Hubungan Ellen dan Liu adalah hubungan yang paling tidak jelas yang pernah Larson lihat sepanjang hidupnya.
Sebagai seorang adik bungsu dari tujuh Ksatria Naga, ia memandang Liu sebagai seseorang yang tenang dan bijak, tapi ada semua itu hancur setelah kedatangan Ellen.
Wanita itu, terlalu barbar.
Bisa dibilang … sebenarnya ia cocok dengan Liu, seperti paduan yang pas. Antara si tenang dan si ribut. Tapi kalau Larson lihat-lihat, sebenarnya Liu kasihan juga.
Lihat saja, di pagi hari yang seharusnya menjadi waktu terbaik memulai aktivitas, Larson harus mendengarkan lengkingan suara Ellen yang memanggil Liu, memintanya menunggu.
"Liu! Liu! Jangan tinggalkan aku!" Ellen berlari dengan sebelah sepatu yang belum dipakai, ia tidak mencerminkan seorang mahasiswa pintar dan teladan, sebaliknya ia mencerminkan seseorang yang selalu masuk terlambat. "Kenapa kau tidak membangunkan aku? Aku hampir terlambat!"
"Kau sudah besar, kenapa aku harus membangunkanmu?" Liu mendengkus, ia benar-benar terganggu dengan teriakan Ellen di pagi buta seperti ini. "Pelankan suaramu! Nanti bayi Larson dan Istvan bangun!"
Karena Liu menyelamatkan Ellen waktu itu, ia akhirnya mengikuti Liu kemana-mana, bahkan ia meminta tinggal di sebelah kamar Liu pada Istvan, istri Larson yang juga merupakan seorang Ksatria Naga.
Menjadi satu-satunya manusia diantara Ksatria Naga sebenarnya tidak buruk, ia hanya kelihatan seperti itik di tengah para angsa, jelas saja, ia manusia dan mereka bukan.
Tapi Ellen tidak peduli, selama ia bisa memastikan Liu tidak memiliki siapa pun selain dirinya di sekitarnya, ia akan terus berusaha menyatakan cintanya. Lagipula ada di antara mereka membuat Ellen merasa lebih terlindungi.
"Tapi aku selalu mengucapkan selamat malam padamu sebelum tidur, minimal kau harus membalasku dengan ucapan selamat pagi." Ellen mulai mengoceh dengan wajah yang dibuat-buat memelas. "Apa kau tidak memiliki sedikit pun cinta untukku?"
Liu berjalan di depan, ia berbeda dengan Larson yang hobi memakai berbagai jenis mobil mewah yang tersimpan rapi di garasi rumah mereka, ia lebih suka naik bus atau taksi kemana-mana.
"Ellen, aku tidak berkewajiban melakukan hal konyol seperti itu."
Ellen mengikuti Liu di jalan menurun keluar dari rumah besar mereka, ia tergopoh-gopoh, tidak sanggup melangkah lebih lama lagi dan menangkap tangan laki-laki yang berjalan di depannya ini.
"Tunggu!"
Ellen terpeleset dan hampir membuat Liu tertarik ke belakang. Untungnya laki-laki itu punya refleks yang bagus, begitu tubuhnya terhuyung, Liu yang ada di depannya menghilang dan detik berikutnya muncul di belakang Ellen, menopangnya.
"Kenapa kau begitu ceroboh?" Liu membantu Ellen berdiri, laki-laki itu tidak mengubah raut wajahnya sedikit pun dari tadi, tetap terlihat acuh. "Lain kali perhatikan langkahmu dan jangan berlarian."
"Tapi aku terlambat!" Ellen mendengkus, lalu melirik mobil yang sudah disiapkan Pelayan. "Antar aku ke kampus dulu!"
Liu mengerutkan kening, ia bukan orang yang suka terburu-buru seperti Ellen, ia adalah tipe orang yang teratur dan rutinitasnya tidak bisa diganggu gugat, tapi semenjak Ellen datang, semua yang ia lakukan kacau.
"Kau pergi saja duluan." Liu melambaikan tangannya, ia lebih memilih untuk naik bus saja.
"Eh, kenapa? Ayo bersama, kalau sepasang kekasih pergi bersama-sama akan menumbuhkan perasaan yang kuat!" Ellen bukannya naik ke mobil, malah mengikuti Liu.
Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, terlalu malas berdebat dan berjalan kaki menuju halte bus, rumah mereka ada di tempat yang jauh di atas bukit, sehingga mereka butuh waktu beberapa saat untuk turun ke bawah.
"Kau benar-benar terlambat."
