Chereads / MAFIA x Love Phobia / Chapter 2 - 2. Pangeran Maut

Chapter 2 - 2. Pangeran Maut

Sayup-sayup suara yang tertahan begitu mengusik pendengar Eva yang baru saja terbangun. Ia lalu sadar jika dirinya tak sendirian di dalam ruangan itu. Ada beberapa wanita yang bisa dihitung lebih dari dua tangan dan sepuluh jari. Ruangan itu berukuran dua kali lipat dari ukuran kamar kos Eva.

Eva melakukan pendeteksian seperti sebuah mesin scaning di supermarket dan melihat jika orang-orang dalam satu ruangan ini sebenarnya dipisah dalam tiga kelompok.

Eva menyorot sebuah sudut dekat pintu dimana seorang pria berjas hitam duduk sembari memainkan ponselnya dengan ekspresi datar. Jelas sekali ia terlihat bosan karena setiap menit berlalu ia akan selalu berdecak dengan kesal.

"Jadi itu bos" batin Eva. Tentu saja ia masih ingat sosok baik yang telah memberinya pekerjaan. "Jam berapa sekarang?, hari apa ini?. Pasti ibu sedang mengutukku lagi" lanjutnya dengan perasaan lega. Eva tersenyum dalam benaknya. Ia berfikir lagi "mungkin ini adalah akhir dari dramanya?, semoga" dan Eva pun bersandar di tembok. Ia memejamkan matanya dikala kebanyakan orang disana berusaha mengeluarkan matanya yang ketakutan. Eva tertidur dengan tenang ditengah rengekan teredam para korban lainnya di tempat penyekapan itu.

"Sebentar lagi, mungkin malaikat maut akan menjemputku ... semoga dia menunggangi kuda hitam yang gagah" Eva berharap dengan damai seperti ingin bertemu dengan pangeran sang kekasih sejati yang ia cintai.

"Tuan Ald. Mereka boneka-boneka barunya"

Eva baru memejamkan matanya untuk sepersekian detik sebelum akhirnya ia tetap memejamkan matanya dan membuka telinganya lebar-lebar. Suara dari Bos nya terdengar menurunkan volumenya. Suara itu masih terdengar ramah seperti terakhir kali Eva berbicara padanya di telepon tentang gajinya yang belum cair kedalam rekeningnya, tapi ia tak lagi peduli. Gajinya tak akan pernah ada. Justru dirinya sendiri sekarang menjelma memjadi uang itu sendiri. Jika bukan wajahnya, setidaknya organ-organ tubuhnya masih cukup bernilai dan mampu membuat mulut ibunya diam untuk setahun. Ya, kurang lebih setahun. Ibunya sangat gemar bolak-balik salon demi menjadi kupu-kupu cantik dan berharap ada bunga yang menghampirinya. Bunga yang kaya. Seperti Bunga kredit yang ditinggalkan ayahnya.

"Tuan Ald?" Batin Eva. Ia tau jika Bos-nya itu memiliki 'Bos'. Tapi bukan itu yang membuat Eva memutar memori kepalanya dengan cukup keras. Ia mencari segala hal di tumpukan sampah. Ingatan yang tak penting yang ia buang seperti Nama seorang artis.

"Ald Wyn" Eva akhirnya menemukan nama itu di tumpukan sampah ingatannya.

"Ald Wyn ... Aktor tampan ... CEO kaya"  tiga kata kunci itu cukup untuk menggambarkan sosok Bos dari Bos penipunya. Sayangnya Eva tidak menemukan pencarian dalam kata kunci 'Mafia' karena Ald masih memainkan perannya dengan sangat baik. Peran yang sangat diharapkan Eva sebelumnya. Walaupun Eva sedikit kecewa karena ia tidak mati dan hanya bertemu pangeran mautnya.

"Oh. Boneka yang lucu" Ald membuat wajah Eva menghadapnya sehingga tatapan mereka bertemu, "apa kau mau bermain denganku?" Lanjutnya. Ald mengayunkan senyuman parang-nya dengan begitu tajam dan indah.

