Chereads / Air Mata Agnia / Chapter 25 - Bab 25

Chapter 25 - Bab 25

Di ruang kerjanya, David sedang sibuk menyelesaikan tugas kantor yang ada di Italy. Sejak dua jam lalu ia berada di sana. David meminta agar jangan ada yang masuk ke dalam ruang kerjanya. Hal itu dianggap bisa memecah konsentrasi David.

Namun, pintu ruang kerjanya terbuka. Seorang wanita paruh baya mendekat dan duduk di sofa elegan milik Dava.

"Apa Bibi tidak tahu sopan santun? Setidaknya, ketuk lah pintunya dulu sebelum masuk."

"Oh, ayolah, David. Ini kan aku bibimu. Jangan terlalu kaku begitu." Dalam hati Martha ia merasa tak terima atas sindiran menohok David. Hanya David lah yang berani mengatainya tidak sopan secara terang-terangan dan membuat harga diri Martha turun.

"Sekarang ini Bibi berada di kediamanku. Siapa saja yang hendaj masuk ke ruangan yang ada di mansion, harus mengetuk pintu terlebih dahulu. Terutama ruanganku. Aku harap Bibi bisa mematuhinya lain kali."

Martha berdecak kesal. Memang David tipikal orang yang sangat menjaga etika dan peraturan. Satu saja yang dilanggar, maka mulut David akan menegur sekaligus menyindir.

"Ya, bibi akan ketuk pintunya dulu." Martha harus bisa sabar menghadapi David. Ia dan keponakannya ini memiliki hubungan yang tidak begitu baik.

David menutup berkas terakhirnya. Ia berdiri lalu berjalan ke arah Martha. "Apa tujuan Bibi datang ke sini?" tanyanya saat baru saja duduk.

"Oiya, aku hampir saja melupakan tujuanku datang ke sini. Begini, aku tahu kau adalah orang yang sibuk. Siang malam bekerja. Bahkan sering melewatkan makan. Itu tidak baik bagi kesehatan."

"Langsung ke intinya saja, Bi." David tipikal orang yang tak suka berbasa basi. Ia lebih suka berbicara langsung ke intinya, lebih menghemat waktu berharganya.

"Ya baiklah. Akui tahu kau belum memiliki kekasih. Jadi, aku mencarikan seorang wanita yang tepat untukmu. Tunggu sebentar." Martha mengambil sebuah foto seorang wanita bersurai pirang yang memiliki netra biru. "Wanita itu bernama Shannon Davis. Dia wanita yabg hebat dan seorang super model. Karirnya sudah menembus pasar hollywood. Untuk keluarganya, ayahnya juga memiliki perusahaan yang besar. Keluarga Davis termasuk yang disegani di kota Roma. Aku rasa kalian berdua akan cocok." Martha mendekatkan foto itu ke depan David.

Tatapan datar dilayangkan David pada potret Shannon. Memang ia akui kalau Shannon memiliki paras cantik. Terlebih surainya yang pirang serta bermata biru menjadikan ia primadona bagi kebanyakan pria. Namun, begitu, bukan bentuk fisik yang terpenting baginya.

"Apa Bibi sudah selesai mengatakannya?"

"Iya," jawab Martha. "Jadi, kapan kalian bertunangan? Serahkan semua itu padaku. Aku akan mengatur semuanya." Kepercayaan diri Martha sungguh tinggi.

Wanita itu seolah sangat yakin jika David tak bisa menolak pesona Shannon. Hei, siapa juga yang akan menolaknya? Shannon benar-benar wanita idel—menurut Martha.

"Aku belum berkata apa pun dan Bibi sudah mengatakan tentang pertunangan?" Salah-satu sifat yang sangat tak disukai David dari Martha, bertindak seenaknya.

"Aku yakin kau setuju. Lagi pula, pilihanku adalah yang terbaik. Aku mencarikan wanita yang pantas untuk mendampingimu."

David menyunggingkan salah-satu sudut bibirnya. "Tapi, sayangnya aku menolak. Aku tidak ingin dikenalkan dengan wanita yang bernama Shannon. Aku sudah memiliki calonku sendiri. Jadi, lebih baik bibi tawarkan pada putra Bibi. Aku yakin dia tidak akan menolak. Secara, dia kan pemburu wanita seksi nan cantik."

Rasa terkejut bercampur kesal menyelimuti hati Martha. Ia tak mengira jika David akan menolaknya. Selama ini, David selalu menerima apa yang ia pilihkan, tapi lihatlah sekarang. Bukan hanya menolak, David juga mengolok-olok putranya.

