Aroma masakan yang begitu khas menggelitik indera penciuman Evans, tepat saat pria itu baru membuka pintu rumah.
Evans mengulas senyum manisnya, dia tahu siapa yang memasak dengan aroma seenak ini walau kini sudah tengah malam hanya ada satu orang yang akan rela memasak untuk menyambut Evans.
"Mamaku memang yang terbaik," ujar Evans bangga, dia menggulung lengan kemeja panjangnya hingga ke siku.
Kakinya membawa dia sampai di meja makan, melihat meja kayu bercorak ala Eropa itu sudah terhidang makanan kesukaannya, Evans kian melebarkan senyumnya.
Lantas matanya melirik pada seorang wanita paruh baya yang sibuk berkutat pada masakan terakhirnya.
"Ma, mau berapa banyak makanan yang Mama hidangkan hari ini?" tegur Evans, wanita yang membelakanginya itu kontan berbalik untuk sekedar memandang putra kesayangannya.
"Loh, kapan kamu datang, Evans?" tanya wanita itu tampak sangat girang, dia tersenyum lebar.
Dengan celemek di tubuhnya, dia mendekati Evans lantas memeluk putranya itu dengan erat. Tak segan Evans membalas pelukan hangat sang mama.
"Baru saja, Ma."
"Oh, tunggu sebentar, ya. Lauk terakhirnya hampir matang, tunggu sebentar!" ujar sang mama sembari kembali ke meja dapur yang dekat dengan meja makan.
Evans mengangguk mantap, dia lantas duduk. Bertopang dagu memandangi punggung sang mama lagi.
Wanita itu adalah Mery Gentyo, wanita berusia setengah abad. Memiliki kasih sayang yang sangat melimpah selalu ia berikan pada Evans.
Mery selalu ada untuk Evans, dan Mery jugalah yang membesarkan Evans seperti putranya sendiri. Ya, Mery hanyalah ibu sambung Evans.
Ayah Evans menikahi Mery setelah kematian istrinya puluhan tahun lalu, saat itu Evans yang sudah berusia 15 tahun jelas paham jika Mery bukanlah ibu kandungnya.
Namun, karena Mery begitu baik dan lembut. Membuat Evans kadang lupa jika Mery hanya berstatus sebagai ibu sambung, melihat kebaikan Mery. Maka, Evans bersumpah pada dirinya sendiri jika dia akan menjaga Mery seperti wanita itu dulu menjaga Evans yang remaja dan Evans juga kerap sekali menuruti maunya Mery tanpa berani protes.
Bagi Evans, apa yang Mery inginkan adalah sebuah perintah baginya.
"Nah, masakan terakhirnya sudah jadi...." seru Mery girang sembari membawa mangkuk berisi sup ayam kesukaan Evans.
Terlalu lama melamun, membuat Evans tak sadar jika mamanya sudah meletakkan sup di depannya.
"Kamu memikirkan apa, Nak?" tanya Mery tak lupa dia mengusap lengan Evans, hal yang selalu dirinya lakukan disaat bertanya pada Evans.
Evans menggeleng, dia mengambil sendok untuk mencicipi rasa lezat dari masakan Mery.
Begitu lidahnya sudah mencap rasa sup, ah. Evans tak bisa menahan dorongan untuk tidak tersenyum, rasa sup yang selalu sama. Begitu lezat dan tak ada tandingannya.
"Bagaimana?" tanya Mery, khawatir Evans tak suka.
"Seperti biasa, Ma. Selalu lezat," jawab Evans apa adanya.
Mery mengangguk pelan, dia ikut duduk di samping putranya. Mery tak ikut makan, dia hanya sibuk memandangi wajah lelah Evans.
"Mama tidak makan?"
Evans melirik Mery dengan mulutnya yang penuh, Mery menggeleng sebagai jawaban.
"Makanlah, Mama segaja memasak ini hanya untuk kamu. Mama senang akhirnya kamu punya waktu untuk pulang ke rumah setelah seminggu kamu hanya sibuk di rumah sakit," aku Mery menyuarakan isi hatinya.
Kesibukan sebagai dokter membuat Evans tak punya waktu untuk pulang, sudah seminggu dirinya bermalam di rumah sakit karena pasien yang tak henti berdatangan untuk mendapatkan penanganan darinya.