"Tuan Ald, itu adalah kelompok ketiga. Kelompok pertama-"

"Apa kau boneka?"

"Eh?"

"Aku sedang berbicara dengan boneka baru, bukan boneka lusuh" Senyuman Ald memudar. Kini matanya yang berubah menjadi sabit kematian. Ia melirik rendah dengan ujung matanya yang menusuk.

"Maaf. Mulut boneka lama memang sering rusak. Silahkan lanjutkan" nada Bos itu terdengar bergetar. Takut dan marah secara bersamaan, namun ia hanya tersenyum tipis.

Ald kembali dengan wajah pangeran mautnya. Namun kali ini ia beralih. Senyuman mematikannya itu ia berikan pada 'Boneka' dari kelompok pertama yang dikatakan Bos Eva. Ia menghampiri seorang wanita yang dikuncir satu seperti Eva, bedanya rambutnya lurus sementara rambut Eva bergelombang seperti ombak yang tak menyerah untuk menghantam karang.

"Seragam itu. Apakah dia pegawai Bank?" Batin Eva. Ia terus memperhatikan Ald yang tampan. Tapi Eva tak memperhatikan ketampanan itu melainkan topeng yang dipakai Ald dengan begitu sempurna sehingga pegawai Bank itu terlihat luluh. Wajah mengerutnya karena ketakutan telah kembali menjadi wajah boneka porselen halus yang cantik jelita.

"Bena-benar Pangeran ... Maut"

Bibirnya menawan meski tipis seperti silet, Garis mata atasnya membentuk pedang yang lentur sementara alisnya seperti pedang yang kokoh. Keduanya sama-sama tajam. Tulang rahangnya terbentuk sempurna dan kuat sehingga topeng tampan sangat cocok untuknya yang tak mudah runtuh. Garis hidungnya seperti puncak gunung yang sulit ditaklukan. Sorot matanya seperti bulan tanpa cahaya. Lalu keseluruhannya, Eva kehabisan diksi. Ia tak tau lagi harus menggambarkan sosok Ald seperti apa. Ia hanya tak bisa berhenti kagum pada ciptaan Tuhan itu. Meski topeng-topeng yang digunakan Ald diciptakannya sendiri menggunakan kemampuan aktingnya sebagai aktor papan atas yang telah menerima banyak penghargaan sebagai Pemain Film Muda dan Berbakat.

"Sangat berbakat"

"Kau pasti wanita yang sangat berbakat. Jari-jari ini menunjukannya. Apa kau bisa bermain Piano atau Biola?" Tanya Ald pada pegawai Bank itu. Sepertinya ia tengah menumpahkan madu yang lengket dan manis untuk menjebak mangsanya.

Pegawai Bank itu mengangguk dan waktupun berlalu dengan cepat, secepat Eva menyeduh Mie dalam gelasnya. Itu makanan sehari-harinya untuk mengganjal lapar yang tak pernah berakhir.

Pegawai Bank itu tak lagi ditempatnya. Begitupula dengan Ald. Pria itu membawanya untuk dijadikan boneka yang pandai bermain alat musik. Mungkin wanita itu akan dirawat dengan baik jika ia juga memiliki suara yang bagus untuk menghibur Ald yang selalu bosan mendengar lagu dalam orkestra termahal sekalipun.

Sayang sekali. Boneka itu cepat rusak. Dan boneka rusak akan dibuang.

Eva membuka matanya. Ia tidak lagi tau hari apa, jam berapa, malam atau pagi. Tempat untuk menyekapnya sudah berpindah sehari setelah Ald membawa bonekanya. Eva sudah berada di tempat yang jauh lebih luas dan dingin. Lantai tempatnya duduk terbuat dari marmer. Nampaknya ia hanya bersama dengan kelompoknya - kelompok ketiga - kualitas yang rendah dari segi penampilan. Eva bahkan bertanya-tanya. Apakah kelompok pertama diberikan ruangan yang jauh lebih bagus lagi?. Sebagus apa?. Bukankah ruangan yang ia tempati saat ini hampir seperti sebuah apartemen mewah namun kosong karena hanya ada beberapa furnitur seperti sebuah sofa panjang dengan meja dan sebuah TV Led besar di depannya. Sangat cocok untuk bersantai.

