Seketika tubuh Agnia merinding. Sedetik kemudian tangannya terasa ditarik dari samping. Ingin menjerit tapi mulutnya dibungkam dengan tangan seseorang. Melihat ke belakang. "Rosa," ujarnya dalam hati.
"Bu Agnia jangan teriak." Agnia mengangguk dan Rosa melepaskan bungkamannya. Wanita tadi melihat ke sekeliling. "Sedang apa Ibu di sini?"
"Seharunya saya yang bertanya seperti itu. Sedang apa kamu di sini?"
"Saya ada urusan penting," jawab Rosa dengan wajah datar.
"Urusan apa di tempat sepi dan sempit seperti ini?" Agnia begitu penasaran ditambah aura Rosa yang tak mengenakkan.
Berada dekat dengan karyawan barunya tersebut membuat tubuh Agnia sesaat merasa takut. "Ada apa ini?" batin Agnia bertanya-tanya.
"Saya rasa Bu Agnia tidak perlu tau. Yang penting anda segera pergi dari sini sebelum semuanya terlambat." Rosa berpandang lurus ke depan. Tampak sangat serius.
"Terlambat? Sebenarnya apa maksud kamu sih Sa? Memangnya apa yang akan terjadi di sini?"
Rosa lagi-lagi menatap datar Agnia bedanya kali ini tatapannya lebih dingin. "Sesuatu yang pasti Ibu tidak menyukainya."
"Sesuatu seperti apa?"
"Ssstt." Rosa mengisyaratkan Agnia untuk diam. "Dia datang."
"Siapa yang datang?" tanya Agnia dengan suara yang sangat pelan.
Tatapan Rosa berubah. Kali ini ada kilatan senang terpatri di netra wanita tadi serta sudut bibir yang terangkat ke atas. "Orang yang saya sudah tunggu-tunggu kedatangannya sedari dulu. Sebaiknya anda diam saja di sini. Jangan ke mana-mana. Hari sudah larut dan pastinya kejahatan lebih rentan terjadi. Kita akan pulang bersama," kata Rosa.
Kedua wanita tadi bersembunyi di dekat tempat sampah dan tong-tong tak terpakai. Rosa kemudian pergi. Namun, Agnia masih diam di tempat sembari mengamati sekitar.
Sekarang hujan sudah reda. Ia mengintip ke mana perginya Rosa. Di depan sana sudah ada dua orang. Rosa dan yang satunya ....
Agnia membelalakkan mata. "Ivan. Kenapa dia ada di sini juga?" ujarnya amat pelan agar tak terdengar siapa pun.
"Jika mereka bertengkar, maka hasilnya pasti akan buruk." Meneliti sekeliling. "Tidak ada siapa pun di sini. Bagaimana ini? Aku harus mencegah mereka agar tidak bertengkar." Agnia mengamati lagi dan mencoba mendengar obrolan Rosa serta Ivan.
"Akhirnya kamu datang Van," ujar Rosa. Ekspresi wanita itu biasa seperti tak ada emosi sama sekali.
"Jangan banyak bertele-tele, cepat katakan apa maumu memanggilku ke sini?" Rasanya ia ingin segera pergi. Entah setan mana yang menempel pada Ivan hingga rela datang jauh-jauh ke sini.
Rosa melangkah perlahan. Ia berhenti pada langkah ketiga. "Aku hanya ingin kamu. Hanya kamu."
Pria di hadapannya mengernyitkan kening. Sedetik kemudian tertawa dan menatap rendah lawan bicaranya tersebut. "Apa gara-gara gubuk jelekmu yang kuporak-porandakan waktu itu membuat otak kecilmu makin menyusut?"
Rosa hanya tersenyum kecil. "Apa kamu mau menyerahkan dirimu padaku?"
"Pertama-tama, hubungan kita sudah berakhir dan yang terpenting, aku tidak mencintaimu lagi. Jadi jangan mimpi untuk menjadi pendamping hidupku!" Ivan menatap tajam Rosa yang kini berjalan semakin dekat ke arahnya. "Berhenti di sana. Aku tidak ingin dekat-dekat denganmu!"
Wajah Rosa mendadak sendu dan berkaca-kaca. Menuruti untuk berhenti melangkah. "Padahal aku sangat mengharapkanmu."
"Itu saja yang mau kamu katakan padamu Sa?" Ivan berdecak sebal. "Menyesal aku datang ke sini. Melewati derasnya hujan dan hawa dingin. Benar-benar menyebalkan." Namun, sesaat kemudian otaknya memiliki ide.
