Bi Ningsih berlalu dari hadapanku dan mas Yasa. Karena tugasnya untuk mengurus Gavriel belum selesai. Dan lagi, aku tidak ingin jika Gavriel mendengar perdebatan antara aku dan papanya. Sejak kecil, aku memang tak pernah membiarkan Gavriel hidup dengan suatu amarah jika aku dan mas Yasa sedang cekcok. Meskipun hanya masalah sepele.
Mas Yasa menghela nafas panjang, karena baru tau kalau Jonathan ternyata tidak pulang bersama kami, atau bisa dikatakan dia hilang saat ini. Mas Yasa terus saja menyalahkan aku, padahal ini semua juga salahnya. Aku tak berniat untuk mengajak Jo, tetap saja mas Yasa ngotot untuk membawa anak itu. Seandainya dia tak ikut, pasti tak akan hilang seperti ini.
"Sekar, kamu hanya perlu ikut dan menunggu Jo dari luar toilet. Untuk memastikan dia tetap aman, dan tidak hilang dari pengawasanmu. Apakah begitu saja tidak bisa kamu lakukan? Jo bukanlah anak yang suka merepotkan orang lain, jadi tak perlu takut jika dia merepotknmu, karena hal itu tak akan pernah dia lakukan. Hanya menjaganya sebentar saja, Sekar. Apakah kamu tidak bisa?"
"Sudahlah, Mas. Jangan terus-terusan menyalahkan aku, sejak aku hamil Gavriel. Sudah ku katakan padamu, untuk menitipkan Jonathan di Panti Asuhan. Karena kita bukan orang tua biologisnya. Tapi, kamu tetap saja ngotot untuk terus mengurus anak itu. Sekarang dia hilang, itu bukan salahku juga. Toh, kamu yang mau dia tetap dirumah ini."
Prang...
Mas Yasa membuang vas bunga yang ada diatas meja. Aku sedikit terkejut saat vas itu hampir saja mengenai kakiku. Mas Yasa memang tempramen saat sedang marah, ia akan menjatuhkan atau membanting sesuatu yang ada didekatnya saat dia emosi.
"Ingat, Sekar. Kita memiliki Gavriel, karena kehadiran Jonathan ditengah-tengah kita. Tak bisakah kamu, sedikit saja menyayangi dia, seperti kamu menyayangi Gavriel. Dimana hati nurani kamu sebagai seorang Ibu, Sekar."
Bagaimana bisa aku menyayangi Jonathan seperti aku menyayangi Gavriel. Jelas-jelas Jo bukan darah dagingku, tak bisa dibandingkan dengan Gavriel yang memang anak biologisku dan mas Yasa.
"Sampai kapan pun dia bukan darah daging kita, Mas. Dia bukan anak yang lahir dari rahimku. Bahkan sampai detik ini, kita tidak tau dia anak siapa. Sudah 8 tahun kita mengurus dan merawat Jo, tetap saja tak ada orang tua yang mencarinya kesini. Orang tuanya saja tak menyayangi dia, apalagi aku, yang tak memiliki hubungan darah apapun dengannya."
"Maka dari itu, karena dia tak memiliki orang tua. Kamu harus bisa memberikan sedikit kepedulianmu untuk dia, bukan malah selalu mengucilkan dia seperti ini, hanya karena dia bukan darah dagingmu."
Aku memilih diam, dan tak menanggapi ucapan mas Yasa. Sampai kapapun tak akan menang jika berdebat dengannya, begitulah aku. Harus memilih diam dari pada terus saja disalahkan, toh nantinya mas Yasa akan baik sendiri saat emosinya sudah mereda.
Urusan Jo, biar saja. Mungkin memang nasibnya yang seperti ini, dibuang oleh orang tuanya. Dan ternyata, hilang saat bersama dengan keluarga kecilku. Mas Yasa mondar-mandir didepanku, sangat jelas bahwa saat ini dia sangat khawatir dengan Jo. Kadang aku merasa aneh dengan dia, bukan anak kandung sendiri. Tapi bisa menyayangi Jo seperti rasa sayangnya pada Gavriel. Bagiku yang terpenting adalah Gavriel, aku tak peduli jika memang Jo hilang. Dengan begitu, tak ada lagi orang asing dikeluarga besarku.
