Chapter 3 - tiga

Dia memperkenalkan kami. Aku berdiri cepat dengan senyum tipis, kemudian kembali duduk dan sekali lagi memasang wajah serius. Stephan bicara soal jaminan kesehatan, pemotngan anggaran dan surat wasiat, pengecualian pajak, orang-orang yang tersisih dan pembayaran asuransi. Topik-topik itu berjatuhan seperti lalat. Celah-celah aturan Santunan Sosial, undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, peraturan rumah jompo, perencanaan pembagian hak milik dan obat bius. Dia melantur, ucapannya ruwet, sama seperti yang biasa diucapkan di dalam kelas. Aku menguap dan mengantuk juga. Neely mulai melirik jam tangan.

Akhirnya Stephan tiba pada kata penutupnya, ucapan terima kasih sekali lagi untuk Miss Natalie dan kelompoknya, berjanji untuk kembali di tahun demi tahun, lalu mengambil tempat duduk di ujung meja. Miss Natalie bertepuk tangan dua kali, kemudian menyerah. Tidak satu orang pun bergerak mengikutinya. Sebagian di antara mereka tengah mendengkur.

Miss Natalie melambaikan tangannya ke arah kami, dan mengatakan pada kawannya, "Itu mereka. Mereka cakap dan cuma-cuma."

Perlahan-lahan mereka mendekati kami. Neely ada di deretan pertama, dan sudah jelas kalau dia masih dendam soal puding tadi, sebab dia menatapku dengan tatapan berapi-api, kemudian pergi ke ujung lain meja dan duduk di depan N. Mila Fox. Perasaanku mengatakan kalau dia bukan calon klien terakhir yang pergi ke orang lain untuk meminta nasihat hukum. Seorang laki-laki tua kulit hitam memlih Bolie sebagai pengacaranya dan mereka berimpitan di seberang meja. Aku berusaha untuk tidak mendengarkan. Suatu topik pembicaraan soal mantan istri dan perceraian bertahun-tahun silam yang mungkin tidak terselesaikan dengan resmi. Bolie mencatat bagaikan pengacara sejati dan mendengarkan dengan serius, seolah dia tahu benar apa yang harus dia lakukan.

Paling tidak Bolie memiliki klien. Selama lima menit penuh aku merasa konyol duduk seorang diri sementara tiga rekan kelasku tengah saling berbisik, menulis, mendengarkan dengan sabar, dan menggelengkan kepala menghadapi berbagai masalah yang terpapar di depan mereka.

Kesendirianku tampaknya diperhatikannya. Akhirnya Miss Natalie merogoh ke dalam dompetnya dan mengeluarkan sepucuk amplop dan berjalan gesit ke mejaku. "Kau lah yang sungguh aku inginkan," dia berbisik sambil menarik kursinya ke sudut meja. Dia membungkuk ke depan dan aku memiringkan tubuh ke kiri. Kepala kami cuma berjarak berkisar enam senti, hampir bersentuhan. Ketika itu aku memasuki konferensi pertamaku sebagai penasihat hukum. Bolie melirikku dengan senyum jahat.

Konferensi pertamaku. Musim panas lalu aku bekerja sebagai kerani untuk sebuah biro hukum kecil di pusat kota, sekitar dua belas pengacara dan pekerjaan mereka sepenuhnya dihitung per jamnya. Tak ada uang jasa yang tak pasti. Aku mempelajari seni mengajukan tagihan, yang salah satu peraturan pertamanya yaitu seorang pengacara menghabiskan banyak waktu jaganya dalam konferensi. Konferensi dengan klien; konferensi telepon; konferensi pengacara lawan, hakim, partner, penilai asuransi, dan para legal, serta banyak konferensi yang lain.

Miss Natalie melontarkan pandang ke sekliling, tanda untuk menahan supaya kepala dan suaraku tetap rendah, karena apa pun urusan yang mau dia diskusikan tentu merupakan sesuatu yang serius. Dan itu bukan masalah buatku, karena aku tidak mau satu orang pun mendengar nasihat lemah dan naif yang harus aku berikan sebagai tanggapan terhadap masalah yang akan dia ajukan.

