Liora menebas para monster tersebut. Dia tanpa pandang bulu menebas para monster. Dia tak peduli seluruh badan terasa sakit saat sihirnya berpindah tempat ke arah pedangnya.
***
Tebasan demi tebasan dia menggunakan pedangnya dengan sangat baik. Para monster sudah terbunuh oleh Liora. Darah monster berceceran dimana mana.
Begitu pula dengan wajah Liora. Wajahnya terciprat darah monster waktu dia menebasnya. Tubuhnya sangat sakit dan kaku.
Badannya pun dipenuhi luka luka. Inilah akibatnya jika dia terlalu banyak menggunakan sihir dan memindahkan ke pedangnya. Liora jatuh terduduk sambil terengah engah.
Dia mencoba mengatur nafasnya. Dia beristirahat agar tubuhnya tidak sakit. Satu satunya cara untuk menyembuhkan tubuhnya dengan healing diri sendiri. Atau dia pergi ke menara penyihir untuk meminta ramuan healing.
Liora mencoba mengeluarkan sihir healing yang berwarna hijau untuk dirinya sendiri sementara.
Di sisi lain juga terlihat Valent sudah menghabisi para monster dengan sangat brutal. Tak lupa dengan mata gold yang menyala dan tatapan membunuh.
***
Raymond berjalan kesana kemari hanya memikirkan Liora. Dia terlihat sangat khawatir. Dia menggigit kukunya tidak sabaran.
"Liora kemana sih? Sudah sore begini belum pulang pulang juga! Tidak tahu apa, aku menunggunya untuk pergi bersama ke rumah Daddy."
Dia meraih ponselnya dan hendak menelepon Liora. Tapi ponselnya malah tertinggal di rumah.
Raymond semakin cemas dan khawatir. Tiba tiba saja pintu depan rumahnya diketuk. Raymond langsung berjalan dan membuka pintu itu.
Harapan Raymond, bahwa yang datang Liora ternyata salah. Melainkan paman Kirito dan ayahnya.
Raymond mempersilahkan mereka masuk. Paman Kirito melihat rumah Raymond dengan tersenyum.
"Dimana Liora?"
Raymond yang dihadiahi sebuah pertanyaan seperti itu perlahan menegang. Semua orang tertuju padanya.
Raymond menghembuskan nafas kasar dan kemudian dia bercerita.
"Liora sedang di pusat kota dari pagi. Katanya siang pulang. Tapi sampai sekarang dia belum pulang pulang. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi ponselnya di rumah."
Kirito dan ayahnya langsung berdiri dari kursinya. Mereka juga sama cemasnya dengan Raymond. Kirito segera mengubah duduknya dengan santai kemudian melacak lokasi Liora dengan sihir.
Disaat rasa cemas dan khawatirnya mereka terhadap Liora sangat besar. Pintu rumah tiba tiba diketuk. Mereka bertiga menoleh, tak terkecuali Kirito.
Mereka bertiga perlahan membuka pintu. Namun mereka sangat terkejut. Liora sudah pulang ke rumah, tapi dengan badan penuh luka dan wajah masih terciprat darah monster.
Tanpa basa basi mereka langsung menyuruh Liora masuk.
"Apa yang terjadi denganmu?"
"Kenapa kau seperti ini?"
"Kau bertarung dengan monster?"
Raymond, Kirito, Ednan menghujani beragam pertanyaan. Liora menghela nafas.
"Kakak.... Badan Liora sangat sakit saat memindahkan sihir ke benda tumpul."
"Kau! Kau gila ya!? Apa kau tahu? Mana sihir yang kau gunakan saat memindahkan sihir ke benda tumpul, akan berdampak besar bagi tubuhmu! Kenapa kau sangat bodoh!?" Ucap Raymond marah sekaligus khawatir.
"Aku tidak bodoh kak! Aku hanya ingin menyelamatkan nyawaku sendiri. Apalagi yang bisa kulakukan untuk menghadapi monster, jika kekuatan ku tidak berfungsi?"
"Tapi, Liora. Kau tahu kan dampaknya sangat besar bagi tubuhmu. Lihatlah sekarang, mana sihir mu bahkan masih belum pulih!"
"Ah iya, aku tadi menggunakan sedikit mana sihir untuk healing."
Raymond sungguh sangat marah dan khawatir jika adiknya belum paham sepenuhnya. Tapi Ednan menghentikannya.