang wajahnya ke sisi kanan. 'Ekh. Aku tidak menyangka dalam situasi seperti ini dia masih bisa tersenyum. Aku akan meminta yang lainnya untuk membantu membereskan kamar agar dirinya cepat selesai.' Gerutu Fans dalam hati.
Fans mengulurkan tangan kanannya ke arah ruangan yang berada di sisi kanan. "Silahkan ke sebelah sana nona muda. Tunggu saya di depan pintu biar saya ambilkan beberapa selimut hangat dan kain seprai milik saya."
"Baik. Terimakasih Fans." Ucap Jingga tersenyum manis. Jingga berbalik badan, kedua kaki melangkah meninggalkan Fans yang masih berdiri menatap kerpergian Jingga.
"Wanita yang sangat aneh, bisa-bisanya dirinya tetap tersenyum dan bernafas lega saat di situasi seperti ini." Ucap Fans menatap kepergian Jingga.
.
.
1 jam kemudian.
Jingga, Fans dan 2 anak buahku berdiri di dalam kamar yang terlihat bersih dan rapih, bibir mereka mengangak, kedua mata menatap sekeliling dalam kamar yang berubah menjadi soft.
"Wah. Ternyata kamar ini sangat indah dan warna serta dekorasi sangat lembut buat nona muda."
Jingga berjalan mendekati Fans dan 2 anak buah yang berdiri secara sejajar. Jingga menundukkan sedikit tubuhnya. "Terimakasih. Jika bukan karena kalian mungkin aku akan mengerjain kamar tamu penuh debu sampai pagi."
"Tidak perlu sungkan nona muda. Kami semua akan terus membantu nona muda saat nona muda membutuhkan bantuan kami."
"Fans."
Terndengar suara pria yang dingin dari dari depan kamar tamu. Jingga, Fans dan anak buah lainnya langsung menolehkan wajahnya menuju pintu kamar tamu.