"Manda, lo mau ke mana lagi?" tanya Sashi, seraya mencekal pergelangan tangan Manda. Kepalanya mendongak, mempermudah tatapannya menjaungkau wajah Manda.
Manda menunduk. Kedua mata mereka berdua saling bertubrukan.
"Ke kamar mandi," sahut Manda, dingin. Dia pun mencengkram balik tangan Sashi yang mencekal lengannya, lalu diempaskan ke samping. "Lo nggak perlu ikut."
Yang Sashi tangkap, sosok Manda sedang tidak bersahabat. Auranya terasa dingin sejak kelas pagi sampai sekarang. Tatapan matanya tajam, menusuk. Setiap kata yang terucap dari bibirnya, bak pisau yang langsung menancap ke jantung.
"Jangan lama-lama," imbuh Sashi lagi, saat Manda baru lima langkah dari tempat mereka berdua duduk.
Saat ini, Sashi tengah di perpustakaan. Rencananya hendak mengerjakan tugas dari Profesok Esok, mencari sumber di tempat yang memiliki ribuan buku. Namun nyatanya, kini dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang karena sempat meninggikan beberapa saat yang lalu. Mereka seakan tak suka ada suara berisik yang mengganggu di saat fokus pada buku-buku.
"Maaf. Maaf," cicit Sashi seraya menyengir canggung menatap satu per satu orang yang dia lihat. Lalu, kepalanya menelungkup di atas meja, di antara beberapa buku yang tergeletak berantakan. Beberapa buku sengaja ditumpuk, sebagian lagi dibiarkan terbuka.
Sashi merutuk dirinya sendiri. Dia memang sudah mengenal Manda sejak semester satu, sering pula bertengkar selisih pendapat dengan gadis itu. Hanya saja, pertengkaran kali ini masih berbuntut panjang. Padahal, dia sudah berulang kali meminta maaf, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Tetap saja, sikap Amanda atau Manda tetap dingin. Lebih dingin, sarkas daripada biasanya.
"Tumben sendirian, Sas." Seseorang tiba-tiba datang dan duduk di tempat Manda tadi.
Sashi kenal suara itu. Dia masih membenamkan wajahnya di meja, tak tertarik untuk menatap orang yang baru datang itu. "Gue emang selalu sendirian," jawabnya, lesu.
"Biasanya lo sama si Amanda," ucap orang itu. Pria tinggi menjulang yang kerap datang ke fakultas teknik hanya untuk bertemu dengan Sashi, teman sejak SD-nya.
Saat nama Amanda terdengar di telinganya, barulah Sashi mengubah posisi kepalanya, membiarkan pipi kanannya yang menempel ke meja. Dia melirik lelaki itu, Andra. Lalu, senyum kecut tercetak menghiasi wajah lelahnya hanya beberapa detik.
"Dia lagi marah sama gue."
"Kenapa?"
"Urusan cewek, lo nggak perlu tahu." Sashi menatap curiga Andra. Dia baru menyadari satu hal sekarang. Lantas, tubuhnya menegak dan menghadap Andra. Jari telunjuknya langsung terarah ke hidung mancung Andra. "Lo suka sama Manda, 'kan?"
Spontan Andra memundurkan badannya sambil menggeleng. "Ngaco kalau ngomong." Andra berdeham. "Gagasan dari mana coba kalau gue sama Amanda."
Sashi malah memicingkan mata. "Lo kalau ke sini, terus gue gak lagi sama Manda, pasti ditanyain. Amanda ke mana. Ngaku aja lo, Ndra, kalau suka sama Manda. Gue bakal dukung lo."
"Gue nanya gitu karena lo selalu nempel sama dia. Wajar dong, nanya gitu kalau lo sendirian gini. Mana jomlo, nggak ada yang nemenin lagi. Miris."
"Lo demen banget, ya, nyindir gue jomlo." Sashi mendelik, suaranya agak lirih. Beberapa orang mulai melirik padanya lagi, dirinya pikir sudah membuat keributan kecil lagi. Bagian kedua.
Andra malah menjulurkan lidah, mengejek Sashi yang sudah bermuka masam. Dia selalu senang menggoda perempuan rambut lurus pirang sepunggung itu. Terkadang, melihat Sashi cemberut, seolah memunculkan reaksi lain dalam perutnya, bak ada kupu-kupu beterbangan, menggelitik sampai terasa geli.
"Udah, sih. Jangan monyong gitu. Kayak pengen banget gue cium," kelakar Andra seraya mencomot bibir Sashi dengan tangan kanannya.
