Seharian penuh Sashi tak keluar kamar. Sang mama kerap memanggil, meneriaki dari luar, tetapi dia hanya menyahut seadanya tanpa membukakan pintu. Kepalanya teras penat berbagai kejadian satu minggu ini. Terutama meninggalnya sang sahabat, Amanda.
Seluruh peristiwa tentang Manda, dia rangkum menjadi satu di otaknya. Dan satu yang Sashi simpulkan, Manda meninggal bukan karena bunuh diri yang diputuskan oleh keputusan kemarin. Namun, seberapa keras pun Sashi berpikir tentang motif dari pembunuhan Amanda, selalu buntu. Dia yang bercerita banyak hal pada Manda, sedangkan sahabatnya itu cenderung tertutup tentang masalahnya. Pun tentang orang-orang penting dalam hidup Manda, seperti keluarga, Sashi tidak tahu. Untuk pertama kalinya, dia tahu keluarga Manda di hari pemakaman tiga hari lalu.
"Haruskah?" tanya Sashi, membocorkan kedua telapak tangannya di atas meja.
Satu menit berlalu. Sashi gemetar. Tubuhnya dia empaskan ke kepala ranjang.
"Gue udah lama gak pake potensi itu bertahun-tahun." Sashi mendesah pelan. "Gak yakin kalau masih bisa gue lakuin."
Sashi menoleh ke jendela, tampak di luar langit mulai gelap. Senyum tersungging di saat memori di kepalanya kini memutar kejadian empat tahun lalu, saat semua hal aneh luar biasa dirinya datang dan Sashi sering pingsan akibat rasa penasaran dan keras kepalanya.
Hari itu, Sashi masih duduk di bangku SMA kelas XI. Saat jam olahraga, dia dan teman sekelasnya di lapangan dalam ruangan untuk melakukan praktik lari sejauh 200 m. Menurut insetrupsi, lima orang lari balapan secara berkala sesuai urutan absen. Sashi berada di antrean keempat.
Bersama keempat teman lainnya, Sashi sudah siap di garis start, sedangkan guru olahraganya sudah menunggu di garis finish sambil memegang stopwatch di tangan.
"Kalian siap?" tanya ketua kelas, orang yang meniup peluit.
Kelima orang itu, termasuk Sashi, mengangguk pasti.
"Satu! Dua! Tiga!" teriak ketua kelas lagi.
Prittttt!
Tepat setelah meniup peluit, empat orang langsung berlari kencang menuju garis finish. Sedangkan Sashi malah berdiri tegak, bergeming di tempat kosong. Orang-orang bingung karena tidak berlari. Lantas, Ketua kelas segera menghampiri dirinya.
"Sas," panggil ketua kelas seraya mengguncang bahu Sashi.
Sashi masih diam, mematung. Lalu, ketua kelas peluit lagi tepat di depan Sashi agar kesadaran gadis itu bisa teraup kembali.
Akan tetapi, Sashi justru berteriak sambil menutupi kedua telinganya dengan telapaknya.
Tepat setelah ketua kelas serangan peluit di hadapan Sashi, tiba-tiba telinganya berdengung, terasa. Samar-samar, ada suara aneh yang terbisik di telinganya. Lalu, kepala teras teras berat. Sashi terus menggerang, berteriak, hingga orang-orang datang mendatanginya. Sampai semua orang berkerumun, Sashi terkulai lemas ke tanah.
***
"Sashi," panggil sang mama begitu Sashi sadar.
Entah berapa lama Sashi pingsan. Saat ini, yang pertama kali dia lihat adalah ruangan serba putih. Butuh beberapa saat bagi dirinya untuk menyesuaikan pencahayaan yang masuk. Lalu, melenguh pelan.
"Aku kenapa, Bu?" tanyanya, kemudian.
"Kamu tadi pingsan di sekolah." Sang mama mendesah lega, akhirnya Sashi sadar.
"Berapa lama aku pingsan?"
Ketika Sashi melontarkan pertanyaan itu, senyum mamanya langsung luntur. Rautnya berubah khawatir.
"Mama pikir kamu nggak akan bangun lagi." Mata Mama berkaca-kaca sewaktu membocorkan Sashi yang kebingungan. "Sudah satu hari kamu nggak bangun."
Mata Sashi sontak. "Satu hari?"
Mama mengangguk.
Kemarin, saat Mama sedang bersantai di depan TV, tiba-tiba Sashi datang dibopong beberapa orang dalam keadaan tak sadarkan diri. Dia pun kerap di sisi Sashi, menunggunya dalam keadaan sadar. Khawatir menyusup dalam hati, hingga rasanya plong melihat Sashi membuka matanya.
"Jangan becanda, Bu." Suara Sashi masih parau.
Sashi ingin melihat kalau mamanya mengangguk, setuju kalau itu hanya candaan. Tetapi, Mama malah kalah lemah.
"Mama udah takut ada sesuatu hal buruk yang terjadi sama kamu."
Ingatan Sashi langsung terbawa sewaktu-waktu sebelum pingsan. Telinganya berdengung, bisikan aneh, lalu semuanya gelap.
