Suara pintu dibuka membuat Luna menarik tangannya kembali, dia melihat ke arah pintu.
Di sana Evans terlihat dengan tangan yang masih berbalut sarung tangan medisnya, dia benar-benar baru selesai melakukan operasi.
"Sudah lama?"
Pertanyaan pertama yang Evans lontarkan membuat Luna tersenyum simpul dan mengambil kesimpulan jika Evans adalah sosok yang tak suka membiarkan orang lain menunggu lama.
"Tidak, aku baru sampai. Apa, Dokter. Baru selesai melakukan operasi?" tanyanya basa-basi dengan melirik sarung tangan Evans yang masih terpasang dengan benar.
"Ah, iya. Benar-benar baru selesai," katanya mantap.
Evans masuk, dia sedikit heran kenapa Luna bisa berdiri di dekat mejanya.
Lantas dia melirik bingkai yang dia telungkupkan itu, buru-buru Evans mengambilnya dan memasukkan ke dalam laci meja.
Luna mengerutkan keningnya melihat gelagat Evans yang seperti sangat merahasiakan potret apa sebenarnya yang ada di sana.
"Kenapa kamu berdiri saja? Silakan duduk, aku akan bersih-bersih sebentar."
Evans meninggalkan Luna, ia menuju toilet yang tersedia di ruangannya.
Melihat Evans sepertinya tak ingin membahas tentang bingkai itu, maka. Luna mengangkat ke dua bahunya bersikap bodoamat dengan itu semua.
Lagi pula, tak semua tentang Evans harus dirinya tahu. Hubungan mereka hanya sebatas dokter dan pasien serta partner kerjasama dalam balas dendam sepihak yang hanya ingin Luna lakukan.
Luna menarik napasnya, dia lantas duduk kembali di sofa dengan sopan. Menantikan Evans selesai dengan bersih-bersihnya.
Selang beberapa saat, Evans sudah kembali dengan tangannya yang jauh lebih bersih dan harum sabun yang khas menyeruak di ruangan tersebut.
Luna melemparkan senyumnya kala Evans mendekat, maka. Evans membalas dengan senyuman yang tak kalah manis dari wanita itu.
"Apa yang membawa kamu ke mari?" tanya Evans langsung pada inti dari tujuan Luna.
Evans memilih duduk di sofa seberang Luna, dirinya dan Luna memang dekat. Tapi, Evans cukup tahu untuk menjaga jarak. Sebab Luna pun posisinya sekarang masih istri orang lain.
Tak baik rasanya jika terlalu dekat, orang lain akan berpikir yang tidak-tidak tentang mereka. Jadi, lebih baik menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut.
"Dokter, sudah makan siang?" tanya Luna balik.
Evans mengerutkan keningnya, dengan bola mata yang ia rotasikan ke langit-langit ruangan tersebut.
Kebiasaan dirinya ketika berpikir dengan keras.
"Sepertinya belum, sejak pagi hanya ada oeprasi yang memakan habis waktuku," adu Evans apa adanya.
Luna sedikit menggeleng mendengar penuturan Evans yang kini sudah benar-benar santai pada dirinya.
Seperti tak ada kecanggungan di antara mereka lagi.
Luna menarik tas berukuran lumayan besar yang sejak tadi ia bawa dari rumah.
Membuka resleting tas tersebut, lantas ia mengambil sebuah rantang tiga tingkat ke luar.
"Kalau begitu operasi, Dokter. Memang tepat sekali, dengan begitu usahaku tidak akan sia-sia."
"Hah?" cegoh Evans tak paham ke mana arah pembicaraan ini.
Sembari membuka setiap tutup dan tingkatan rantang, dia berkata.
"Maksudnya, aku sudah memasak ini dengan susah payah. Aku harus berlagak buta dan mengeluarkan kemampuan memasakku dalam waktu yang bersamaan," tutur Luna berhasil membuat senyum manis Evans terukir di wajahnya yang tampan itu.
"Wah, kalau begitu sepertinya aku sangat beruntung. Bakatmu muncul di saat yang bersamaan untuk menyiapkan masakan ini."
Entah itu sebuah pujian atau hanya candaan, tapi terdengar baik di telinga Luna. Dirinya tak bisa berhenti sebab Evans mengatakan hal yang konyol bagi Luna.
