Chereads / RIANTI : Dendam Terindah / Chapter 10 - Bab 10

Chapter 10 - Bab 10

Plak!!!

Semua orang yang ada di sini aku yakin cukup kaget dengan apa yang aku lakukan. Bagaimana tidak, setelah aku dilecehkan sampai seperti itu di depan umum, laki-laki biadab yang ada di depanku ini masih bertingkah dengan begitu nyata. Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti, bagaimana bisa ada pemuda sebusuk pemuda yang ada di depanku ini.

"Kurang ajar!" bentaknya, yang padahal seharusnya akulah yang marah sekarang. Lantas bagaimana bisa dia yang marah kepadaku duluan. Ini benar-benar sungguh lucu. "Berani sekali kamu menamparku? Apakah kamu punya hak di sini?!" pemuda itu langsung membanting sebuah surat yang sedari tadi dia sodorkan padaku, kemudian dia menujukku tepat di depan wajah. "Memangnya kamu ini siapa, hah? Jangan mentang-mentang kamu berpakaian seperti ini, lantas kamu berpikir jika semua orang akan mengira kalau kamu adalah perempuan pemalu yang terhormat? Di mataku, kamu nggak lebih dari perempuan murahan yang nggak punya harga dirinya sama sekali, kampungan!"

"Apakah ucapan itu pantas diucapkan olehmu yang telah melecehkan perempuan di tempat umum seperti ini? Bahkan, etikamu sama rendahnya dengan otak dangkalmu itu,"

Aku langsung mengajak Dina untuk pergi, tidak peduli lagi dengan pemuda yang tidak tahu diri itu. Hatiku benar-benar sakit setengah mati, dan yang pasti aku telah malu setengah mati. Bagaimana bisa seorang Ndoro Putri sepertiku dilecehkan seperti oleh pemuda yang tidak tahu diri seperti dia? Gusti, hukum dia, hukum dia dengan hukuman setimpal, agar dia tahu apa yang aku rasakan.

"Rianti, kamu nggak apa-apa kan?" Dina akhirnya bertanya, aku lirik saja. Aku pikir, dia masih terpesona dengan wajah pemuda itu sampai tidak peduli jika di sini ada sahabatnya yang sedang berduka. "Sudah aku bilang sama kamu, kalau ke kampus mending pakai celana saja, jangan memakai rok lusuh dan kuno seperti ini. jadinya kamu dijadikan bahan ejek-ejekan lagi. Aku tahu kalau ini adalah ulah Gilang. Pemuda itu memang menjadikanmu objek untuk mempermalukanmu, setelah kamu menolak cintanya beberapa waktu yang lalu. Dendamnya nggak akan pernah terbalas sebelum melihatmu malu semalu-malunya."

"Hey, ada apa? Ada yang terjadi?" Dian akhirnya datang, dengan mimik wajah yang sangat berseri-seri. Heran sekali aku ini, kenapa ada pemuda seperti Dian, yang sangat doyan dengan urusan perempuan hingga tidak mengerti jika sahabatnya ada dalam keadaan bahaya.

"Kamu ini kemana aja sih? Kamu nggak tahu apa, kalau Rianti tadi habis diisengin sama mahasiswa baru bernama Bima. Suratnya nggak diterima, eh malah dia ngintip celana dalam Rianti di depan banyak orang. Benar-benar nggak tahu malu sekali,"

Dian agaknya kaget, aku bisa melihat mata bundarnya itu tampak melebar kemudian dia memandangku dengan tatapan paniknya itu.

Ada apa? Apakah dia baru merasa menyesal telah membiarkanku dan Dina berjalan beduaan di jalanan? Dasar, pemuda tidak peka sama sekali.

"Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya, aku diam. "Ini adalah ulah Arya, dia tahu kalau ada mahasiswa baru dengan pamor yang mengalahkannya namanya Bima, anak dari pengusaha kaya Jakarta. Karena hal itu juga, Gilang mengerjai Bima, memberikan sebuah tugas OSPEK kepada Bima dengan menyuruhnya mengirimkan surat untukmu. Gilang tahu kamu tipikal perempuan seperti apa, nggak akan pernah mau menerima surat apa pun itu alasannya. Dan benar saja, bukan hanya Bima yang mendapatkan kesulitan, malah kamu juga yang dipermalukan. Gilang pasti akan sangat bangga dengan hal ini."

Aku tidak peduli, apa yang dimaksud dengan bangga atau pun tidak sama sekali. yang jelas sekarang aku benar-benar sangat kesal, kesal dengan semua keadaan yang ada. Bagaimana bisa semuanya menjadi sangat menyebalkan, ketika ada manusia seperti Bima ada di dunia ini. Tidak seperti Zainal, meski dia pemuda kampung tapi dia adalah pemuda sopan dan berdedikasi tinggi. Pemuda yang mampu memperlakukan perempuan dengan cara baik dan benar, tanpa mecehkan perempuan sama sekali.

