🍃🍃Pukul 07:30 pagi.🍃🍃
"AAAAAA." Teriak Jingga sangat kuat, ia berlari keluar kamar menuju ruang tamu. Suara teriakan yang menggemparkan 1 Vila mewah milikku.
Fans, dan 5 anak buah lainnya berlari panik mendekati Jingga yang terlihat bingung dan panik berdiri di tengah ruang tamu.
"Ada! ada apa nona muda." Tanya Fans panik.
"Iya. Ada apa nona muda." Tanya 5 bawahan Fans.
Mendengar suara Jingga dan keributan di ruang tamu, aku yang berada di dalam ruang kerja lantai bawah segera keluar, kedua kaki melangkah cepat.
"Apa kamu kira rumah ku ini hutan. Bisa tidak kamu tidak berteriak, mengganggu diriku yang sedang bekerja saja." Ucapku dingin.
Jingga mendekati diriku, tangan kanan mengarah ke kamar tamu yaitu kamar yang dirinya tempati. Wajah panik menatap diriku. "A-ada Vampir di dalam kamar itu." Ucapnya polos, kedua bola mata hitam pekat menatapku serius.
"Vampir." Sambung Fans.
Jingga menolehkan wajahnya menatap Fans yang berada di sisi kirinya, kepalanya mengangguk. "Ia. Buktinya ini." Jingga menyingkap rambut panjang hitam miliknya yang menutup jenjang leher, jari telunjuk tangan kanan mengarah ke beberapa bekas merah melekat di jenjang leher mulus miliknya.
Fans mengangguk, bibir mengulas senyum tipis. "Ouh." Kedua mata menatap diriku yang menatapnya suram, kemudian Fans menatap 5 anak buahku yang berdiri di belakang Jingga. Kepala Fans kembali mengangguk. "Ouh." Ucapnya sekali lagi seperti memberi kode kepada 5 anak buahku.
"Ohhhh." Sahut 5 anak buahku ikut mengangguk, menatap satu sama lain.
"Tuh. Benarkan di sini itu ada Vampir. Aku tidak mau tidur di kamar itu lagi." Ucap Jingga terlihat polos dengan wajah panik. Jari telunjuk tangan kanan mengarah ke pintu utama. "Se-sebaiknya aku kembali pulang ke rumahku, jika waktunya untuk bekerja aku akan datang kembali ke sini." Kedua tangan melipat di lengan, dan mengelus lembut kedua lengan miliknya, kedua mata hitam pekat menatap liar sekeliling. "Aku tidak ingin mati kehabisan darah di sini." Ucapnya terdengar takut.
Aku mengulurkan tangan kananku ke kamar tamu. "Kembali ke kamar kamu, segera mandi dan siapkan aku sarapan pagi." Tegasku tak menghiraukan keluhan Jingga yang sebenarnya itu ulahku sendiri.
Jingga mendekati diriku, kedua mata polos menatap wajah datar dan dingin yang aku pancarkan. Ia kembali menyingkap rambut panjang yang menutup jenjang leher miliknya. "Apa kamu tidak melihat bekas merah ini, ini sangat banyak dan bukan hanya di jenjang leherku saja." Ucapnya menggantung, ia menurunkan perlahan bagian atas piyama miliknya. "Dan di sini juga banyak, sudah berapa banyak Vampir itu menghisap darahku."
Fans, dan 5 anak buahku menutup mulut yang ingin tertawa geli mendengar keluhan polos yang Jingga ungkapkan kepadaku dengan wajahnya yang terlihat serius. Sedangkan aku hanya menahan tawa di balik wajah serius dan tegas.
"Fans, dan 5 lainnya cepat periksa kamar wanita ini. Tangkap Vampir yang sudah menghisap darah wanita ini." Ucapku berpura-pura memerintah Fans dan 5 anak buahku, kedua mataku menyipit memberi isyarat.
"Baik Bos." Sahut Fans dan 5 anak buahku serentak.
Aku menggenggam pergelangan tangan kanan Jingga. "Karena kamu sudah mengusik ketenanganku di pagi hari, maka kamu akan aku hukum. Ayo! Ikut aku."
"Mau kemana?"
"Diam."
Aku terus menarik tangan Jingga hingga naik tangga menuju kamarku, kedua kaki melangkah cepat, tangan kanan membuka pintu kamar. Aku membawa Jingga masuk ke dalam kamar, aku mengunci pintu kamar dari dalam.
"Ke-kenapa di kunci."
"Diam."
Aku menarik tangan Jingga dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Aku terus menarik tangannya mendekati bak mandi besar yang berada di dalam kamar mandiku. Aku menggendong tubuh mungil dan menjatuhkan tubuhnya di atas rendaman air hangat yang sudah di panaskan oleh Fans.
Byur.
"Akh." Jingga meraup seluruh wajahnya yang basah terkena cipratan rendaman air hangat. Kedua mata hitam pekat menatapku serius. "Kenapa kamu melakukan ini samaku."
Aku membuka baju piyama milikku. "Diam."
"Kenapa kamu buka baju dan hanya.." Ucap Jingga terputus, kedua tangan menutup wajahnya. "Ka-kamu mau ngapain."
