Tirai baru saja dibuka. Pemilik kamar merasa terusik hingga membuatnya harus melempar bantal pada wanita paruh baya yang menjadi pelaku.
Bi Iren kaget. Sebelum Dewa membuka mata, wanita itu segera terbirit keluar. Sebelumnya tidak ada yang berani membangunkan tuan muda, karena sikapnya yang keterlaluan dalam menindak para pelayan di rumah ini.
Dewa mendengkus kasar seraya terpaksa bangun dari tempat tidurnya. Pria itu segera pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah tampannya.
Dewa Tianframata, cowok berkulit putih, hidung mancung dan mata elang itu memakai seragam sekolahnya dengan ekspresi lebih baik dari bangun tidur tadi.
Dia menaburkan tabir surya ke wajahnya. Kemudian lanjut memakai minyak rambut hingga membentuk rambutnya jadi lebih menawan. Dewa tidak suka melihat penampilannya kucel seperti orang tidak mandi. Setiap hari Dewa akan terlihat tampan, tampan tan tampan, meski sampai sekarang belum juga tertarik pada wanita.
Setelah tiba di bawah, Dewa cukup terkejut dengan kehadiran seorang pria yang sudah berbulan-bulan di luar negeri juga wanita tua yang berpenampilan layaknya anak muda.
"Papa mau ngomong sama kamu Dew." Tanpa basa-basi Tuan Amartha meminta putra semata wayangnya untuk duduk berbincang.
Dewa melirik sinis pada ibu tirinya. Dia yakin, wanita itu mengadukan hal macam-macam pada Tuan Amartha.
Duduk dengan memasang wajah malas. Dewa bersiap untuk mendengar celotehan pria itu.
"Cukuplah, Dew. Kamu kenapa masih tidak berubah. Kamu itu pewaris Titian Group, harusnya kamu jadi contoh teladan di sekolah. Sengaja papa perjuangan Guaradana international High school jadi milik papa, buat kamu, karena Papa berharap kamu jadi Dewanya Guaradana bukan malah jadi sampah di sana. Tiap semester nilai kamu anjlok dan perilaku kamu sering dapat aduan dari guru-guru bahkan kepsek. Papa sebagai pemilik resmi sekolah malu Dew!" tutur Tuan Amartha panjang lebar. Saat pulang tadi malam, sang istri mengadukan laporan dari sekolah padanya. Sudah sejak lama Dewa dilindungi atas sikapnya yang sudah amat keterlaluan.
"Papa kira kecerdasan papa akan turun ke kamu, tapi nyatanya apa? Tidak ada yang bisa papa banggakan dari kamu!"
Dewa mendecih.
"Harapan papa gak akan mungkin terwujud."
"Kurang apa papa sama kamu Dew. Kamu selama ini sudah menjadi anak paling bahagia. Kamu sudah—"
Tawa Dewa membuat kalimat Tuan Amartha tertelan begitu saja.
"Bahagia? Apa Dewa gak salah dengar?"
"Menurut papa kenapa Dewa bisa seperti ini? Ini karena papa sudah menyembunyikan ibu dari aku. Aku selalu bertanya kemana ibuku—"
"Ibu kamu itu sudah mati. Reta ini adalah ibu kamu, dia lebih baik!" Tegas Tuan Amartha yang mendapat seringaian tajam dari sang putra.
Sikap Dewa yang sering berbuat ulah di sekolah adalah bentuk perlawanan sendiri terhadap ayahnya. Tak masalah jika nama sekolah jelek karenanya, bahkan Dewa akan senang karena dengan begitu ayahnya sendiri lah yang akan menanggung malu. Sampai ibunya ditemukan, Dewa akan tetap menjadi anak pembangkang.
"Aku sendiri yang akan cari ibuku. Papa akan lihat jasad ibu yang masih hidup!"
Reta mengayuh tangan Dewa untuk sekadar menenangkannya, namun dengan cepat anak itu tepis secara kasar. Dewa tak memedulikan Tuan Amartha yang sedang tersulut emosi, dia pergi begitu saja.
***
"PR punya Dewa udah beres kan?"
"Emang lo nyuruh gue buat ngerjain PR si Dewa?"
"Ah, goblok. Bentar lagi anaknya datang, cepet beresin!
