Kamilia tersenyum getir, kenangan demi kenangan menyelinap satu persatu ke dalam benaknya. Memasung rindu yang enggan beranjak.
Setelah cukup beristirahat, Kamilia keluar kamar menjelang sore. Ternyata penghuni rumah ini bukan cuma Tante Melly beserta dirinya. Ada banyak wanita muda di sini. Kamilia hanya memandang tanpa berani bertanya.
"Eh, sini!" Seorang wanita muda melambaikan tangannya ke arah dirinya.
"Aku?" tanya Kamilia sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ya."
Kamilia berjalan pelan menuju ke arah wanita itu. Beberapa kali melewati wanita-wanita lain yang sedang berdandan. Mereka bersiap-siap berangkat bekerja. Pandangan mereka seolah-olah berkata,"Berlarilah secepat kau bisa!"
"Kamu gak dandan, Mila? Kenalin aku Calista." Wanita cantik itu memperkenalkan diri. Entah dari mana pula dia tahu nama Kamilia.
"Aku dandan untuk apa?" tanya Kamilia heran.
"Loh?" Calista menautkan kedua alisnya tanda heran.
"Ayo cepat dandannya anak-anak! Jangan biarkan tamu menunggu terlalu lama!" Seruan Tante Melly menghentikan pembicaraan antara Kamilia dan Calista.
"Besok Kamilia mulai bekerja, ya!" perintah Tante Melly.
"Oh, semudah itukah aku diterima bekerja?" pikir Kamilia, hatinya senang bukan kepalang. Wajahnya berseri, benaknya dipenuhi eunoia. Berkilau laksana lazuardi.
Kamilia mengangguk tanpa mengerti apa pekerjaannya. Saat diberi tahu tentang pekerjaan itu, Kamilia terhenyak kaget. Hilang sudah kirana di hatinya, berganti elegi senja hari. Perkataan bapaknya menjadi kenyataan. Betapa benci dia kepada lelaki itu. Perkataannya menjadi sebuah doa yang terkabul.
Ingin berlari dari semua ini. Ingin menjerit, suaranya seperti terjebak di kerongkongan. Kamilia teringat ucapan Saiful, "Hasil akhir segala urusan di dunia sudah ditetapkan oleh Allah."
"Lalu, apakah ini ketetapan itu?" Kamilia tersenyum sinis dengan segala pikirannya.
Kamilia menertawakan nasibnya yang kembali sial. Kesakitan serta rasa malu yang dia simpan rapat-rapat kini seumpama gunung meletus. Menyembur keluar bersama lava kehormatan yang tercabik-cabik.
Menjadi kupu-kupu bukanlah tujuan pengembaraannya kali ini. Namun kata-kata bapaknya berhasil membawanya menyusuri lorong hitam ini. Seharusnya yang terucap dari mulut lelaki itu hanyalah doa-doa berisikan kebaikan.
"Biadab!" Kembali Kamilia memaki. Kata itu kini mulai akrab di mulutnya.
Rasanya ingin sekali Kamilia menampar mulut bapaknya. Namun, dia hanyalah wanita lemah. Air mata adalah tumpahan laranya. Meluap, meluahkan aliran mata air dendam.
Kamilia ingin menyalahkan takdir yang hanya bisa menawarkan racun untuknya. Kemarin Kamilia menyangka Tuhan sudah menolongnya tepat waktu. Namun, hatinya kini diliputi prasangka-prasangka buruk yang membuatnya semakin terpuruk.
***
Ibarat kerbau dicucuk hidung, menurut saja saat dituntun ke kubangan. Begitu juga dengan Kamilia. Seorang teman mengajarkan cara berdandan serta bagaimana caranya memuaskan para penikmat cinta satu malam. Ilmu jaran goyang harus dikuasainya dalam sekejap.
Tepat saat pergantian siang ke malam, Kamilia selesai berdandan. Gaun malam dari Tante Melly membungkus tubuhnya, melekat pas membentuk lekuk-lekuk. Walaupun baju itu merupakan utangan yang harus dibayar.
Kamilia belajar bagaimana caranya memakai high heels, sebelum bertemu para lelaki tengil. Belajar bagaimana caranya bibir tersenyum walau hati menangis. Dia harus terlihat manis sebelum dipaksa meringis.
Bayangan Kamilia tentang seorang penolong yang datang tiba-tiba, menyelamatkan dirinya dari kenistaan. Rupanya itu hanyalah adegan dalam sebuah episode di buku novel. Bukan untuk alur kisahnya.
Ketegangan terjadi saat Kamilia duduk, perempuan itu batuk-batuk saat asap rokok masuk tenggorokannya. Dimainkannya lintingan tembakau itu dengan jarinya, sambil memamerkan senyum. Ilmu yang baru saja dipelajari dari seniornya. Walau sesungguhnya dia benci perokok sebelumnya.