Eva melirik dan melihat enam orang termasuk dirinya di sudut ruangan itu. Dan tujuh orang dengan penjaga yang menjaga kelompok rendah itu, tapi saat ini penjaga itu sedang tidak di sofanya untuk menonton siaran kehidupan hewan di alam liar yang membosankan seperti singa yang berburu rusa karena lapar atau kelinci yang berlari sekuat tenaga dari kejaran serigala.

Daripada menjadi kelinci atau rusa. Eva memilih ingin jadi domba yang sudah jelas dirawat untuk menjadi santapan. Dengan begitu ia tidak perlu khawatir akan masa depan apakah ia akan mati diburu atau mati kelaparan?. Setidaknya menjadi Domba lebih baik. Dapat merasakan kebebasan di padang rumput dan mendapatkan perawatan tanpa harus bekerja keras. Hidup yang damai dan nikmat, meski tetap dalam kepalsuan yang menjerat.

Sssttt. Jangan ada yang bersuara jika kalian ingin kulepaskan.

Suara bisikan pelan itu dengan aneh dapat di dengar oleh semua orang dalam kelompok tak terkecuali Eva. Sebenarnya ia sangat jelas mendengarnya karena yang berbicara adalah sosok wanita yang berada di sampingnya. Sejak awal, Eva sudah duduk bersebelahan dengan wanita berpakaian santai itu. Ia hanya mengenakan kaos dan celana training. Eva bahkan bertanya-tanya, apakah wanita di sebelahnya itu diculik setelah ia bangun tidur?. Setelan kaos dan training adalah baju tidur yang nyaman bagi Eva.

Empat orang mengangguk dengan cepat. Eva ragu. Ia harus mengangguk atau tidak. Saat ini ia masih menebak-nebak, siapa wanita itu?. Bagaimana caranya ia bisa melepaskan ikatan tali di tangan dan kakinya?. Yang pasti saat ini adalah wanita itu berencana kabur bersama dengan korban-korban lainnya.

"Apa dia mantan polisi atau militer?" Fikir Eva. Hal itu bisa saja. Wanita itu terlihat memiliki tubuh yang atletis dan kokoh, bahkan sorot matanya masih seteguh benteng. Eva berfikir sikap tenang wanita di sampingnya itu bukan karena wanita itu seperti dirinya, namun karena ia tengah menunggu kesempatan.

"Hei kau. Kenapa diam saja?, ayo cepat!. Aku tau tempat ini dan kita bisa kabur!" Jelasnya setengah berbisik pada Eva. Wanita itu juga sudah memberitau jika dirinya memang mantan prajurit angkatan darat. Namun saat ia mengatakan itu, Eva tengah bertarung dengan fikirannya.

"Jika pelarian ini berhasil dan aku bisa kabur. Mungkin aku akan kembali ke kehidupan itu lagi"

"Haruskah aku ikut kabur atau tidak?"

"Cepat putuskan!. Jangan membuat orang-orang yang mau bebas menjadi tertahan hanya karena kau seorang Eva!"

"Putuskan!. Apa kau ingin terjerat atau dijerat!"

Pada akhirnya. Eva ingin lari dari kenyataan. Jadi ia memilih untuk terjerat.

"Mungkin aku hanya akan disiksa sampai mati" batinnya. Ia membuat keputusan bulat. Tak apa jika akhirnya ia akan mati walau harus melewati penyiksaan terlebih dahulu, itu lebih baik daripada kembali ke kehidupannya yang sejujurnya sangat ia benci.