Setelah semua piyama terlepas dari tubuhku, dan hanya menyisahkan boxer, kaki kananku masuk ke dalam rendaman bak air hangat. "Kamu harus aku hukum karena sudah membuat keributan di Vila milikku di pagi hari."
Aku segera duduk di dalam rendaman hangat di dalam bak besar, kedua tanganku membuka perlahan kedua tangan Jingga yang menutupi wajahnya. "Buka mata."
"Tidak."
"Aku bilang buka! Buka." Tegasku.
"Tapi jangan melakukan hal apa pun pada ku." Ucap Jingga terdengar takut.
"Kamu pikir aku selera dengan wanita seperti kamu. Masih banyak wanita yang bertubuh montok dan memiliki dua gunung lebih besar dari milik kamu di luar sana." Sahutku datar. Padahal di dalam hatiku. 'Rasanya kamu terlihat manis, dan ingin sekali aku melahap kamu habis di sini tanpa sisa. Dan kamu memiliki aroma tubuh yang sangat harum, membuat aku tak bisa melupakan aroma itu.'
"Janji." Jingga mengeluarkan jari kelingking seperti sumpah kelingking kepadaku.
Aku berbalik badan, menjauh dari tubuh Jingga yang ingin sekali aku cicipi. Aku menyandarkan tubuhku ke dinding bak mandi besar, kedua mata terpejam. "Kamu pikir aku anak kecil. Simpan saja sumpah jari kelingking mu. Aku tak sudi menyentuh jari kelingking milikmu."
"Baiklah." Sahut Jingga terdengar lega, jari telunjuk tangan kanan mengarah ke pintu kamar mandi. "Apa boleh aku keluar karena sudah tak ada urusan lagi dengan Anda, tuan?" Tanya Jingga.
Aku segera membuka kedua mataku, menatap tajam wajah Jingga yang terlihat bingung. "Berani sekali kamu bertanya seperti itu. Kamu adalah pelayanku, jadi kamu harus mengikuti dan melayaniku." Tegasku mengingatkan Jingga kembali akan tugasnya sebagai pelayan milikku dan harus menuruti apa pun yang aku perintahkan.
"Jadi apa yang harus aku kerjakan di sini, tuan?" Tanya Jingga.
"Pijat plus-plus. Aku mau kamu memijat tubuhku dengan madu."
"Madu. Apa tuan tidak takut jika tubuh tuan di kelilingi semut dan di gigit semut." Sahutnya polos.
"Ck." Aku berdecak kesal mendengar Jingga yang selalu bertanya dengan polosnya. Aku mendekati Jingga, dengan cepat aku menggigit daun telinga kanan polos tanpa perhiasan. " Apakah seperti ini rasanya jika di gigit semut?"
"Auw. Sakit." Keluh Jingga memegang daun telinga kanan miliknya.
"Jika tidak ingin merasakan sakit yang lebih banyak lagi, maka segera lakukan perintahku. Ambil madu yang berada di atas rak sabun." Perintahku. Aku menyandarkan tubuh di dinding bak kamar mandi besar, kedua tangan aku letakkan di atas dinding bak mandi besar, kedua mata menatap tajam wajah Jingga yang terlihat nurut.
"Baik."
Jingga berdiri, baju piyama tipis yang sudah basah kini melekat membentuk lekuk tubuhnya, kedua gunung kembar serta dua Cherry terpampang jelas menonjol di baju piyama tipis yang sudah basah. Kedua kaki Jingga keluar dari bak mandi besar menuju rak sabun yang dekat dengan kacar rias besar yang berada di dalam kamar mandi.
Aku membuang wajahku saat melihat lekuk tubuh di balut baju piyama tipis yang basah.
'Sial. Kenapa jadi seperti ini. Kenapa sekarang aku harus melihat seluruh tubuhnya di dalam balutan Piyama tipis.' Gerutuku di dalam hati.
Jingga kembali masuk ke dalam bak mandi besar yang masih terasa hangat airnya. Kedua tangan memegang botol madu, kedua mata menatapku serius. "Tuan. Ini madu yang Anda minta."
"Cepat oleskan seluruh madu ke seluruh tubuhku yang cacat ini." Aku memutar badan, membelakangi Jingga yang sudah duduk di belakangku.
Jingga membuka perlahan botol yang berisi madu, menuangkan perlahan madu di atas punggungku yang penuh dengan bekas luka. Kedua tangan mungil meratakan madu yang sudah di tuang di punggung kekar penuh luka.
"Begitu banyak luka yang Anda dapatkan, pasti sangat sakit." Ucap Jingga lembut.
Aku segera berbalik badan, tangan kanan mencengkram erat tangan kanan Jingga yang masih terdapat madu. Aku mengulurkan lidah, menjilat madu yang ada di telapak tangan kanannya.
"Akh. Tuan." Keluh Jingga memejamkan kedua matanya, ia langsung menggenggam tangan kanannya dengan sangat erat.
"Peduli apa kamu dengan luka yang aku dapatkan." Aku menggenggam erat pergelangan tangan Jingga, memubuat dirinya meringis kesakitan. "Jangan pernah bertanya apa pun lagi."
Jingga menganggu. "Baik."