"Ada daun muda!"
"Masih segar sekali!"
"Tidak seperti kamu, Siska, dia masih ranum!"
Berbagai omongan membuat Kamilia jengah. Memerah karena malu, saat itu pula Kamilia menerima order pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sebagai pelacur. Wanita ber kecantikan nirmala ini menunduk malu, saat mereka --para lelaki menanyakan nama.
"Namaku, Kamilia ... Kamilia Ibrahim, Tuan." Kamilia menjawab sambil menundukkan kepala. Matanya perih menahan tangis, tidak akan dia tumpahkan air mata di hadapan siapa pun.
Terlihat kerut tergambar di kening lelaki itu. Kamilia paham isi hati pelanggannya.
"Dia, Ayahku," ujar Kamilia lirih. Ya, mulai saat ini, dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Orang yang paling 'berjasa' sehingga dia bisa berada di sini. Orang pertama yang harus dia seret saat Tuhan mengadilinya kelak.
Kamilia akan mendudukan orang yang bergelar bapak itu, paling depan dalam urusannya nanti dengan Sang Pencipta. Dia akan menunjuk muka bapaknya sebagai yang punya andil terbesar dalam kenistaannya kini.
"Untung kau menjadi seorang pelacur. Bila kau menjadi seorang istri dari seorang suami, tentulah aku hanya bisa memandangmu," ujar pelanggannya sambil tertawa senang.
Kamilia ingin menonjok bibir itu, tetapi Kamilia masih bisa menahan diri. Hanya pandangan matanya menyiratkan perasaan niskala yang tidak bisa dijabarkan.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau laki-laki berduit, pendamping sesaatnya haruslah cantik. Kamilia memenuhi kriteria para penimba kenikmatan tersebut. Jadilah malam itu dia menjadi pelampiasan manusia bernafsu singa, manusia bernafsu gorilla dan para manusia seberingas macan.
Remuk badan rasanya karena harus mempraktekkan jurus-jurus yang tadi dipelajarinya. Hancur hatinya saat membiarkan pelanggannya menyentuh seluruh bagian tubuhnya, tanpa kecuali. Mengabulkan hasrat para lelaki itu dengan imbalan beberapa lembar merah rupiah.
Tante Melly tersenyum puas penuh kemenangan. Tidak salah prediksinya tentang Kamilia kemarin malam di bis. Kini dia bisa mendapatkan hasilnya. Lembaran merah 50:50 bagi hasilnya.
Kamilia menerima pembagiannya. Dia memegang erat-erat uang tersebut. Ingin rasanya dia melumatkan uang tersebut, membuangnya ke tempat sampah. Uang najis, hasil penjualan tubuh, terdengar hina sekali.
"Ooh, Kamilia, kamu pembawa keberuntungan untukku!" seru Tante Melly ceria.
Seperti biasa, Kamilia hanya tersenyum dan diam. Kamilia sudah tidak mengumpat lagi dalam hatinya, dia harus berdamai dengan hatinya. Dia harus menurut kepada Tante Melly kini.
Kalau tidak karena mengingat wajah ibunya, rasanya tidak ingin menerima hasil kerjanya malam ini. Kamilia harus mengirim uang demi perut mereka.
"Tante, malam ini aku tak dapat banyak," kata Calista.
"Mengapa?" Kening Tante Melly berkerut.
"Gara-gara dia lah." Calista menunjuk Kamilia dengan dagunya.
"Hahaha hahaha." Tante Melly tertawa . Suara tawanya lebih besar dari badannya. Sambil menyelipkan rokok putih, wanita itu meraih uang setoran anak buahnya.
"Biasa, hari ini mereka inginkan Kamilia, besok pasti kembali ke pelukanmu," kata Tante Melly menghibur.
Tante Melly memang termasuk orang yang baik. Dia tidak berlaku kejam andai anak buahnya berlaku tidak sesuai kehendaknya. Ketika ada yang mau bertobat juga dengan senang hati dia mempersilakan.
Kamilia tersenyum getir. Ternyata dalam dunia kupu-kupu pun persaingan pasti ada. Kamilia mengusap wajahnya karena perlahan-lahan rasa malu menjalari wajahnya. Persaingan dalam melakukan dosa.
"Kamilia, jangan lupa pil, harus diminum!" perintah Tante Melly.
Kamilia mengangguk, ia lebih mengerti kini. Nuraninya sudah menanggung luka jangan sampai raganya ikut menanggung nestapa. Kembali terbayang wajah lelah ibunya, membuat Kamilia harus tegak berdiri. Tidak boleh lengah sedikit pun, dia harus menjadi seseorang yang layak diperhitungkan.