"Maaf, Ma. Bukannya aku tidak mau pulang, Mama tau bagaimana aku di rumah sakit. Belakangan ini banyak pasien yang menyita waktuku," adu Evans dengan santai.
Hanya pada Mery dia bisa mengeluh tentang pekerjaan yang semakin melelehkan juga tentang banyak hal.
"Hmmm, Mama mengerti. Kamu sudah dewasa dan Mama tau, kamu memiliki dunia sendiri, kesibukan sendiri, Mama cuma minta jangan lupa jaga kesehatan kamu sendiri, ya. Disaat kamu sibuk mengurus orang sakit, kamu juga bisa jatuh sakit jika telat makan, lihat ototmu sekarang mulai hilang," tutur Mery sembari memijat lengan otot Evans.
Hal itu hanya membuat Evans tertawa, merasakan geli pada lengannya yang dipijat sang mama.
"Iya, Ma. Aku selalu jaga kesehatan, lagi pula mendapatkan ototku kembali tidak begitu sulit."
Mery menaikkan ke dua alisnya dengan ekspresi seperti mengejek Evans.
"Berapa lama kamu memiliki waktu luang begini?"
Mery mulai membicarakan hal lain.
"Hanya dua hari."
"Wah, bagus. Kalau begitu kamu bisa menemui dia, kan?"
Evans berhenti mengkunyah detik itu juga, dirinya tahu siapa yang tengah dibahas mamanya. Selera makannya menghilang begitu saja.
"Aku bisa, tapi. Aku lelah Ma."
Mery mengangguk paham, lagi-lagi dia mengusap lengan Evans untuk membuat putranya tenang.
"Mama tau, karena itu malam ini kamu istirahat. Besok kamu temui dia, ya?" bujuk Mery tak mudah putus asa, walau dia tahu kata lelah dari Evans tadi adalah sebuah penolakan secara halus.
Evans menghela napasnya berusaha sabar, dia memandangi Mery yang melemparkan senyum penuh harap padanya.
Pada akhirnya Evans mengangguk, memangnya dia bisa apa jika Mery sudah memutuskan Evans harus selalu setuju.
"Baiklah, Evans. Kamu habiskan makannya, habis itu pergi tidur. Mama akan hubungi dia buat memberikan kabar gembira ini, dia pasti senang," seru Mery ceria.
Wanita setengah baya itu meninggalkan meja makan, dia menuju kamarnya untuk menghubungi seseorang yang harus dia pertemukan dengan putranya.
Sampai di kamarnya dia melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja baru saja mendapatkan notif pesan masuk, cepat-cepat Mery mengambilnya.
Tak hanya pesan, rupanya di sana pun terdapat beberapa panggilan dari nomor yang sangat dia kenal.
"Kenapa dia menghubungiku sebanyak ini, apa ada masalah?" gumam Mery.
Niat untuk menghubungi orang yang ia tuju tertunda, Mery malah beralih pada nomor yang sejak tadi melakukan panggilan tak terjawab darinya.
Mery menempelkan ponselnya ke telinga, menunggu hingga panggilan itu tersambung. Dan, tak lama setelahnya panggilan diangkat.
Namun, terdengar suara gerasak-gerusuk dari seberang. Bahkan tangisan beberapa anak ikut mengisi suara telepon.
"Hallo, ada apa, Bu? Nomor, Anda. Terus menghubungi saya sejak tadi," tanya Mery cepat karena dia penasaran.
"Apakah, Anda. Nyonya M?"
Nyonya M adalah identitas panggilan yang Mery berikan pada orang di seberang.
"Iya, ini saya. Kenapa?"
Kening Mery berkerut kala dia sadar jika suara yang mengangkat panggilannya terdengar asing.
"Nyonya, ada masalah di sini. Lantai atas gedung retak dan membuat sisi kamar tempat para bayi menjadi roboh," adunya cepat.
Jantung Mery seakan berhenti berdetak beberapa detik, matanya terbelalak karena fakta yang baru saja ia dengar.
"Astaga bagaimana bisa itu terjadi? Bagaimana kondisi bayi-bayinya?"
"Mereka aman, hanya saja kini para bayi tidak memilih tempat untuk tidur."
Mery mengusap dadanya, sedikit lega mendengar malaikat kecil di sana tetap aman.
"Baiklah, besok saya akan kirimkan beberapa orang untuk membantu di sana. Ngomong-ngomong saya penasaran, suara kamu terdengar asing. Kamu siapa?"
***