"Ya elah!" Digo terburu-buru. Daripada dia mati, lebih baik segera menyalin miliknya ke buku Dewa.
Tak berapa lama Bu Lita tiba. Wanita itu menyapa murid-muridnya, lalu setelah itu sudah mulai mengabsen sembari meminta mereka mengumpulkan pekrjaan rumahnya sesuai nomor urut absen mereka.
Tangan Bu Kita terima berhenti dari rutinitasnya kala melihat siswa nyelonong masuk tanpa permisi.
"Dewa!" bentak Bu Lita geram. Anak itu tidak sopan. Seharusnya Dewa meminta izin, karena yakin anak itu melihat dirinya sedang duduk mengabsen.
"Apa?" Wajah Dewa terlihat nyolot. Tidak ada rasa takut dari anak itu.
"Main nyelonong masuk saja. Kamu tidak lihat ada saya dudul di sini?"
"Lihat kok."
Bu Lita takjub dengan jawaban Dewa. Memang benar, seharusnya sekolah ini sesekali menghukum Dewa agar jera dengan sikap pembangkangnya.
"Percuma saja kamu jadi penerus perusahaan ayah kamu nanti, jika atitude kamu jelek seperti ini. Membayangkannya saja saya sudah malu."
"Ibu menghina saya?"
"Kamu duluan yang menghina harga diri saya. Lebih baik kamu keluar. Saya tidak mau ada siswa yang suka melanggar aturan di sini!"
"Bagus... gue emang gak mau masuk kelas lo!"
***
Dewa berjalan di koridor yang sudah tampak sepi. Semua orang belajar dikelasnya, tidak dengan dia yang lalu lalang mencari tempat untuk melampiaksan rasa kesalnya.
Mata Dewa teralihkan pada seorang cewek yang sedang mengintip di balik jendela kelas unggulan. Cewek itu senyum-senyum tak karuan seperti orang gila.
"Lo yang dikepang!" panggil Dewa kencang.
Jantung Anna seakan mau copot, dia sepontan menoleh dan terkejut dengan kehadiran Dewa yang tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
"Gue kak?" Anna menunjuk dirinya.
"Ngapain lo ngintip-ngintip kelas unggulan?" Dewa berjalan menghampiri Anna yang sedang mematung kikuk.
Dewa melihat ke dalam kelas, mendapati Prince sedang fokus pada pelajaran. Dari sini, Dewa langsung bisa menyimpulkan bahwa cewek itu sedang melihat Prince.
"Oh, lo suka sama si Prince?"
"Haa? Gue ... anu, Kak. Ngga kok," ucap Anna gugup.
"Halah bilang aja lo suka sama dia. Pake gak ngaku segala lagi."
"Maaf kak, aku masuk kelas dulu" Anna segera terbirit meninggalkan Dewa.
***
Rasanya sudah lama Anna tak bertegur sapa dengan Cleo. Mungkin karena jarak kelasnya lumayan jauh, jadi tak ada waktu untuk bertemu. Lagi pula, akhir-akhir ini hari Anna sering padat oleh jadwal latihan untuk olimpiade nanti.
"Ayo, Na. Bentar lagi Pak Marko nyusul ke kolam lho." Laudia mengunci lokernya setelah menyimpan pakaiannya ke sana. Ia melihat temannya ini tampak sedang memperhatikan seseorang.
"Gue mau nyamperin Cleo dulu boleh gak?" Anna memang tak begitu dekat dengan Cleo. Namun menyapanya barangkali bisa membuatnya dekat. Cleo sudah sering membantu Anna dalam kesulitan dan dalam kondisi genting.
"Cleo? Maksud lo cewek yang itu?" Laudia menunjuk sekumpulan cewek-cewek centil di depan tangga, salah satunya adalah Cleo.
Anna menganggukan kepalanya.
"Lo kenal sama mereka? Ya kali! Lo gak tahu yah. Mereka itu—"
"Laudia, Anna, cepat masuk! Pak Marko udah datang!" sambar Cesi membuat kedua orang itu langsung berlari mengikuti Cesi ke kelas renang.
Setelah Anna masuk, seseorang mengambil kesempatan, membuka loker Anna yang tidak dikunci. Anna sangat ceroboh.