"Cob abaca ini," katanya. Segera aku mengambil dan membuka amplop itu. Isinya adalah surat wasiat, dan pernyataan terakhir dari Charlize Theron Streep. Stephan telah mengatakan pada kami kalau lebih dari sebagian para klien ini tentu mau kami memeriksa dan mungkin memperbarui surat wasiat mereka. Ini bukan sesuat yang menjadi persoalan, sebab tahun lalu kami diwajibkan mengambil mata kuliah wajib yang disebut dengan surat wasiat dan surat warisan, dan kami merasa cukup mahir dalam menemukan masalah. Surat wasiat merupakan dokumen yang cukup sederhana, dapat disiapkan tanpa cela oleh pengacara paling awam sekalipun.

Yang ini terketik dan terlihat resmi. Begitu membacanya, secara singkat aku tahu dari dua alinea pertama kalau Miss Natalie itu janda, punya dua orang anak dan banyak cucu. Alinea ketiga membuat aku berhenti dengan terperanjat dan aku melirik ke arah Miss Natalie sambil membaca. Lalu membacanya lagi. Dia tersenyum lega. Isinya memerintahkan kepada eksekutor untuk memberikan dua juta dolar pada masing-masing anaknya, dengan satu juta dalam perwalian untuk masing-masing cucu. Aku menghitung itu secara berhati-hati. Delapan cucu. Itu artinya paling sedikit dua belas juta dolar.

"Teruslah baca," katanya, seolah-olah dia apat mendengar kalkulator berderik-derik dalam benakku. Klien Harold, laki-laki tua kulit hitam itu, sekarang menangis, dan itu ada hubungannya dengan kisah cinta yang porak-poranda bertahun-tahun lalu serta anak-anak yang tak menghiraukannya. Aku berusaha tidak mendengarkan, namun itu mustahil. Harold menulis dengan giat dan berusaha mengabaikan air mata. Neely tertawa keras di ujung lain meja itu.

Alinea kelima dari surat wasiat itu memberikan sekitar tiga juta dolar untuk sebuah gereja dan dua juta untuk sebuah institusi pendidikan. Kemudian ada daftar derma, dimulai dengan sebuah perkumpulan yang mengorganisir orang-orang diabetes dan berakhir dengan Kebun Binatang Southaven, dan di samping nama setiap lembaga itu tertulis jumlah uangnya yang paling kecil adalah lima puluh ribu dolar. Aku terus berkernyit, berhitung dengan cepat, dan berkesimpulan bahwa Miss Natalie paling sedikit bernilai dua puluh juta dolar.

Seolah-olah terlihat bahwa ada banyak masalah dengan surat wasiat ini. Pertama, dan paling utama, surat ini tidak setebal semestinya. Miss Natalie adalah orang kaya, dan orang kaya tidak memakai surat wasiat yang tipis atau sederhana. Mereka memakai surat wasiat tebal, padat dengan wali, perwalian, pergantian tempat loncat generasi, serta segala macam perangkat serta perkakas yang dirancang dan dibuat oleh para pengacara pajak di biro hukum besar bertarif mahal.

"Siapa yang menyiapkan ini?" tanyaku. Amplop itu kosong. Tidak ada petunjuk siapa yang mengonsep surat wasiat itu.

"Pengacaraku yang dulu, saat ini telah meninggal. "

Baguslah dia sudah mati. Dia melakukan malpraktek ketika menyiapkan surat ini.

Jadi, perempuan kecil bergigi kuning dan bersuara cukup merdu ini ternyata bernilai dua puluh juta dolar. Dan jelas dia tidak memiliki pengacara. Aku meliriknya, kemudian aku kembali pada surat wasiat itu. Dia tidak berpakaian mahal, tidak memakai intan atau emas, tidak menghabiskan waktu maupun uang untuk rambutnya. Gaunnya katun murah dan blazer merah anggurnya sudah kumal, mungkin berasal dari Toko Louis. Aku sudah pernah menyaksikan beberapa perempuan tua kaya raya, dan mereka biasanya cukup mudah untuk dikenali.

Surat wasiat tersebut diperkirakan usianya sudah mencapai dua tahun. "Kapan pengacara anda meninggal?" tanyaku dengan sangat manis. Kepala kami masih merunduk berdekatan dan hidung kami cuma terpisah beberapa senti. Yang aku lakukan adalah gelagat khas dari seorang pengacara. Klien seorang pengacara bak saudara sedarah.

"Dia meninggal tahun lalu, terkena kanker."

"Dan anda saat ini masih belum punya pengacara?"

"Aku tidak akan ada di sini dan bicara denganmu kalau aku punya pengacara. Benar, bukan? Aku mengira kalau mengurus soal surat wasiat tidak ada yang sulit bagimu."