Chereads / Second Chance Revenge / Chapter 5 - Business Trip in Hell (Part 1)

Chapter 5 - Business Trip in Hell (Part 1)

Tari mengunci kopernya. Dia baru saja selesai menyusun semua pakaian, peralatan mandi, skincare, dokumen bisnis, beberapa snack, dan lain-lain ke dalam koper.

Tari sudah menyiapkan mentalnya untuk perjalanan bisnis selama seminggu dengan Faro dan Deon. Awalnya Tari cemas karena mengira akan pergi berdua saja dengan Faro tapi ternyata Deon juga akan ikut. Tari merasa lebih lega walau masih gugup karena ini adalah perjalanan bisnis pertamanya sebagai Tari.

"Bu, aku pamit dulu ya. Jangan lupa makan teratur selama aku pergi ya," pamit Tari pada ibunya. Tari sudah menganggap Marissa sebagai ibunya sendiri dan tulus menyayangi Marissa.

Sebenarnya Tari merasa berat meninggalkan ibunya sendirian karena Marissa sering kali lupa makan dan banyak pikiran. Suaminya alias ayah Tari jarang pulang karena sibuk berjudi dan mabuk-mabukan. Pernah suatu malam Tari terbangun karena ayahnya mengobrak-abrik rumah dalam keadaan mabuk untuk mencari uang yang disembunyikan oleh Marissa. Malam itu seperti mimpi buruk. Tari jadi tahu kalau ayahnya suka memukuli Marissa jika tidak diberi uang. Tari yang takut ibunya kenapa-kenapa langsung memberi uang yang saat itu dimilikinya. Setelah diberi uang baru ayahnya berhenti memukul dan memaki. Ibunya menangis sepanjang malam dan esoknya hanya melamun dengan tatapan kosong. Tari merasa matanya panas karena amarah setiap mengingat kejadian itu.

"Telepon aku jika terjadi sesuatu ya, Bu," pesan Tari lalu memeluk ibunya.

...

Tari sudah sampai di bandara. Dia berusaha mencari keberadaan Faro dan Deon tapi sepertinya mereka belum datang. Mungkin Deon telat bangun lagi sehingga telat mengantar Faro ke bandara.

"Tari!"

Tari menoleh dan melihat Faro berjalan ke arahnya. Faro terlihat tampan dengan setelan jas abu-abu dan dasi biru garis-garis. Tari tersenyum dalam hati, dia mengenali dasi itu. Dasi itu adalah hadiah ulang tahun dari Thea untuk Faro tahun lalu. Faro paling suka warna biru jadi Thea sengaja menghadiahkan dasi itu padanya. Pilihan hadiah Thea terbukti tepat melihat betapa gagahnya Faro dengan dasi itu.

"Pak," sapa Tari begitu jarak di antara mereka telah mengecil. "Deon dimana, Pak?" Tanya Tari sambil celingak-celinguk mencari teman seperjuangannya itu.

"Deon batal ikut. Dia terkena tipes dan harus dirawat di rumah sakit. Memangnya dia tidak bilang ke kamu?"

Tari rasanya ingin berteriak saat itu juga. Mana mungkin ini terjadi, masa dia sesial itu? Tari ingin sekali ke rumah sakit tempat Deon dirawat dan menyeret pemuda itu agar tetap ikut dalam perjalanan bisnis ini. Bagaimana mungkin Tari pergi berdua saja dengan Faro? Selama seminggu sebelum trip ini Tari diperlakukan semena-mena oleh Faro. Faro sering kali melampiaskan amarahnya ke Tari. Dari hal sepele seperti kopi yang tidak pas dengan seleranya sampai hal besar seperti saat Tari salah menyusun jadwal dan menyebabkan Faro harus meng-cancel beberapa pertemuan karena bentrok.

Tari akui kesalahan penyusunan jadwal itu memang fatal dan sepenuhnya salah Tari jadi Tari terima saat dimarahi habis-habisan oleh Faro. Tari tahu Faro perfeksionis dan mengharapkan kinerja sempurna dari bawahannya.