Liu berdiri dan memandang jalanan yang lenggang, karena mereka jauh dari pemukiman, hanya ada dua bus yang lewat setiap harinya, yang pertama di pagi hari dan yang kedua adalah sore hari.
"Kau bisa menggunakan kekuatanmu." Ellen tersenyum lebar dan menarik-narik ujung kemeja laki-laki berpakaian serba hitam itu. "Ayo, gunakan sebentar. Kau tidak mau mendengar tangisanku ketika aku dimarahi oleh dosen, kan?"
Liu berkacak pinggang, tidak habis pikir bagaimana ada manusia dengan pikiran dangkal seperti Ellen.
Ia memang bukan manusia, ia adalah salah satu dari tujuh Ksatria Naga yang hidup lama di dunia ini, kekuatannya yang paling menonjol dari yang lain adalah kecepatan.
Tapi bukan berarti ia bisa beteleportasi dari satu tempat ke tempat yang lain, Ellen sepertinya terlalu banyak mengkhayal yang tidak-tidak.
"Jangan buat aku semakin pusing." Liu mengeluh, seumur-umur mungkin hanya di depan wanita inilah ia mengeluh. "Lihat, busnya sudah datang."
Liu memang kesal dengan sikap Ellen yang terkesan menganggunya, tapi ia tidak bisa menyingkirkan wanita itu, lebih tepatnya sebenarnya ia enggan. Perbedaan di antara mereka begitu jelas.
Liu menatap bayangan tubuhnya dan Ellen dari sinar matahari pagi, bayangan Ellen terlihat natural, seorang gadis kecil berambut pendek, mengenakan rok lebar yang manis, sangat lucu. Tapi bayangan dirinya bukan bayangan tubuhnya, melainkan bayangan seekor Naga, lengkap dengan tanduk dan sayap.
Laki-laki itu diam-diam menghela napas, bus berhenti di depan mereka dan ia segera naik.
Ellen menoleh dan mau tak mau mengikuti Liu masuk ke dalam bus dengan cemberut, susah sekali membuat Liu bersikap manis padanya, hati laki-laki itu sepertinya tidak pernah tersentuh oleh kehangatan cinta.
Ellen mendengkus, lalu menatap wajah tampan Liu melalui kaca bus. Lihat saja nanti, akan ia buat laki-laki itu mengejar-ngejarnya!
Setengah jam kemudian, Ellen sampai di kampusnya dan Liu melanjutkan perjalanannya ke klinik. Wanita itu cemberut karena tidak punya kesempatan untuk memengang tangan laki-laki itu sebelum turun.
"Sudahlah, nanti aku akan memeluknya di klinik! Biar para Nenek melihat betapa romantisnya hubungan kami!"
Ellen menarik napas dan ia tersenyum lebar, merasa puas. Kakinya melangkah ringan menuju ruang kelas.
Suasana sudah ramai karena kelas akan diajar oleh seorang profesor, semua orang terburu-buru pergi dan Ellen juga melakukan hal yang sama.
Tapi sayangnya, ada beberapa pasang mata yang menatap Ellen dengan pandangan tidak senang, mereka saling melirik.
Sebuah kaki terulur tepat sebelum Ellen masuk ke dalam kelas, wanita itu tersandung dan terjatuh.
BRAK!
Buku-buku tebal yang Ellen bawa berhamburan keluar dari tasnya, beberapa pensil berguling dan koin-koin uang berserakan dengan bunyi gemerincing.
Wajah Ellen menjadi pucat, ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mendongak, menatap wajah seorang wanita berambut panjang bergelombang yang tersenyum remeh padanya.
"Ya ampun, lain kali kalau jalan matanya dipakai." Wanita itu terkekeh, diikuti oleh tawa dari teman-temannya yang mulai mengelilingi Ellen, mereka bahkan tidak segan menginjak koin-koin yang bergelimpangan.
"Aduh, kasihan ... apa kau tidak punya barang bagus untuk membawa koin ini?"
Gelak tawa langsung pecah,koin yang berceceran itu ditendang ke arah bak sampah.
"Kenapa kalian selalu mengangguku?" Ellen bangkit dan matanya menatap tajam pada mereka semua. "Aku bahkan tidak pernah menganggu kalian."
Wanita itu dan teman-temannya tertawa, mahasiswa lain yang melihat adegan itu tidak ada yang mencegah, mereka terlalu sibuk untuk mengurus hal-hal yang tidak penting.
"Tentu saja karena kau," lanjut wanita itu sambil mendorong dahi Ellen dengan jari telunjuknya. "Kau adalah orang rendahan yang tidak tahu diri."