Sashi menepuk-nepuk tangan Andr agar lepas dari bibirnya. "Seenaknya aja lo nyomot bibir gue."
"Suruh siapa manyun."
"Siapa yang manyun?"
"Lo, masa gue." Andra terkekeh pelan, ditutup dengan kepalan tangan di mulut.
Sashi berdecak. "Lain kali, jangan sentuh gue kalau tangan lo habis pegang rokok."
Spontan Andran mencium kedua telapak tangannya sendiri. Satu jam lalu, tepat setelah kelas berakhir, dia memang merokok. Dia tidak lupa juga mencuci tangannya dengan bersih. Sekarang, badannya agak condong mendekati Sashi, sedangkan Sashi sedikit mundur.
"Tahu dari mana lo?" tanya Andra. Beberapa tahun terakhi ini, sahabatnya itu tampak aneh dan misterius. Kerap membuatnya bertanya-tanya.
Sashi gelagapan. Manik matanya bermain-main, berpikir akan membuat alasan apalagi. Mulutnya yang terkadang keceplosan, sering membuat Sashi sendiri kewalahan agar orang-orang tidak curiga.
"Udah jadi kebiasaan lo ngerokok. Jadi, gue asal nebak aja." Dia mengelus tengkuknya kasar, lalu bergerak gelisah saat Andra malah semakin mengikis jarak mereka. Merasa tak nyaman, Sashi pun mendorong dada Andra sampai keduanya duduk tegak lagi.
"Gue mau nyusul Manda ke toilet dulu, Ndra. Udah dari tadi, tapi nggak nongol," kilah Sashi. Dia pun bangkit, keluar dari celah antara kursi dan meja, lalu berlalu meninggalkan Andra, meninggalkan perpustakaan.
***
Berulang kali Sashi menelepon Manda, hanya berdering saja. Tak kunjung jua diangkat, membuat Sashi semakin khawatir. Tadi, dia masuk ke toilet tepat di samping perpustakaan. Namun, saat Sashi mengecek setiap bilik kamar mandi, tak ada Manda di dalamnya. Awalnya, Sashi pikir lamanya Manda pergi ke kamar mandi memang ada urusan alam.
Langkah Sashi tergesa-gesa menyusursi koridor kampus, kepalanya menengok ke setiap penjuru, mata menatap awas, mengamati satu per satu wajah. Masih belum menemukan Manda juga. Bahkan, beberapa teman kelasnya dia tanya, tak ada dari mereka yang melihat Manda.
"Manda, lo ke mana, sih?" Dia menatap ponselnya lagi, ibu jarinya menari-nari di atas papan ketik. Satu buah pesan, lagi, dia kirim pada Manda. Dan lagi, hanya centang dua abu-abu.
"Gak mungkin lo balik, Man. Tas aja masih di perpustakaan."
Sashi menatap sekitar lagi. Dirinya sedang ada di sisi kanan bangunan Fakultas Teknik. Ada jembatan sepanjang lima meter yang membelah sungai kecil, menghubungkan Fakultas Teknik dengan Fakultas Kedokteran. Beberapa orang berlalu lalang lewat jembatan kayu bercat merah itu. Hingga seseorang menepuk pundaknya dari belakang, membuat Sashi terlonjak.
"Kaget gila!" pekiknya saat melihat siapa yang baru saja datang.
Dia Galen, mahasiswa kedokteran. Salah satu sahabat Sashi, sama seperti Andra.
Galen menyengir tanpa dosa. "Lagian lo kayak anak nyari ibunya tahu. Di sini sendirian, celingukan."
"Gue lagi nyari Manda. Lo lihat?"
"Manda?" tanya Galen, Sashi mengangguk. "Oh, dia tadi ada ke daerah Fakultas Kedokteran."
Mendengar jawaban Galen, otomatis membuat Sashi mengerutkan kening. "Ngapain?"
Galen mengangkat bahunya sekilas. "Gue lihat sekilas doang, sih. Tapi, kayaknya lagi nyariin orang."
Sashi sempat bergeming. Dia bertanya-tanya tentang kedatangan Manda ke Fakultas Kedokteran yang selama ini rasanya belum pernah datangi. Pertanyaan mulai beranak-pinak, bergelayut dalam benaknya.
"Makasih, ya," seru Manda seraya melepaskan kemeja Galen.
Dia bergegas menyeberangi jembatang kayu menuju Fakultas Kedokteran. Firasatnya mulai tidak enak tentang Manda. Yang dia simpulkan, terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.