Hari ke tiga Ekal menemani Sania, pria itu masih santai dan tak peduli dengan Luna.
Bahkan Ekal tak pernah menelepon, menanyakan langsung kondisi istrinya. Ia pun tenang sebab Luna tak menghubungi dirinya.
"Sayang, aku mulai bosan terus di apartemen," ungkap Sania menyampaikan isi hatinya pada Ekal dengan nada manja.
Ekal menoleh, dia yang sejak tadi asik memandangi gedung tinggi dari jendela mulai mendekati kekasihnya itu.
"Kenapa bosan? Memangnya kamu mau ke mana agar tidak bosan?" tanya Ekal lembut, dia duduk di bibir kasur di mana Sania berbaring sembari memainkan ujung rambutnya.
"Aku sedang menunggu pelaku dari pembakaran pabrikku tertangkap, tapi. Aku juga butuh hiburan, bagaimana kalau kita jalan-jalan?" tawar Sania mantap.
Senyuman nan lebar menampakkan jelas deretan giginya yang tapi ia tunjukkan pada Ekal, kening Ekal berkerut mendengar itu.
"Tapi, Sayang. Aku tidak bisa berkeliaran di luar sana, bagaimana jika ada yang mengenal aku. Dan, melihat aku berjalan dengan wanita yang bukan istriku?"
Sania merubah posisinya menjadi duduk, dia bersila dan menatap Ekal dari dekat.
"Karena itu, lebih baik jika jalan-jalan ke luar negeri. Di sana tidak ada yang mengenal kita, kalau pun ada. Mereka juga tidak akan tahu nomor istrimu yang buta itu," cakap Sania dengan enteng.
Bahkan dia tak segan menyebutkan Luna seburuk itu, ekspresi Ekal langsung berubah. Ia tersinggung atas ucapan Sania.
Namun, dia pun tak bisa marah dan membalas wanita itu. Dirinya mencintai Sania sebagaimana dia mencintai istrinya.
"Sania," panggil Ekal pelan.
"Hmmm?" gumam wanita itu masih belum sadar akan perubahan sikap Ekal.
"Jangan menyebut Luna seperti itu," tegurnya langsung tanpa segan, atau memikirkan jika Sania akan kesal.
Awalnya Sania diam, persekian detik berikutnya dia tersenyum maklum lantas mengangguk.
Wanita itu semakin mendekati Sania, lantas menyandarkan kepalanya di dada bidang Ekal.
Ekal hanya diam menunggu apa yang akan dilakukan Sania ke depannya.
"Baiklah, aku tau kamu mencintainya. Aku tidak akan begitu lagi, tapi. Kamu tidak akan menolak, bukan?" tanya Sania hati-hati.
Dia mendongak guna melihat ekspresi Ekal, Sania nantikan dengan penuh harap. Ekal membalas tatapan itu, beberapa detik mereka hanya terlibat kontak mata.
Ekal buang muka, dia membuang napas panjang karena melihat Sania yang ini dengan keinginannya yang nekat.
"Sayang, tapi walau di luar negeri. Tetap saja kita tidak bisa jalan-jalan secara terang-terangan," tegur Ekal lembut.
Dia mengusap lengan Sania, berusaha menjelaskan. Namun, Sania tak ingin mengerti sepertinya.
Dia menjauhkan kepalanya dari Ekal, wajah wanita itu tampak kesal dengan bibir yang ia majukan ke depan.
"Kenapa kita harus terus seperti ini? Aku lelah, Ekal. Kamu terus menyembunyikan hubungan kita, memangnya apa yang salah dengan kita?" tanyanya dengan ketus, berlagak tak tahu jika hubungan mereka adalah hubungan yang salah.
Tak seharusnya wanita seperti Sania masuk ke rumah tangga Luna dan Ekal, dan semakin ke sini sepertinya Sania kian tidak tahu diri saja.
"Sayang, bukan begitu. Aku hanya berwaspada, aku tidak mau ada yang tahu tentang kita lalu menyampaikannya pada Luna. Kalau Luna tau, dia akan kecewa."
Sania menyipitkan matanya mendengar itu, dia lantas turun dari kasur bersama kepalanya yang menggeleng tak yakin dengan apa yang baru saja Ekal katakan.