"Kata dokter, nggak ada yang serius. Tekanan darah kamu juga normal. Mungkin, kamu kelelahan sama stres." Mama mengelus rambut Sashi. "Kamu kenapa? Mikirin apa sampai pingsan pingsan ini?"
"Tidak kok, Bu. Cuma kelelahan aja. Cuacanya lagi ekstrem," sahut Sashi. Bohong.
"Ya sudah, Mama mau ke kamar mandi Kemana-mana, ya. Nggak apa-apa kalau kamu sendiri?"
Sashi malah terkekeh. "Aku bukan anak kecil, Bu. Lagian, Sashi juga udah bangun. Mama gak usah khawatir lagi."
Meskipun ragu, Mama tetap mengangguk juga berlalu dari kamar Sashi, meninggalkan meninggalkan itu sendirian.
Sashi menghargai apa yang terjadi kemarin. Rasanya tidak mungkin jika itu hanya halusinasi dirinya semata. Itu benar-benar nyata, termasuk bisikan aneh yang kini terngiang-ngiang di telinga, membuat bulu kuduknya meremang.
"Ngeri," cuitnya.
Sashi lalu turun dari ranjang, keluar dari selimutan selimutnya yang lama-kelamaan membuat gerah. Tungkainya terayun pelan ke meja belajar, lalu duduk di sana. Ada sebuah buku asing di meja. Buku bersampul merah muda yang seingatnya Sashi tak punya buku itu.
"Buku siapa?" tanya Sashi, berusaha mengingat-ingat.
Saat menimbang-nimbang buku itu, tiba-tiba kilas balik sebuah kejadian yang terlintas di otaknya.
"Apa itu?" Sashi terlonjak, dia melempar asal buku itu ke lantai.
Napas Sashi tersengal-sengal.
Yang dia lihat saat memegang buku pink itu, wajah teman sebangkunya, Mira. Bayangan di mana dua hari lalu saat Sashi meminjam buku catatan Biologi milik Mira.
Semakin merasa ada yang tidak beres, ada hal aneh, Sashi kembali memegang buku itu. Lalu, tampilkan wajah Mira serta percakapan antara dirinya dengan Mira saat meminjam buku itu, serta terlihat jelas suasana kelas tengah riuh.
"Tidak mungkin!" Sashi menggoyang setelah melihat masa lalu dari buku itu.
Sejak saat itu, Sashi sadar. Dia bisa melihat masa lalu dari benda yang dia pegang. Sashi menyebut kelebihannya dengan potensi.
Semakin hari, potensi Sashi terus berkembang. Dia kerap berlatih dengan benda-benda milik teman-temannya. Hanya perlu konsentrasi, fokus, bayangan masa lalu benda yang dia pegang, langsung terputar di otaknya.
Setiap kelebihan, pasti ada kekurangan. Begitu pula yang dirasakan Sashi. Kekurangannya adalah darah tinggi yang dia miliki. Semakin sering dia menggunakan potensinya, semakin tidak bagus untuk tubuhnya. Darahnya selalu naik hingga datang kerap datang dan berlangganan UKS.
"Kamu kenapa, Sas?" tanya Mama, menyambut kedatangan Sashi yang tampak lunglai masuk ke rumah.
Kepala Sashi terangkat, menangkap wajah sang mama. Lalu sambil memamerkan senyum.
"Sas, kalau ada apa-apa, bilang sama Mama."
"Sashi nggak apa-apa, Bu."
Sang mama menghadang langkah Sashi tepat di ruang keluarga. Sambil berkacak pinggang membocorkan Sashi, dia berujar lagi. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa satu minggu ini kamu sudah lima kali pergi ke UKS?"
sashi bungkam. Dia menunduk dalam. Tak mungkin dirinya mengatakan apa yang terjadi. Mamanya pasti mengatakan kalau semua itu hanya halusinasi Sashi saja. Atau mungkin sang mama bisa menganggapnya gila. Keputusan yang terbaik adalah tidak memberitahu siapa pun tentang potensi dalam diri Sashi.
"Kamu pingsan dan penyebabnya adalah tekanan darah kamu naik lagi. Kita ke rumah sakit aja, ya. Mama khawatir terjadi sesuatu yang sama dengan kamu. Hipertensi nggak bisa diremehkan."
Sashi goyang pelan. "Iya, Sashi tahu, Bu. Jangan ke rumah sakit, Sashi nggak apa-apa dan sehat-sehat saja."
"Sa."
"Iya, Bu. Sashi tahu, kok. Sashi bisa terkena stroke kalau darahnya terus naik."
Sashi melewati sang mama dengan tampang lesu. Langkahnya menuju kamar.
Hari itu, Sashi memutuskan untuk beristirahat dari potensinya. Namun nyatanya, istirahatnya sudah empat tahun. Lagi pula, saat itu, dia merasa lelah melihat masa lalu dari barang-barang teman-temannya. Banyak hal konyol, lucu, ada pula yang sedih. Lebih baik dia tak tahu apa-apa lagi tentang itu.