Chereads / Second Chance Revenge / Chapter 3 - My Name is Lestari Santoso

Chapter 3 - My Name is Lestari Santoso

Sudah dua minggu Thea berada di rumah sakit. Sebagian waktunya Thea habiskan dengan mengorek informasi tentang Tari, pemilik tubuh yang sekarang menjadi miliknya dan sebagian lagi dia pakai untuk tidur. Semua obat-obatan yang dia konsumsi membuatnya mengantuk.

Rasanya semua ini seperti mimpi. Thea tak menyangka bahwa jiwanya bisa berpindah tubuh seperti di film-film. Thea tidak memiliki ingatan Tari. Dokter mendianogsa Tari hilang ingatan akibat cedera berat di kepalanya padahal memang sekarang otak Tari dipenuhi dengan ingatan Thea.

Ibu Tari, Marissa sempat panik ketika mengetahui anaknya tidak mengingat apa pun tapi sekarang dia sudah tabah dan menerima kalau semua ingatan anaknya telah hilang. Marissa benar-benar ibu yang hebat. Dia selalu berusaha menenangkan Tari, berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

Thea kini juga sudah menerima keadaannya. Dia mengingat berita kematiannya yang dia tonton di televisi saat dirawat.

"Putri pebisnis sukses Indonesia sekaligus adik dari artis Jeremy Hartono ditemukan meninggal dunia di kediamannya dini hari tadi. Almarhum Thea Hartono ditemukan oleh suaminya dalam keadaan tidak bernyawa di rumahnya. Diduga Almarhum kelelahan sehabis pulang dari perjalanan bisnis di Singapura sehingga terkena serangan asma akut."

Berita itu juga menunjukkan prosesi pemakamannya. Ibu Thea pingsan di tengah-tengah acara penguburannya. Thea khawatir kondisi ibunya memburuk karena saat ini ibunya sedang sakit parah. Berita itu juga meliput Bara. Pria itu terlihat acak-acakan. Matanya merah dan bengkak, wajahnya lesu, dan air mata mengalir di pipinya. Semua orang pasti mengira Bara sangat terpukul kehilangan istri tercintanya. Tidak akan ada yang menyangka Bara turut andil dalam kematian Thea. Vivi juga hadir dan setia menemani Bara dan orang tuanya, bersikap seakan-akan tidak berdosa.

Kedua makhuk menjijikan itu membuat darah Thea mendidih. Thea merasa dia diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan untuk membalas perbuatan mereka.

Thea memang sudah meninggal dan dia sudah berdamai dengan fakta itu. Sekarang dirinya bernama Lestari Santoso dan dia akan hidup dengan identitas barunya itu.

"Tari, ayo pulang, Nak. Semua administrasi sudah selesai diurus," Marissa masuk kamar tempat Tari dirawat.

"Iya, Bu."

Thea sudah bertekad untuk melanjutkan hidup. Mulai sekarang tidak ada lagi Thea Hartono, yang ada hanyalah Lestari Santoso.

.

.

Tari bersiap-siap pergi kerja. Baru dua hari sejak Tari pulang dari rumah sakit. Ternyata Tari adalah sekretaris di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Sebaiknya Tari cepat-cepat kembali kerja kalau tidak mau dipecat. Menilik dari keadaan rumahnya, keluarga Tari bukanlah keluarga berada.

"Bu, nama perusahaan tempat aku kerja apa ya?" Tanya Tari. Kemarin malam Tari lupa bertanya pada ibunya.

"Pramana Group. Kamu yakin sudah kuat untuk bekerja kembali?" Tanya Marissa sambil mengambilkan nasi ke piring Tari.

Tari terkejut mendengar nama perusahaannya karena dirinya yang dulu mengenal keluarga Pramana dengan baik. Bahkan dia satu sekolah dan bersahabat baik dengan anak sulung keluarga itu.

"Ya, aku sudah kuat, Bu. Ibu tenang saja ya. Aku suntuk juga kalau di rumah saja jadi lebih baik aku pergi kerja." Tari jadi semakin semangat untuk ke kantor. Mungkin dia biaa bertemu dengan sahabatnya.

"Bu, aku tambah telur baladonya, ya," ujar Tari riang. Rasanya Tari lebih tenang karena sekiranya sudah tahu perusahaan macam apa yang akan dia hadapi.

.

.

Seorang pria keluar dari mobil hitam keluaran terbaru. Banyak pegawai yang berbisik-bisik ketika melihat pria itu terutama pegawai wanita. Wajah tampan dan pembawaan dingin pria itu membuat para wanita di sekelilingnya tersenyum lebar, mereka tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah tampannya.

Pria itu tidak peduli dengan reaksi pegawainya yang menurutnya berlebihan. Dia sudah terbiasa.

Mata pria itu tidak sengaja menangkap sesosok wanita mungil dengan rambut ekor kuda di dekat lift. "Bukankah itu Tari?" tanyanya dalam hati.

Pria itu menghampiri Tari. "Kau sudah sehat?"