"Jadi, kamu tidak mau membuat istrimu kecewa? Tapi, kalau aku yang kecewa tidak menjadi masalah bagi kamu, begitu?" tutur Sania sangat tidak menduga hal ini dari Ekal.
Ekal menggeleng cepat, ia tak akan biarkan Sania kembali salah paham. Ekal mengusap wajahnya, merubah ekspresinya selembut mungkin dengan senyuman manis.
"Sayang, kamu sudah tau seperti apa posisi kalian di hidupku. Dan, untuk itu aku pun tidak mungkin ingin satu dari kalian ada yang kecewa," imbuh Ekal mantap.
Perlahan pria itu mendekati Sania, dia menyentuh ke dua pipi Sania dengan lembut. Sania tak menolak, hanya saja ia enggan membalas tatapan Ekal yang begitu dalam.
"Jadi, aku minta pada kamu. Tolong jangan pernah menanyakan hal konyol seperti itu, ya. Aku sudah sering mengatakan ini dan aku harap kamu mengerti."
"Seperti kamu selalu berusaha untuk membuat istrimu bahagia, maka. Aku juga mau hal sama, kamu selalu menuruti dia. Maka, kamu juga harus menuruti mauku, itu baru yang namanya adil dalam perselingkuhan!"
Setelah melontarkan kalimat seburuk itu, Sania menyentakkan tangan Ekal yang bertengger di ke dua pipinya. Ekal berkedip.
Sania pergi dari sana dengan rasa kesal, dia hanya butuh waktu sendiri untuk beberapa waktu. Lagi pula, dirinya bukan wanita yang terlalu memiliki kesabaran yang besar.
Ekal mengeram kesal, dia memukul udara karena sudah kembali membuat kesalahan.
Namun, dia tak akan menyerah untuk mendapatkan maaf Sania yang ke sekian kalinya.
***
"Permisi, apa dokter Evans ada?"
Wanita yang tengah melakukan sandiwara buta itu bertanya di meja resepsionis, suster yang berjaga dan mengenal Luna sebagai pasien Evans lantas tersenyum dan berkata.
"Ada, tapi. Dokter Evans sedang melakukan tindakan operasi, Bu."
"Berapa lama operasinya akan selesai?"
Suster itu melihat jamnya, jika dia hitung dari jam saat Evans memasuki ruangan operasi. Maka, dia akan bisa menerka berapa lama jam operasi Evans.
"Mungkin sekitar beberapa menit lagi dokter Evans akan selesai. Apa, Ibu. Akan menunggu?"
Luna mengangguk mantap.
"Saya ada jadwal pemeriksaan dengan dokter Evans hari ini," bohong Luna.
Padahal jadwalnya lima hari lagi, dia harus memiliki alasan yang masuk akal.
"Ah, baiklah, Bu. Kalau begitu, mari saya antarkan ke ruangan dokter Evans," ajak suster dengan ramah.
Luna tersenyum, matanya berkedip sekali dengan lama sebagai tanda setuju.
Dituntunnya Luna ke ruangan Evans, tak butuh waktu lama. Ke duanya sampai di ruangan dengan pintu yang bertuliskan nama Evans.
Perlahan mereka masuk, suster membantu Luna agar duduk di sofa dengan nyaman.
"Tunggu di sini sebentar, ya. Bu, setelah dokter Evans selesai. Saya akan kabari beliau agar lekas menemui, Anda."
"Ah, baiklah. Terima kasih," ucap Luna manis.
Suster keluar dari sana, maka. Detik itu juga Luna kembali normal dalam melihat.
Dia melihat sekeliling ruangan itu dengan seksama, di sisi lain ada satu lemari kaca besar yang berisikan banyak penghargaan.
"Dia luar biasa," puji Luna dengan senyuman yang mengembang.
Secara tak segaja Luna melihat sebuah bingkai foto yang diletakkan begitu saja di atas meja kerja, atau lebih tepatnya segaja di balik agar fotonya tak terlihat.
Kening wanita itu berkerut tanda dirinya penasaran akan hal itu, perlahan tapi pasti Luna mendekati meja kerja Evans.
Matanya menatap ke arah bingkai berukuran kecil itu, entah mendapatkan dorongan dari mana. Tangannya menyentuh belakang bingkai dan ingin membalik.
Namun, tiba-tiba....
***