Ellen tidak punya siapa-siapa di dunia ini.
Sejak kecil, ia memiliki seseorang yang dipanggil bunda, tapi itu bukan miliknya, bunda milik semua anak.
Ya, Ellen yatim piatu.
Ia pernah secara iseng menanyakan pada Bunda seperti apa orang tuanya, tapi yang ia dapatkan justru hal yang menyakitkan. Ia ditemukan di pinggir jalan, di malam dingin oleh seorang pengemis tua yang baik hati, jika ia tidak ditemukan di malam itu dan di bawa ke rumah matahari, ia mungkin tidak bisa hidup.
Ellen tidak pernah tahu, mengapa ia ditinggalkan di pinggir jalan, seperti sampah oleh orang tuanya.
Setelah keluar dari rumah matahari, Ellen tidak pernah bernasib baik, rasanya ia selalu mengalami hal buruk, atau mungkin memang tidak ada hal baik yang berpihak padanya. Teman yang paling ia percayai dari kecil justru berakhir di jalan yang salah.
Hingga Ellen bertemu dengan Liu, ia menganggap laki-laki itu adalah malaikatnya, penyelamatnya.
"Berhenti menatapku, cepat ambil obat sesuai resep." Liu yang terus ditatap menggerutu, hari ini sangat sibuk, tapi Ellen selalu tersipu setiap kali melihatnya, membuat Liu merasa merinding. "Cepat, ini sudah sore."
Liu menghela napas, ia sedang menghadapi seorang Nenek yang mengeluhkan sakit pinggang dan mengoceh tentang anaknya yang meminta warisan.
Liu bukan dokter, terlalu bagus disebut dokter. Ia seorang tabib yang membuka klinik herbal mengandalkan pengetahuannya di masa lalu.
Ellen menggembungkan pipinya dengan jengkel, ia tidak tahu apakah Liu memiliki insting yang terlalu kuat atau perasaannya yang terlalu terlihat, laki-laki itu selalu tahu apa yang ia pikirkan dan mengganggunya.
Wanita itu membaca resep obat, seperti biasa, tulisan Liu hampir seperti cacing yang menari di atas panci panas, hampir tidak terbaca. Untungnya ia telah memiliki pengalaman membaca tulisan yang lebih buruk dari Liu, ia bisa membacanya tanpa salah.
Karena klinik yang dibuka Liu adalah klinik herbal, hampir semua obat yang ada di sini terbuat dari dedaunan, rempah, rimpang dan hal-hal alami lainnya. Belajar hal seperti ini adalah hal baru bagi Ellen yang merupakan mahasiswa kedokteran modern.
"Ini Nek, minum dua kali sehari."
Ellen menyerahkan beberapa kertas yang telah dilipat dengan rapih sambil tersenyum.
"Wanita ini persis seperti anaku yang ingin warisan, ingin kucubit." Nenek itu mendengkus, ia meraih obat herbal dan menoleh ke arah Liu. "Pecat dia, wajahnya tidak enak dipandang."
"Maaf Nek, saya sudah dikontrak selamanya di sini." Ellen membalas perkataan sang Nenek dengan cibiran, berkacak pinggang. "Lagipula Nenek juga tidak selamanya kemari."
"Hei," tegur Liu, ia tahu kalau Ellen dan para Nenek yang berobat tidak pernah akur.
Tapi masalahnya, semua pelanggan klinik mereka rata-rata adalah Nenek-nenek.
"Ya ampun, anak tampan, kenapa kau mempertahankan wanita kasar ini bersamamu?" Nenek itu kembali mengoceh, ia mengetukkan tongkatnya ke lantai. "Cucuku jauh lebih cantik darinya, mau diganti dengan cucuku?"
"Terima kasih, tapi tidak usah Nek." Liu menolak secara halus, ia melambaikan tangan pada Ellen agar wanita itu membantu sang Nenek keluar.
"Aduh, bagaimana kau bisa menjadi perawat di klinik ini? Jalanmu lambat sekali!" Nenek itu mengetukkan lagi tongkat ke lantai, mengomel.
"Nek, yang lambat itu Nenek, bukan aku." Ellen mendengkus, dengan sabar menuntun wanita tua yang mengomel itu keluar. "Lihat, mana yang lebih panjang kakiku atau kaki Nenek?"