"Aku tak mau tau, pokoknya malam ini, kamu harus mencari Jonathan sampai ketemu. Jika tidak, kartu kreditmu akan aku sita."
"Hah? Kenapa harus begitu, dan kenapa harus aku yang mencarinya. Suruh saja si Joko yang mencari Jonathan di Mall itu, ini sudah malam, Mas. Apa kamu tega membiarkan aku mencari Jo sendirian di Mall sebesar itu?"
"Yang tau Jo hilang dimana, itu kamu, Sekar. Joko tak akan tau dia hilang dimana. Karena dia tidak ikut ke tempat itu tadi. Jangan membantah, aku akan menemanimu mencari Jonathan. Ini semua tanggung jawabmu, karena lengah dalam menjaga Jo."
Tanpa aba-aba apapaun, mas Yasa langsung menarik lenganku menuju mobil. Aku merengut kesal, gara-gara Jonathan aku harus mendapatkan amarah dari mas Yasa. Awas saja nanti kalau ketemu, akan ku jewer telinganya sampai merah. Biar tau rasa, ke toilet bukannya cepet malah lama banget. Jadi hilang, kan.
***
Malam begini, mana ada Mall buka. Aku yakin saat ini, semua toko sudah tutup disana. Dan Mall pastinya juga ditutup. Tapi, mau bagaiamana lagi, mas Yasa sudah sangat marah, hingga mengancam untuk menyita kartu kreditku. Lebih baik ku iyakan saja kemauannya untuk mencari Jo.
Sampai di Mall tadi, keadaan sudah gelap gulita alias Mall ditutup. Mas Yasa turun dari mobil, rasanya malas sekali. Malam-malam begini celingak-celinguk untuk mencari seorang bocah yang keberadaannya saja aku tak tau dimana. Tak mungkin dia masih didalam, karena sudah pasti Satpam akan mengantisipasi semua pengunjung untuk keluar sebelum Mall ditutup, namun aku tak tau juga. Karena bisa saja Jonathan masih di dalam toilet, sebab terkunci dari dalam.
"Ayo cepat jalannya, Sekar. Kasian Jo, jika menunggu terlalu lama. Apalagi keadaannya sudah gelap begini," entah apa yang dipikirkan mas Yasa, kenapa dia yakin sekali kalau Jo masih ada didalam sana.
"Belum tentu Jo masih didalam sana, Mas. Aku yakin Satpam sudah mengantisipasi semua pengunjung untuk kekuar dari dalam Mall, sebelum Mall ditutup. Kecuali Jo terkunci didalam toilet." Mas Yasa tampak berfikir mendengar penuturanku, lagi-lagi dia berjalan maju menuju pintu masuk Mall.
Dia mencoba membuka pintu Mall dengan ditarik sekuat tenaga. Tapi nihil, tak berhasil sama sekali. Aku hanya melihatnya sambil memegang senter. Mas Yasa tetap berusaha membuka pintu, tapi tak kunjung bisa. Hingga beberapa menit kemudian ada seorang pria paruh baya dengan badan tegap, memakai kaos berwarna coklat muda menghampiri kami. Cahaya senternya mengenai wajahku, hingga aku merasa silau dibuatnya.
"Maaf, Bapak dan Ibu sedang apa ya?"
"Ini, Pak. Ada sesuatu yang tertinggal didalam. Apa Bapak tau, siapa yang memegang kunci Mall ini." Mas Yasa menjelaskan kedatangannya ketempat ini, aku mengekor dari belakang sambil memegang lengannya.
"Yang megang kunci Mall ini teman saya, Pak. Sekarang dia ada di pos satpam. Karena saya yang dapat tugas jaga malam ini, jadi dia ada disana sekarang. Kalau Bapak mau, bisa langsung kesana saja, Pak."
"Baik, Pak. Terimakasih infonya."
"Iya, Pak. Sama-sama."
Mas Yasa pergi meninggalkan satpam yang berjaga malam itu. Begitu pula denganku, yang mengikutinya dari belakang. Sesampainya disana, ku lihat seorang pria sebaya dengan satpam tadi. Sedang menikmati kopi dan rokok yang ia pegang, mas Yasa mempercepat langkahnya. Untuk segera mendapatkan kunci Mall ini, dia benar-benar bertekad mencari Jonathan meski sudah malam begini.