Martha berusaha mengontrol emosinya yang mulai naik ke permukaan. Sebisa mungkin wanita itu memasang wajah baisa saja.

"Wah, kenapa kau tidak bilang? Syukurlah kalau kau bisa menemukannya. Aku lega mendengarnya." Martha memasukkan kembali foto Shannon ke dalam tasnya. Ia berdiri. "Aku harus pergi dan jangan lupa untuk jamuan makan malam besok malam. Bawa wanita yang kau pilih itu."

David berdiri sembari tersenyum. "Tentu. Aku akan membawanya."

*****

Sekitar dua jam lebih Savita berada di dalam kamar. Ia bosan serta merasa lapar. Sedari tadi perutnya terus mendemo untuk diberi makan. Di kamarnya ini tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Savita berjalan lesu menuju kasur. "Harusnya aku tadi bertanya pada Kaivan di mana aku bisa mendapatkan makanan."

Tok tok tok

Pintu diketuk oleh seorang pelayan. "Nona Savita."

"Tunggu sebentar." Ia menepuk pelan perutnya tersebut. "Jangan berbunyi dulu ya perut." Savita pun membuka pintu kamarnya. "Iya, ada apa?"

"Begini Nona, Tuan David meminta Nona untuk ke ruang makan."

Perut Savita seakan berteriak kegirangan begitu pelayan mengatakannya. David tahu setelah mereka sampai di Italy, Savita belum makan apa pun.

Savita mengikuti ke mana langkah kaki pelayan tersebut. Ruang makan tak kalah luas dan mewah dari ruangan lain. Di atas meja makan terdapat lampu kristal cantik. Meja makan pun berbentuk memanjang. Kalau dihitung-hitung bisa menampung hingga dua puluh orang.

"Tunggu," ceganya saat pelayan tadi hendak pergi.

"Nona butuh sesuatu?"

"Tidak. Aku tidak membutuhkan apa-apa untuk saat ini, tapi aku hanya ingin bertanya." Sejak ia memasuki rumah besar David, ia belum melihat anggota keluarga pria itu. Kesibukan merupakan hal yang terpikir di benak Savita.

"Bertanya apa Nona?"

"Di mana keluarga David? Sedari tadi aku tidak melihatnya."

"Tuan David sebelumnya tinggal sendiri Nona. Di mansion ini hanya ada Beliau dan para bawahannya."

Savita cukup terkejut mendengarnya. Rumah sebesar dan segede ini hanya diisi oleh David? Ya meski ada banyak pelayan, tapi tetap saja akan beda rasanya. Pelayan tinggal karena bekerja di sini. Sedangkan David tuan rumahnya.

"Memangnya, di mana keluarganya yang lain?"

"Maaf, Nona, saya tidak bisa menjawabnya. Nona bisa bertanya langsung pada Tuan David. Kalau tidak ada yang ingin ditanyakan atau dibutuhkan, saya akan pergi ke dapur."

Tak lama kemudian, muncul David dari belakang. Ia segera duduk. Netranya melihat ke arah Savita. "Apa kau ingin terus berdiri saja di situ?"

Savita segera duduk sesuai perintah David. Ia tadi hanya sedikit melamun. Pertanyaan tentang di mana keberadaan keluarga David terus berputar di kepalanya. Namun, ia tak berani bertanya.

Para pelayan datang silih berganti. Mereka mulai menyajikan aneka makanan mulai dari hidangan pembuka, hidangan utama, hingga hidangan penutup. Tak lupa ada wine, air putih, dan jus juga tersedia.

"Ada berapa banyak orang yang akan makan di sini?"

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, semua makanan ini. Ini banyak sekali."

David mengalihkan tatapannya pada beragam makanan yang tersaji. "Hanya kau dan aku yang akan makan di sini."

Savita tentu terkejut. Ia melihat ke arah makanan tadi. Savita merasakan perasaan mubazir, makanan yang dihidangkan tentu terlalu banyak jika untuk dua orang saja. Andai saja Savita memiliki bahan makanan yang banyak, ia tentu tak akan memasaknya sekaligus.

"Apa tidak terlalu banyak?"

"Tidak. Setiap aku makan di sini, memang seperti ini. Makan lah, jangan khawatirkan makanan yang tidak akan habis. Ada orang yang menguruskan."

Orang banyak duit mah bebas.