Faro tidak pernah memarahi dirinya yang dulu alias Thea jadi saat dia kena semprot sebagai Tari dia cukup terkejut karena kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Faro. Tari hanya bersyukur karena tidak dipecat karena kesalahan bodohnya sendiri. Tari saat itu masih menyesuaikan diri jadi sering berbuat salah tapi sekarang dia sudah lebih baik dalam pekerjaannya walau kadang dia masih butuh bantuan Deon untuk memastikan kerjaannya sudah sesuai dengan standar sempurna Faro.

Kalau soal kopi yang tidak sesuai dengan selera Faro baru tidak bisa Tari terima. Tari tahu betul kopi yang suka diminum Faro, kopi hitam dengan sesendok gula dan sedikit krimer. Saat masih menjadi Thea dia selalu membuat kopi untuk Faro dan Faro selalu memuji kopi buatannya.

"Kopi Theada Tandingan". Begitu julukan dari Faro untuk kopi buatan Thea. Thea sering cekikikan geli mendengar julukan payah itu.

Jadi saat Faro memarahinya karena kopinya tidak enak Tari hanya bisa menganga tidak percaya. Tari jengkel sekali saat itu dan hampir memutar bola matanya tapi untung masih ditahannya. Kalau tidak mungkin saat ini Tari sudah tidak bekerja di perusahaan Faro lagi.

"Ayo, Tari," kata Faro, menyadarkan Tari dari lamunannya. Tari menghembuskan nafas berat sebelum mengikuti pemuda itu. Dia merasa langkahnya semakin berat saat menuju ke pesawat.

"Semoga mood Faro baik-baik saja selama business trip ini," doa Tari dalam hati.

...

Perjalanan selama di pesawat terasa sangat lambat. Mungkin karena Tari duduk bersebelahan dengan bosnya itu jadi rasanya menarik nafas saja susah.

Selama perjalanan mereka tidak banyak berbicara kecuali saat Tari menjelaskan tentang schedule mereka hari ini dan beberapa hari ke depan. Faro mendengar penjelasan Tari sambil mengernyitkan dahi, membuat Tari was-was tapi ternyata Faro tidak banyak berkomentar apa-apa. Sepertinya dia puas dengan hasil kerja Tari.

"Aku harus mentraktir Deon ketika pulang nanti. Untung dia membantuku menyusun jadwal selama trip ini," pikir Tari. Tari senyum-senyum puas tanpa sadar.

Faro diam-diam memperhatikan sekretarisnya itu. Menurut Faro, Tari menjadi semakin aneh sejak kecelakaan. Kepribadiannya berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu sebelum kecelakaan Tari suka berusaha mendekati dan menggodanya. Tentu saja Faro merasa tidak nyaman dengan sikap sekretarisnya itu tapi dia tidak mau ambil pusing karena toh hati Faro sudah menjadi milik Thea dan dia tidak memperdulikan wanita lain selain Thea.

Anehnya sejak kecelakaan itu Tari jadi jauh-jauh darinya. Malah cenderung menghindarinya dan tak mau berurusan dengan Faro. Mungkin karena Tari tidak ingat bagaimana dirinya dulu sebelum lupa ingatan. Atau mungkin karena Faro sering memarahinya sehingga Tari menjadi takut.

Awalnya Faro merasa biasa saja bahkan merasa lebih tenang karena bisa bekerja tanpa gangguan. Tapi lama kelamaan Faro merasa ingin selalu dekat dengan Tari. Semakin sering dia bertemu Tari semakin besar pula keinginannya untuk membuat gadis itu menatapnya tanpa takut. Faro bingung sendiri dengan perasaannya dan merasa bersalah. Dia masih berduka karena kematian Thea tapi hatinya sekarang melirik wanita lain.

Faro memandangi Tari yang tertidur selama sisa perjalanan di pesawat. Ditelusurinya kening Tari, lalu matanya, bulu matanya yang panjang, pipinya yang merona segar, lalu hidung mancungnya, dan bibirnya yang terlihat lembut. Faro bertanya-tanya bagaimana rasanya bibir Tari jika beradu dengan bibirnya.

"Aku pasti sudah gila," pikir Faro. Faro mengalihkan pandangan dan menyingkirkan pemikiran absurd itu.

Faro membangunkan Tari saat pesawat mendarat, membuat wanita itu terkejut karena tidak sadar sudah tidak sengaja tertidur.

Tari berdoa semoga perjalanan bisnis ini bisa berjalan lancar.