"Dasar kurang ajar, kau ini tidak pernah diajari orang tuamu ya?"
"Memang tidak pernah." Ellen mendengkus, jika yang ia tuntun ini bukan orang tua, ia pasti akan mendorongnya.
Nenek tadi adalah pasien terakhir di klinik hari ini, ia pergi dengan anaknya yang telah menunggu, tidak lupa mengutuk Ellen, Liu menghela napas panjang dan merapikan mejanya.
Ellen mengibaskan tanganvdan menatap Liu, matanya menyala.
"Mau makan malam hari ini? Ada restoran hotpot yang baru buka." Wanita itu mendekat, kedua tangannya bertumpu pada meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Liu. "Sudah lama kita tidak makan di luar."
"Setiap hari kita selalu makan di luar, apa kau tidak bosan?" Liu melepas sarung tangan sekali pakai dan memasukannya di dalam bak sampah.
"Selama itu bersamamu, aku tidak akan bosan." Ellen tertawa, ia mengambil tas dan mengikuti Liu keluar. "Aku ini cinta mati padamu."
Liu hanya menatap Ellen dengan malas, lalu menggeleng. Ellen tidak sakit hati walau untuk kesekian kalinya ia ditolak, ia justru merasa senang karena perhatian Liu sekarang terfokus padanya.
Mereka berdua berjalan berdampingan, tanpa berpegangan tangan. Ellen ingin mengulurkan tangannya tapi ia tahu kalau Liu akan menolak.
"Di mana?" tanya Liu tiba-tiba setelah sekian lama mereka hening.
Ellen terkekeh, ia kemudian menarik tangan Liu menuju restoran yang ia maksud, laki-laki itu tidak banyak berkomentar dan mengikuti. Mereka berdua memesan dan makan dengan tenang.
Hingga beberapa wanita dengan pakaian modis datang, mereka tanpa sengaja bertatapan dengan Ellen yang mengaduk kuah hotpot di depannya.
Ellen seketika menjadi canggung, ia tidak menyapa dan terus mengaduk.
"Betapa sombongnya Ellen hanya karena ia duduk di restoran ini bersama laki-laki," cibir seorang wanita sambil mengibaskan rambutnya. "Paling juga bocah sekolah yang ia ajak untuk sekali makan."
"Ya ampun, seleranya aneh sekali." Wanita lain tersenyum dengan remeh.
"Sudahlah, wanita seperti dia tidak perlu diperhatikan."
Ellen tidak mendengar apa yang mereka katakan, tapi ia tahu dari lirikan mata dan mulutnya, mereka sedang mencibirnya habis-habisan.
Tapi tidak masalah, itu bukan urusannya. Yang penting sekarang adalah waktunya bersama Liu. Laki-laki itu memang memiliki wajah babyface dan tingginya standar, sehingga penampilannya kadang disalahpahami orang-orang.
Tapi Liu … ia jauh lebih tua dari Nenek yang ia layani di klinik tadi, Ellen bahkan tidak berani menghitung berapa umur Liu.
"Liu, makanlah lebih banyak … katanya hotpot di sini paling enak di internet."
Ellen tersenyum dan menyerahkan daging ke mangkuk Liu, laki-laki itu menghela napas.
Ia berbeda dengan Ellen, ia bisa mendengar dan merasakan tatapan jijik para wanita itu pada wanita yang ada di depannya ini. Tangannya yang memegang sumpit memegang mangkuk dan menatap Ellen dengan lekat.
"Mereka …." Liu sengaja tidak mengatakan kalimat selanjutnya, ia menunggu reaksi Ellen.
"Mereka bukan temanku." Ellen memotong pembicaraan Liu, ia bergerak dengan canggung dan matanya melirik gelisah. "Mari kita fokus makan saja, sepertinya mereka mengenali orang yang salah. Wajahku memang pasaran sekali, hahaha."
Liu tidak mengatakan apa-apa, ia tahu kalau ada kebohongan yang berusaha Ellen tutupi padanya.
Membongkarnya sangat mudah, tapi bagaimana kalau lukanya terlalu dalam?
Liu … tidak mau menyakiti Ellen.