Chereads / Namaku Kamilia, Tuan / Chapter 6 - KARMA HARSO

Chapter 6 - KARMA HARSO

Dari malam ke malam Kamilia semakin pintar bersolek. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keberaniannya melepas pakaian kepada pelanggannya.

Tante Melly semakin terkenal di kalangan para penikmat cinta sesaat setelah kedatangan Kamilia. Tentu saja dari bulan ke bulan pundi-pundi Kamilia pun semakin menggembung. Kamilia bukan lagi gadis kampung yang kusam, uang telah mengubahnya menjadi secantik model.

"Mila, jangan lupa kirim adikmu uang!" perintah Tante Melly. Di suatu malam saat ada seorang cukong berduit tebal membooking Kamilia. Pria itu royal dan sepertinya suka dengan suguhan yang Kamilia persembahkan.

"Tentu, Tante ... tentu," jawab Kamilia.

Kamilia tidak pernah lupa mengirim uang buat ibunya di kampung, melalui rekening tetangganya dia sukses membuat ibunya kini dihargai orang. Sejak Kamilia bekerja, ibunya tidak payah lagi kalau buat sekadar belanja makan.

Tante Melly memang begitu perhatian kepada anak buahnya. Mereka harus berdandan elegan seperti artis. Tentu saja dengan tujuan rupiah mengalir deras. Dia juga siap pasang badan kalau anak buahnya dilecehkan, ada kisah anak buahnya sampai lecet disodok penis karet.

Sudah seminggu ini, Kamilia didatangi sosok lelaki berkantong tebal. Ia selalu datang untuk Kamilia saja, tidak mau dilayani oleh orang lain. Kamila merasa tersanjung, imbalannya gadis itu memberi pelayanan terbaiknya.

Sudah menjadi satu kebanggaan dalam kesuksesan laki-laki harus ada perempuan di sampingnya. Begitu pula yang terjadi kini pada Kamilia. Cukong berduit tebal itu ingin menjadikannya gundik. Ia ingin menjadikan Kamilia hanya miliknya saja.

"Enak dong naik level!" ejek Calista. Gadis itu mencebik, saat Tante Melly memberitahu keinginan laki-laki itu, di depan semuanya.

Entah mengapa gadis itu memendam benci kepada Kamilia. Namun, Kamilia tidak peduli, tak ada waktu untuk memikirkan orang.

"Bagaimana, Mila?" tanya Tante Melly. "Tuan Hendra sudah memilihmu, kau beruntung."

Kamilia tersenyum, mengangguk tanda setuju. Hatinya sedikit lebih tenang, tidak usah berpayah-payah tersenyum sepanjang malam kini. Uang datang sendiri tanpa dicari.

Mulai malam ini, Kamilia menjadi lambang supremasi Tuan Hendra. Lelaki itu bangga bisa menjadi pemilik primadona rumah bordil Tante Melly. Dia melangkah gagah sambil menggandeng wanita cantik itu.

"Ingat pesanku," bisik Tante Melly.

"Pasti, Tante ... pasti," jawab Kamilia.

*****

Sebuah rumah mungil khusus disediakan untuk Kamilia. Tuan Hendra tidak pernah melibatkan Kamilia dalam urusan bisnisnya. Perempuan itu juga menjaga dirinya untuk tidak mencampuri urusan Tuan Hendra. Kamilia hanya berpikir bagaimana menyenangkan Tuan Hendra di ranjang.

"Mila, cintakah engkau padaku?" Pernah suatu malam, sehabis pertarungan di tempat tidur, Tuan Hendra bertanya kepadanya. Kamilia hanya menunduk, tersenyum manis. Wajah menggemaskan yang menguras uang Tuan Hendra.

Cinta, Kamilia yakin Tuan Hendra tidak senaif itu. Mencintai pelacur, sementara ada istri sah yang lebih baik di istananya.

"Cinta?" ulang Tuan Hendra.

Kamilia tetap tersenyum tidak berani menjawab. Itu pun cukup membuat Tuan Hendra untuk tidak mendaratkan satu ciuman yang memabukkan. Lelaki itu begitu bangga bisa memiliki pelacur terhebat saat ini. Wanita itu juga nyaman bergelung dalam pelukan Tuan Hendra.

Kembali mereka menumpahkan rasa. Bergelut dalam sejuta makna, tidak usah ada cinta untuk berlaku seperti itu. Kamilia hanya butuh uang dan nafsu Tuan Hendra yang beringas terpuaskan.

"Kau kalah, Tuan, hihihihi," kata Kamilia

sambil terkikik.

"Mana ada aku kalah, aku tak pernah kalah," kata Tuan Hendra.

"Dan aku ... tak akan pernah menang selain ... hihihi." Kamilia tertawa kecil.