"Faro?" Kata Tari kaget. Dari tadi Tari bingung mau ke ruangan siapa, dia lupa bertanya siapa bosnya dan sekarang dia merasa konyol karena tidak tahu apa-apa.

"Sepertinya kau masih sakit ya karena berani memanggilku dengan nama!" Hardik Faro tajam.

Tari membulatkan matanya. Dia baru ingat kalau dia sekarang adalah pegawai biasa bernama Tari, dia bukan Thea Hartono yang berteman baik dengan Faro.

"Maaf, Pak. Tadi saya melamun jadi tidak sengaja menyebut nama bapak. Maafkan saya, Pak."

"Ya sudah. Ayo cepat ke ruangan saya. Ada banyak hal yang harus kamu kerjakan," kata Faro sambil naik ke dalam lift. Tari buru-buru mengikuti Faro. Pegawai lain yang dari tadi menunggu lift bersamanya tidak berani masuk ke dalam lift yang sama dengan Faro sehingga mereka berdua saja di dalam lift.

"Apa Tari adalah sekretaris Faro?" Tanya Tari dalam hati. Sebuah kebetulan sekali karena Faro adalah sahabatnya sejak kecil. Rasa lega menjalar di tubuh Tari. Senang rasanya melihat wajah yang familier. Sejak dua minggu yang lalu Tari berusaha menyesuaikan diri dengan tubuh baru dan lingkungan baru tapi hal itu tidak mudah.

"Kudengar kau cedera cukup parah bahkan sempat dinyatakan meninggal?" Tanya Faro ketika mereka sudah berada di ruang kerjanya.

"Iya betul, Pak. Dokter bilang ini adalah keajaiban karena saya bisa hidup kembali. Saya mohon maaf Pak jika sudah menyebabkan pekerjaan jadi tertunda." Kata Tari. Tari tahu Faro sangat menghargai waktu dan tidak suka menunda pekerjaan.

"Namanya juga musibah. Sekarang kau sudah bisa bekerja kembali?"

"Iya bisa, Pak. Tapi saya perlu memberitahu sesuatu pada Bapak. Saya didiagnosa amnesia Pak. Ingatan saya hilang karena kecelakaan itu Pak." Kata Tari sambil menggigit bibirnya. Dia takut hilang ingatannya akan menjadi masalah dan menyebabkan dirinya dipecat.

Faro memandangi Tari dari ujung kepala sampai kaki. Memar-memar akibat kecelakaan di wajahnya sudah memudar dan hanya terlihat tipis-tipis. Faro menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Hilangnya ingatan Tari akan menghambat pekerjaannya dan biasanya Faro pasti akan memindahkan Tari ke divisi lain agar tidak mengganggu pekerjaannya.

Akan tetapi Faro merasa ingin berada di dekat Tari. Sejak melihatnya di depan lift sesuatu dalam diri Faro tergelitik dan entah kenapa dia merasa lega dan ingin memeluk wanita itu padahal hubungannya dengan Tari hanya sebatas hubungan profesional kerja. Dia tidak pernah merasa seperti ini pada Tari sebelumnya.

"Ya sudah, kau coba tanya pada Deon di depan ya tentang job desk-mu, pekerjaanmu yang belum selesai, dan apa saja yang kau lewatkan selama berada di rumah sakit." Putus Faro akhirnya.

"Saya harap kamu bisa segera kembali bekerja dengan maksimal ya. Saya tidak mau dengar alasan kecelakaan itu membuat kamu jadi malas-malasan."

"Baik, Pak." Kata Tari. Dia lalu pamit untuk bertemu dengan Deon.

.

.

Deon adalah sekretaris Faro. Deon dan Tari masuk kerja di waktu yang hampir bersamaan jadi mereka cukup akrab. Selama Tari sakit, Deonlah yang meng-take over pekerjaan Tari.

"Kau harusnya melihat boss kita dua minggu yang lalu," gosip Deon saat jam makan siang.

"Kau ingat sahabat wanitanya yang suka dia beri hadiah cokelat dan mawar? Yang namanya Thea. Tunggu, tentu saja kau tidak ingat," kata Deon saat menyadari Tari amnesia. "Yah pokoknya sahabatnya itu meninggal dan Pak Faro menggila. Dia tidak masuk kerja selama seminggu dan emosinya benar-benar tidak stabil saat kembali masuk. Aku sampai ngeri berada di ruangan yang sama dengannya." Deon merinding saat mengingat kegaduhan yang terjadi.

Setelah seminggu Thea berpulang, Faro kembali masuk kantor. Dia tidak bisa fokus bekerja dan sering meluapkan emosinya di ruang kerja, menyebabkan rusaknya perabot mahal karena dia banting.

Tari terharu mendengar cerita Deon. Ternyata masih ada orang yang menyayanginya dengan tulus. Pengkhianatan Bara dan Vivi membuatnya memiliki trust issue pada orang lain.

"Faro, aku masih di sini," lirih Tari dalam hati.