***
Sementara Luna memiliki niat baik untuk membawakan Evans makanan, ada Ekal yang juga sibuk dengan kekasihnya yang masih saja merajuk.
Guna membujuk Sania, lagi-lagi Ekal harus menuruti apa maunya wanita itu.
"Baiklah, Sayang. Kita akan berlibur ke luar negeri," tutur Ekal begitu saja, sontak membuat Sania menatap balik ke arah pria itu dengan matanya yang sedikit ia besarkan.
Sania melompat kegirangan, hanya dalam sekejap emosinya meluap begitu saja. Ini kabar yang luar biasa baginya.
Karena terlalu senang Sania berlari ke arah Ekal, dan memeluknya begitu erat. Ekal tersenyum tipis merasakan pelukan hangat Sania lagi.
"Aaaaa, aku tau kamu pasti akan menuruti mauku. Selalu...."
Ekal mengangguk membenarkan hal itu, dia mengusap puncak kepala Sania dengan lembut.
"Kalau begitu ayo kita kemasi barang-barang!" ajak Sania dengan semangat empat lima.
Namun, tak lama setelah melontarkan itu. Dia menggeleng.
"Ah, tidak! Kamu duduk manis saja di sini, biar aku yang kemasi barang kamu, ya?" tambahnya masih kegirangan, Sania mendorong Ekal dengan lembut agar pria itu duduk di kasur.
Dan, Sania mendekati lemari pakaiannya terlebih dahulu, setelah miliknya dia akan mengemasi milik Ekal.
Ekal diam melihat Sania begitu bahagia, lantas mendadak terbersit dalam pikirannya sosok Luna.
Tangannya mengambil ponselnya yang sejak tadi bersemayam di dalam saku, dia melirik ponsel bercase hitam itu beberapa saat.
Lalu, beralih pada Sania yang masih sibuk. Mendapat sebuah dorongan besar, akhirnya Ekal diam-diam keluar dari kamar bahkan dari apartemen Sania.
Sampainya di luar, Ekal masih ragu untuk menghubungi sang istri. Namun, karena dia juga masih sangat mencintai Luna.
Pada akhirnya Ekal menghubungi nomor Luna. Ekal dekatkan ponselnya pada telinga, menunggu hingga diangkat.
Tak lama setelahnya Luna mengangkat panggilan itu.
"Halo?" sapa Luna lebih dulu, dia masih di ruangan Evans.
Menantikan Evans yang makan dengan lahap, Luna bahkan tak beranjak dari sana sebab dia tak masalah jika Evans mendengarkan percakapan mereka dengan ponsel yang sudah Luna loud speakerkan.
"Sayang, kamu sedang apa?"
"Duduk di kamar, hanya bersantai. Ada apa?" tanya Luna balik.
Matanya terus menatap Evans yang tak menatap dirinya balik, tapi. Luna tahu, jika Evans pasti mendengar pembicaraan mereka.
"Kamu baik-baik saja, kan. Selama lima hari ini tanpa aku?"
"Apa aku akan baik kalau kamu tinggal?" tanya Luna balik, ah. Itu hanya agar Ekal yakin jika Luna masih sama seperti dulu.
Terdengar helaan napas berat dari Ekal, dia menatap sepatunya dengan bimbang.
"Sayang, aku minta maaf karena harus meninggalkan kamu dalam jangka waktu yang lama dalam keadaan ini, ya," pinta Ekal lembut.
"Tidak apa-apa, aku tidak masalah kalau kamu pergi untuk pekerjaan, asal tidak dengan urusan yang lain. Apa lagi jika itu berkaitan dengan wanita lain."
Ekal menutup rapat bibirnya, dia seperti tertampar dengan ucapan Luna barusan.
"Tentu, aku tidak mungkin berbuat hal salah di belakang kamu. Tapi, sayang...."
"Apa?" sela Luna cepat.
"Sepertinya aku tidak akan pulang sesuai dengan janjiku padamu."
Tangan Luna mengepal di atas pahanya, Evans yang sejak tadi diam menyaksikan itu dengan seksama.
"Kenapa?" Sebisa mungkin Luna menahan nada suaranya agar tak terdengar geram.
"Kerjaan di sini semakin bertambah, dan. Aku tidak bisa menolaknya, ini juga demi bisnis aku dan aku begini supaya bisa selalu penuhi keinginan kamu," dalihnya dengan mengatasnamakan bisnis juga Luna.
***