Untuk pertama kalinya, Sashi menginjakkan kaki di Fakultas Kedokteran. Dulu, waktu kecil dia bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, saat itu, Sashi memustukan untuk masuk Teknik Sipil, alih-alih mewujudkan cita-cita masa kecilnya.
Dia memang jarang sekali berkunjung ke fakultas lain. Karena memang, minimnya orang yang dia kenal.
Sekarang, Sashi berada di taman. Dia celingukan, kawasannya sangat luas. Sashi tak punya petunjuk lain kiranya ke mana tujuan Manda. Dan seingatnya, Manda tidak punya teman atau kenalan dari Fakultas Kedokteran. Walaupun Manda terkenal karena cantik, tinggi semampai, sahabatnya itu jarang beriteraksi dengan orang di luar fakultasnya. Namun, mungkin saja ada hal yang tak Sashi ketahui, seperti Manda yang tak mengetahui satu rahasia tentang Sashi.
"Manda, lo ke mana, sih?" tanya Sashi gelisah, pada sang angin yang baru saja melewatinya, menerbangkan beberapa helaian rambutnya.
Dia melirik ponselnya kembali, berharap pesannya minimal sudah dibaca Manda. Nihil. Sashi mendesah kecewa saat bunyi notifikasi yang datang bukan dari Manda, pesannya masih centang dua abu-abu.
"Astaga! Gue mesti gimana?" Dua kali Sashi berputar, mencari cara, berpikir kiranya harus ke mana kakinya melangkah untuk menemukan Manda.
"Sial!" umpat Sashi. Dia berkacak pinggang sewaktu menatap sekelilingnya. Tak ada satu pun yang Sashi kenal. "Harusnya tadi gue ajak si Galen aja, bantuin nyari."
Akhirnya, Sashi memutuskan untuk melangkah ke arah kanan. Namun, baru dua langkah, dia mundur lagi, berputar arah jadi ke kiri. Lagi, dia ragu. Lantas, berhenti di tempat seraya berusaha untuk menebak, kiranya ke mana perginya Maya.
"Toilet?" Satu tempat tiba-tiba terlintas di benak Sashi. Tadi pun, Manda memang izin ke toilet. Dan sekarang sudah satu setengah jam berlalu, belum terlihat batang hidungnya lagi.
Sashi bergegas mencari toilet di sekitar kampus. Hingga berhenti di persimpangan koridor, ada penunjuk arah yang menunjukkan toilet ada di sisi kanan. Kakinya dia putar ke kanan, lalu melangkah sejauh satu meter tepat di depan area toilet.
Tampak sepi begitu Sashi masuk. Hanya ada dua orang tengah berdiri di wastafel sambil berbenah diri menatap pantulan wajah di cermin. Saat kedatangan Sashi yang tampak asing, kedua orang tersebut menatap heran padanya.
"Permisi," cicit Sashi, merasa tak nyaman diperhatikan dari ujung ke ujung.
Mereka berdua hanya mengangguk, lalu kembali sibuk dengan bedak dan lipstik.
Sashi mulai menggeledah toilet itu. Tak memedulikan dua orang tadi, dia membuka satu per satu bilik.
Ada enam bilik berderet memanjang. Lima bilik sudah Sashi buka, tetapi tak jua dia menemukan Manda. Hingga berhenti di bilik paling ujung, paling gelap, paling kotor banyak tulisan di pintu toilet. Saat Sashi membacanya, semua kalimatnya berisi umpatan pada seseorang. Bahkan, ada pula yang terang-terangan menyebut nama seseorang yang dibencinya itu. Dia menduga, jarang ada orang yang masuk, sehingga membuat dirinya ragu untuk melihatnya.
Sesaat, Sashi menatap pintu bilik terakhir itu. Kaki ingin putar arah, keluar dari toilet, tetapi hatinya justru penasaran dengan apa yang di dalamnya.
Sashi menatap ragu pintu itu. Ada perasaan takut yang menyusup ke dalam hatinya.
"Buka aja kali, ya," katanya, sedikit ragu. Namun, tetap saja dia mengulurkan tangan, hendak menyentuh pintu itu.
Tepat saat Sashi mendorong pintu ke dalam, matanya terpejam sedikit. Hingga lima detik kemudian, barulah manik mata terbingkai kacamata bulat itu melotot.
