Berhari-hari aku mengikuti ujian kenaikan kelas, hingga tiba saatnya libur sekolah tiba. Aku senang, karena bisa melewati ujian dengan baik. Hari ini, adalah hari pertama libur sekolah. Di rumah sudah ada Tante Ningrum dan Viola, Mama mengajak Tante Ningrum untuk membuat cake bersama. Sedangkan Vio, sudsh bergabung denganku dan Gavriel di taman belakang dekat kolam renang.
Mama berpesan agar menjaga mereka berdua. Sedari tadi aku sibuk bermain bola dengan Gavriel, sedangkan Vio hanya melihat saja. Kasian dia, tampak ingin bergabung namun tak tau cara memainkannya. Maklumlah, bermain bola adalah mainan untuk laki-laki. Karena tak tega, aku berhenti memainkan bola. Tapi, tidak dengan Gavriel yang tetap asik meski bermain sendirian tanpa ku temani lagi.
"Kita main petak umpet saja yuk, Dek! Mas Jo capek main bola terus." Ajakku pada Gavriel, agar Viola juga bisa ikut bermain denganku dan Gavriel.
Gavriel menoleh padaku dan menghampiriku. Sepertinya dia tertarik untuk main petak umpet. Dan lagi, bola yang sejak tadi dimainkan dibiarkan saja menggelinding ke sembarang arah, tanpa diambil kembali seperti tadi.
"Ayok, Mas. Tapi yang jaga Mas Jo ya!" Ku iyakan kemaunnya agar dia senang.
"Iya, Mas Jo yang jaga. Tapi kita ajak Vio juga ya! Kamu sama Vio ngumpet, nanti mas Jo yang cari."
Gavriel tampak berfikir dan menoleh pada Vio. Dia mengangguk dan menghampiri Vio yang duduk di teras taman. Mengajaknya untuk mendekat padaku.
"Vio, nanti kamu ngumpet sama aku ya! Terus, mas Jo nyari kita, kalau kamu ketahuan duluan. Berarti, kamu yang jaga selanjutnya," Gavriel menjelaskan alur perminan yang akan dimainkan. Vio mengangguk saja.
Aku mulai berhitung dari satu sampai sepuluh. Sedangkan Gavriel dan Viola mulai berlari dan mencari tempat untuk mereka bersembunyi, terdengar suara gelak tawa kecil mereka saat saling mencari persembunyian. Akhirnya setelah hitungan kesepulah ku lihat sudah tak ada lagi Gavriel dan Viola berkeliaran.
Aku mulai mencari kesana-kemari, hingga ku temui Gavriel yang duduk jongkok dibawah meja. Ku kagetkan dia dengan sengaja. Dia sempat menjerit dan kemudian tertawa saat melihatku. Aku membawanya keluar dari persembunyiannya, kini hanya tersisa Viola saja. Aku mencarinya ke dalam semak-semak, dan aku pun menemukannya.
Gavriel dan Viola berhasil ku temukan, saat ini kami bertiga berkumpul dipinggir kolam renang. Sekarang giliran Gavriel yang menjaga, aku dan Viola yang bersembunyi. Namun sebekum itu, aku tinggalkan dulu mereka untuk mengambil minum. Karena aku sangat haus. Baru beberapa langkah, tiba-tiba aku mendengar percekcokan antara Viola dan Gavriel. Ku hampiri mereka, karena takut terjadi pertengkaran.
"Kamu saja yang jaga, Vio. Lagi pula kamu perempuan, jadi tak perlu berlari untuk mencari tempat bersembunyi."
"Gak mau, yang ditemukan duluan kan kamu, Gavriel. Jadi, kamu yang harus jaga."
"Gak bisa, aku mau bersembunyi saja. Aku lebih suka bersembunyi dari pada harus menjaga."
Gavriel tetap saja ngotot dengan keinginannya. Padahal aturannya sudah jelas tadi sebelum bermain, yang ditemukan paling awal, berarti dia yang jaga. Ini sungguh tak adil bagi Vio, walau bagaimanapun yang memiliki tanggung jawab menjaga adalah Gavriel bukan Viola.
"Adek, gak boleh begitu. Kan Gavriel yang ditemukan sama mas Jo duluan, bukan Vio. Jadi yang harus jaga Gavriel." Aku memberi pengertian pada Gavriel, agar tak seenaknya mengambil keputusan. Jelas lawan mainnya akan menjadi bosan dan jenuh jika dia bersikap seperti ini.
"Gak mau, yang jaga harus Vio. Gavriel gak mau jaga," ucapnya dengan nada marah dan kaki yang dihentakkan ketanah. Menandakan dia kesal dengan ucapanku, dan tetap ngotot dengan keinginannya.
"Kamu curang, Gavriel. Gak boleh begitu. Ibu guru di sekolah bilang, kalau sebagai anak yang baik tak boleh berbuat curang."
"Terserah, aku maunya tetep kamu yang jaga. Ayo mas Jo, kita sembunyi."