"Kamu kan sudah membuang waktuku yang berharga ini. Bagaimana jika kita bermalam bersama? Ah tidak, tidak. Aku punya ide yang lebih baik lagi. Kamu bilang masih mengharapkanku kan? Bagaimana jika kamu menjadi penggangat ranjangku?" Ivan menaikkan alisnya sembari menyentuh helaian rambut Rosa.
Rosa tersenyum dan semakin mendekat. "Hmm, ide yang bagus." Tangan kiri wanita tadi menyentuh area dada Ivan dan mengusap dengan tatapan menggoda. "Boleh aku memelukmu? Sebagai tanda hubungan baru kita?"
"Tentu saja."
Keduanya berpelukan. Tak lama kemudian netra sang pria membelalak. Badannya tak bisa bergerak. Ia juga merasakan perutnya sangat sakit seperti ada yang menusuk.
Awalnya ia pikir hal itu hanyalah ilusi saja. Namun, saat pelukan tadi terurai baru lah Ivan melihat tangan kanan Rosa memegang pisau yang berlumuran darah. Pisau yang baru saja dicabut dari perutnya.
Ivan seketika terduduk sambil memegang area tusukan yang mengeluarkan banyak darah. Ia menatap ke arah Rosa yang sekarang tersenyum penuh kepuasan.
"App-pa yy-yang kk-kamu lakukan Sa?" Dengan susah payah Ivan bicara. Suara yang dikeluarkannya pun lemah.
Rosa tersenyum bahagia dan terkekeh kecil. "Apa kamu tidak bisa menyimpulkan sendiri? Aku menusukmu menggunakan pisau. Pisau yang sangat tajam. Lihat," ia menunjukkan benda tadi. "Darah yang berada di pisauku ini ialah darah kotor milikmu!"
Ivan tak bisa mencerna dengan baik perkataan Rosa. Rasa sakit pada perutnya begitu besar hingga mengalihkan fokusnya. Pandangannya mengabur dan kini terkapar di tanah.
Sementara Agnia sedari tadi hanya bisa menyaksikan dengan rasa takut disertai tak percaya jika Rosa nekat menghabisi Ivan. Ia kira ucapan wanita itu hanya emosi sesaat.
Segera Agnia menghampiri wanita tadi. Ia memegang lengan Rosa hingga membuat mereka saling berhadapan.
"Apa yang telah kamu lakukan pada Ivan?"
"Mengantarkannya ke neraka. Harusnya sedari dulu aku melakukannya Bu Agnia." Melihat kondisi Ivan yang diambang kematian. "Lihat lah dia Bu. Begitu lemah dan tak berdaya. Sama seperti kita dulu. Sekarang kita sudah membalaskan dendam."
"Tapi bukan begini caranya!" Agnia langsung menjawab dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. "Apa yang kamu lakukan ini salah Sa. Salah besar. Kita tidak harus menjadi kriminal hanya demi balas dendam."
Rosa mulai terpancing emosi. "Lalu? Dengan cara apa kita bisa membalaskan dendam? Lapor ke polisi? Bu Agnia kira dengan lapor polisi masalah akan selesai? Tidak Bu! Bu Agnia tau sendiri kan bagaimana orang seperti kita saat mencari keadilan. Kita tidak bisa mengharapkan keadilan dari mereka! Tidak bisa dan tidak akan pernah!" Rosa menyentak tangannya hingga terlepas kemudian berlari pergi.
"Rosa, Rosa, mau ke mana kamu?" Mencoba memanggil namun gagal dan tak lama kemudian terdengar suara sirine polisi.
Entah mereka tau dari mana, yang jelas sudah banyak polisi yang kini ada di hadapannya. Salah-satunya mendekat dan memborgol tangannya.
"Anda kami tangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap saudara Ivan."
Agnia menggeleng kuat. "Tidak Pak polisi. Bb-bukan saya yang melakukannya. Orang lain Pak. Jangan tangkap saya. Saya tidak bersalah." Sekeras apa pun Agnia memohon, ia tetap diseret menuju mobil polisi dan siap dipenjarakan. "Tidak. Tidak. TIDAKK!"
Agnia membuka mata dengan deru napas yang memburu. Terduduk dan melihat sekeliling. "Tadi .... hanya mimpi?"
Melihat kamar tidur yang sama setiap hari. Ternyata yang baru saja dialami hanya bunga tidur. Perasaan lega langsung menghantam hatinya. Meski begitu, rasa deg degan yang amat sangat tak bisa langsung disingkirkan. Rasa risau juga masih tertinggal.