"Manda!" teriak Sashi begitu melihat sahabatnya yang sedari tadi dicari, terduduk tak sadarkan diri di kloset duduk. Kepalanya menengadah, sedangkan mulutnya dipenuhi busa yang merambat di sekitarnya, hingga menetes.
Sashi spontan mundur sampai punggungnya menabrak tembok. Mulutnya menganga ditutup kedua telapak tangan, lalu perlahan tubuhnya ambruk ke lantai sambil terus mengamati Manda di depannya.
"Manda!" teriaknya lagi, histeris.
Dua orang tadi turut mendekat, lalu sama berteriak histeris hingga lari keluar kamar mandi, memanggil orang-orang sampai berkeremun di sekitar Sashi.
"Manda," panggilnya, lirih. Tepat saat itu, bulir matanya jatuh, mengalir di pipi.
***
Sashi masih tampak pias. Kejadian satu jam lalu, melihat Manda tewas di kamar mandi tepat di hadapannya, terus saja berputar di otaknya. Dia terduduk lemas di salah satu bangku kantin, ditemani Andra dan Galen yang mengapit dirinya. Tatapannya lurus ke bawah, kosong, hampa.
"Sas," panggil Andra, cemas. Sashi tak menyahut. "Minum lagi tehnya."
Tetap bergeming. Bibir Sashi seolah terkunci rapat.
Selepas orang-orang berkerumun di toilet, selang setengah jam ada beberapa petugas polisi yang datang untuk mengamankan. Suasana langsung heboh, berita langsung menyebar antar jurusan, antar kampus, bahkan sekarang tengah jadi topik utama di saluran berita online.
Lalu Sashi, gadis itu segera diamankan dan sekarang kesadarannya belum dia raih kembali.
"Lo kalau mau nangis, nangis aja, Sas. Mau bersandar ke bahu siapa? Bahu gue?" tanya Galen sambil menunjuk diri sendiri, lalu menunjuk Andra. "Atau dia?"
"Sas." Andra mengelus punggung Sashi. Dia tahu, mengerti bagaimana perasaan Sashi sekarang. Kehilangan sahabat yang selama tiga tahun ini bersamanya.
Sashi memang jarang dekat dengan orang lain. Bisa dikatakan sahabat, orang-orang yang benar dia percaya. Selebihnya, Sashi kerap menutup diri, jarang bicara. Dan Andra dengan Galen, dua sahabatnya sejak lama.
"Gue mau lihat Manda," ucap Sashi. Suaranya lemah, tetapi masih bisa didengar Andra.
"Jenazah Amanda udah dibawa sama pihak kepolisian, Sas. Mau di autopsi."
"Kok jenazah, sih?" Sashi menoleh pada Andra, menatapnya dengan tatapan kosong. "Manda masih hidup, ya. Tadi aja masih ketemu sama gue di perpustakaan."
"Sas, lo harus sadar." Andra sedikit mengguncang bahu Sashi.
Kepala Sashi menunduk agar air matanya bisa terjatuh dengan bebas. Rasa sesak itu menghimpit dadanya, mempersulit laju pernapasan. Hingga dia memukul dadanya sendiri beberapa kali sambil terisak.
"Lo ikhlas, ya. Masih ada gue, sama Galen. Sahabat lo."
Sashi hanya mengangguk. Isak tangisnya perlahan terhenti saat sepasang kaki dibalut sepatu kulit warna cokelat berdiri di hadapannya. Perlahan, Sashi mendongak, mendapati pria paruh baya, rambutnya nyaris dipenuhi uban, tengah menatapnya.
"Sashi Ilanna?" tanya pria itu dan langsung diangguki Sashi.
"Siapa, ya?" tanyanya setelah berdiri.
Bapak itu tampak merogoh saku jaket kulit hitamnya, lalu menyodorkan sebuah kartu nama ke hadapan Sashi.
"Bisa bicara sebentar?" Bapak itu menjelajah sekitar, tampak ramai kantin Fakultas Kedokteran. Orang-orang berduyun-duyun mendekati TKP yang dijaga oleh polisi. "Di tempat yang lebih sepi. Tidak berdua, ada orang lain juga yang saya ajak untuk bicara."
Setelah tahu jika bapak paruh baya itu salah satu dari polisi, Sashi tebak pasti komandannya, dia pun mengiakan dengan anggukan. Lantas, mengekor di belakang Polisi itu keluar, menjauh dari kantin.