Tanpa menunggu persetujuan dari Viola, Gavriel langsung menarikku dan berlari, hingga ia tak sengaja menyenggol bahu Viola dengan sedikit keras. Viola yang pada saat itu berada tepat dipinggi kolam, jadi tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Lalu terjatuh ke kolam. Reflek aku menoleh dan melepas tangan Gavriel, karena kolam ini tentunya bukan ukuran untuk anak kecil seperti kami. Aku saja jika berenang harus pakai balon, apalagi Viola. Dia bisa tenggelam jika tak segera diselamatkan.
"Gavriel, kamu keterlaluan." Ucapku pada Gavriel yang hanya terpaku melihat Viola yang hampir tenggelam.
"A_ku gak sengaja, mas Jo."
"Cepat panggil Mama, mas Jo akan membantu Viola naik ke atas."
"Tolong... tolong..." Tampak kepala Vio saja yang terlihat dari atas pemukaan, aku harus bisa meraih tangannya, agar bisa menolongnya naik.
"Pegang tangan mas Jo, Vio." Ku ulurkan tangaku pada Viola. Dia mulai berusaha meraih tanganku, tapi tak kunjung sampai. Semakin ku dekatkan tanganku pada Viola, hingga aku harus berjongkok dan mendekat kepinggir kolam.
Saat Viola mulai bisa meraih tangaku, aku mulai menariknya. Tapi sayangnya aku hanya anak kecil yang tak memiliki tenaga besar untuk Viola, walaupun sudah bersusah payah menolong, tetap saja aku juga terjebur ke kolam. Ku pegangi tubuh Vio agar tidak tenggelam, meski sebenarnya aku pun tak bisa berenang, yang penting Vio masih bisa bernafas.
Beberapa detik kemudian, setelah aku jatuh terdengar suara langkah kaki yang berlari. Mungkin itu Mama dan Tante Ningrum, yang sudah khawatir dengan keadaan Viola. Aku tetap berusaha memegang tubuh Vio, meski aku juga sudah mulai kesusahan bernafas.
"Astaghfirullahaladzim, Vio."
Tante Ningrum segera melompat, bila tau anaknya tenggelam dan hampir tak bisa bernafas. Lain halnya dengan Mama, yang masih saja memeluk Gavriel, kala dia menangis. Padahal aku pun sudah mulai kehabisan nafas untuk terus memegangi tubuh Viola.
Tanten Ningrum mengangkat tubuh Viola ke atas permukaan kolam, Membaringkannya seraya menekan dada Viola pelan. Setelah beberapa detik, akhirnya Viola terbatuk dan sadar. Aku masih berusaha untuk naik, dengan berpegangan pada pinggir kolam. Kemudian merebahkan diri dipinggir kolam.
"Kamu gimana sih, Jo. Bukannya jagain Viola, malah ngebiarin dia tenggelam sampek begitu. Ceroboh banget kamu," aku menoleh kearah Mama, meski keadaanku belum pulih benar. Tetap saja dia menyalakan aku, padahal Viola tenggelam bukan karena aku. Tapi gara-gara Gavriel yang tak sengaja menyenggol bahunya. Lalu, mengapa Gavriel menangis. Harusnya dia minta maaf pada Tante Ningrum dan Viola.
Jujur aku kesal padanya saat ini, gara-gara dia aku dan Viola hampir saja tenggelam. Dan meskipun aku sudah mencoba menolong Viola, tetap saja aku yang disalahkan dan dimarahi oleh Mama. Aku harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, jika tidak Tante Ningrum akan salah paham. Aku bangkit dan mencoba duduk, meski rasanya masih sangat sulit untuk duduk sekalipun.
"Tadi Gavriel tak sengaja menyenggol bahu Viola, Ma. Saat dia berlari dipinggir jalan. Viola terjatuh ke kolam, dan aku mencoba membantunya. Tapi aku gak kuat narik Vio, jadi aku juga ikut tenggelam juga."
Mama yang mendengar penjelasanku nampak tak percaya, hingga ia tetap berusaha menyalahkan aku karena insiden terjatuhnya Viola.
"Tetap saja kamu yang salah, Jo. Karena tidak bisa menjaga Gavriel agar tidak lari-larian dipinggir kolam, hingga menyenggol bahu Viola. Dan lagi, bagaimana jika Gavriel juga ikut terjatuh tadi. Bisa-bisa mereka tenggelam berdua."
Aku tak bisa membantah ucapan Mama lagi, meski sudah ku jelasakan berulang kali. Mama tetap tidak akan membelaku dan peduli pada keselamatanky, karena yang ia fikirkan hanyalah Gavriel seorang. Tak pernah ada Jonathan dalam pikiran, maupun hatinya.
Ku lihat Tante Ningrum memeluk Viola erat, seperti sangat takut kehilangan Viola. Aku merasa bersalah, karena tak bisa menjaganya dengan baik, hingga dia hampir tenggelam. Jika tidak segera ditolong, pasti kami berdua sudah mati kehabisan nafas.