" ... selain di tempat tidur ... aku tahu jawabannya," potong Tuan Hendra.

Menjadi yang terbaik sudah menjadi kewajiban Kamilia, kalau tidak mau posisinya tergeser. Dia tidak boleh kelihatan tertekan atau mengeluh. Semua rasa sakit di hatinya lenyap tertimbun tumpukan uang.

Sejak Kamilia menjadi penjaja cinta, tidak pernah sekalipun dia pulang. Baginya semua sudah mati kecuali ibu dan adiknya. Dia tidak ingin mempertontonkan rasa malunya kepada orang-orang di kampungnya. Telah terdengar selentingan kabar, kalau Harso bermulut ember. Rupanya uang hasil menjual dirinya tidak tersisa, kemudian berkoar-koar ke sana-sini.

Teringat kembali dengan dendamnya, Kamilia merencanakan sesuatu untuk Harso.

*****

Bau asap rokok dan minuman memenuhi ruangan kecil. Ruangan yang terasa penuh sesak hingar bingar dengan musik dangdut. Lampu kerlap-kerlip berputar-putar di atas kepala.

Harso tertawa terbahak-bahak begitu Pak Ibrahim mengocok kembali kartu domino. Lelaki setengah tua itu mengejek orang yang dulu pernah dihajarnya. Bapak Kamilia itu memang semakin menggilai judi.

"Manis, lihatlah si Tua itu! Dia sepertinya tidak mampu lagi menandingiku," kata Harso kepada gadis di pelukannya.

Gadis itu hanya tersenyum sambil mengangguk. Mukanya putih karena bedak serta bibir bergincu tebal. Seorang gadis muda yang menghambakan hidupnya kepada para lelaki hidung belang.

"Akulah lawanmu, Harso!" Tiba-tiba seseorang datang di tengah kepulan asap. Ia datang dan langsung duduk di hadapan Harso.

"Hahaha hahaha hahaha, siapa kau? Berani sekali menantangku?" tanya Harso.

"Aku Andre, apa taruhanmu?"

"Seluruh hasil judiku malam ini." Harso yakin sekali akan menang, dia mempertaruhkan uang judinya. Dia mengangsurkan setumpuk uang keberuntungannya.

Andre juga sama, dia mengeluarkan uang gepokan yang masih bau bank. Malam ini dia harus menang, kalau tidak ....

Beberapa kali mereka kalah dan menang bergantian. Sampai satu deringan telepon mengganggu Andre.

"Sudah kau laksanakan!?"

"Siap, Bu, laksanakan!"

"Sekarang!"

"Iya, Bu, siap!"

Kini, Andre bersungguh-sungguh melawan Harso. Dia harus segera menyelesaikan tugas. Kemampuannya di meja judi sudah mengirimkannya ke sini. Seseorang sudah membayarnya mahal.

Andre dengan cepat bisa membaca kartu apa saja yang dipunyai lawan. Domino sudah sangat hafal cara memainkannya. Setelah menutup kartu lawan kerkali-kali. Berbagai balak besar-besar diperlihatkan Harso di meja.

Rupanya uang Harso tidak mencukupi untuk membayar kekalahannya. Tentu saja Andre marah. Keributan tidak bisa dihindarkan lagi.

Andre mencengkram kerah baju Harso. Harso tidak melawan karena merasa salah. Andre melepaskan satu tonjokan ke muka Harso, darah muncrat dari hidungnya.

"Ampun, Bang!" teriak Harso.

"Berani-beraninya kau menipu seorang Andre!" seru Andre.

Kembali bogem mentah dilayangkan, kali ini tendangan juga mengarah ke dadanya. Harso ambruk, Andre masih menginjak tangannya dengan keras. "Krek" terdengar bunyi seperti tulang patah. Andre berhenti setelah Harso pingsan tak berdaya. Andre mengambil beberapa foto.

Perempuan itu tersenyum puas melihat-lihat foto yang dikirim oleh Andre. Tidak sia-sia dia membayar mahal penjudi tersebut. Tangan kotor Harso telah menerima karmanya.

Wanita itu kembali terkenang masa lalu. Dua tahun sudah, uang sudah menjadi candu buat dirinya. Uang membuatnya terjerembab ke lumpur hitam ini. Uang pula yang membuat ibunya tersenyum. Begitu pula tangan Harso patah karena uang.

Tuan Hendra tidak pernah membiarkannya kekurangan uang. Asal senyum terbaik saat melepaskan kancing-kancing bajunya disuguhkan Kamilia dengan sempurna.

Tiba-tiba ada rasa lain berdesir di hati Kamilia. Membuat nyaman dan gelisah. Persis rasanya seperti saat melihat Saiful dulu setiap hari. Pemuda itu kini hadir di benaknya.