Kututup saja wajahku tatkala semua teman-temanku datang ke dalam kelas. Mau bagaimana lagi, aku sangat yakin kalau mereka akan mengolok-olokku sama seperti biasanya. Iya, bukankah selama ini aku menjadi bahan olok-olokan.

"Lihatlah perempuan kampung itu, dasar nggak tahu diri. Berani mencari masalah sama ketua BEM, itu akibatnya. Pasti sekarang Gilang sangat senang, tanpa perlu mengotori tangannya bisa melecehkan perempuan kampung itu dengan nyata."

"Dia sekarang nggak akan bisa selamat. Selain mencari ulah dengan Gilang, kamu tahu kan siapa pemuda yang sedang menjadi musuh barunya dan telah dipermalukannya itu? Bima! Bima si pemuda anak dari pengusaha kaya itu, nggak hanya tampan dan kaya dia juga kabarnya suka bermain perempuan, aku sangat yakin kini perempuan kampung nggak akan bisa selamat, menikmati harinya seperti di neraka mungkin adalah hal yang harus dia rasakan sekarang ini sampai lulus kuliah."

Aku kembali menghela napas panjang, bagaimana bisa mereka mengatakan hal itu padahal aku berada di sini. Dengan suara keras yang sangat luar biasa, seolah-olah aku tidak ada di sana dan tidak punya perasaan sama sekali karenanya. Jujur, aku sangat kesal. Bahkan saking kesalnya ingin rasanya aku katakan kepada mereka untuk diam. Aku adalah seorang Ndoro Putri, di kampung aku begitu dihormati, tapi bagaimana bisa di sini aku sama sekali tidak ada paling tidak diperlakukan seperti manusia pada umumnya? Hanya karena pakaianku, hanya karena prinsip yang aku bawa sampai di sini. Mereka menghakimiku seolah aku adalah pendosa yang tidak tahu diri.

"Dina, aku mau ke kamar mandi dulu," izinku kemudian. Dina langsung memegang tanganku, tatkala aku hendak pergi. Mimik wajahnya tampak panik luar biasa. Aku tahu jika Dina sedang khawatir, mimik wajahnya yang panik itu tampak sangat nyata. Ya, Dina memang kawanku yang baik, atau bisa dibilang jika Dina adalah kawanku satu-satunya. Terimakasih kepada Dina dan Dian, yang telah sudi menjadi kawanku sedari dulu sampai sekarang.

"Aku temani ya, aku nggak tega ada pemuda yang menjahatimu lagi."

"Tidak usah, aku bisa jaga diri," kubilang. Aku pun tersenyum, berjalan keluar kelas, hendak masuk ke dalam kamar mandi tapi sudah ada pemuda berperawakan tinggi besar menghadang jalannku. Rambutnya gondrong dikuncir satu, warna kulitnya sawo matang. Cukup membuat anak kecil menangis ketakutan, tapi aku tidak.

"Bagaimana, apakah kamu sudah cukup malu dari apa yang dilakukan oleh Bima tadi?" tanyanya. Aku bahkan tidak sudi untuk menjawab pertanyaannya. "Sudah kubilang, jadilah pacarku, Rianti. Kalau kamu jadi pacarku, aku akan melindungimu, dan tidak akan mengerjaimu seperti ini. bahkan Bima akan kubuat dia menjadi menderita seumur hidup."

"Maaf, tapi aku tidak sudi. Menjadi pacar dari pemuda yang tidak aku cintai hanya karena aku takut dikerjai,"

Aku langsung mendorongnya dan melangkah pergi, membuat Gilang tampak marah besar kepadaku. Kuhelakan napasku dengan berat, masuk ke dalam kamar mandi kemudian aku terduduk. Kutumpahkan air mataku yang sedari tadi aku tahan, rasanya aku benar-benar tidak betah kuliah di sini. Benar kata Kangmas, seharusnya aku kuliah saja di kampus yang ada di Purwokerto, di mana Biung dan Romo juga Kangmas berkuliah dulu. Tidak perlu aku menjadi sok keren dengan berkuliah di tempat yang jauh seperti ini, yang bahkan semua adat-istiadatnya tidak pernah aku kenal sama sekali.

Tangisanku langsung terhenti, tatkala aku mendengar suara tawa dari beberapa pemuda yang berusaha keras mereka tahan.

Siapa? Berani-beraninya mereka ada di toilet perempuan? Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana pemuda zaman sekarang senang benar membuat kekacauan. Hingga langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu toilet yang aku masuki, dan sepasang sepatu itu berdiri tepat di depan pintu.

Sepasang sepatu itu, adalah sepasang sepatu dari Bima. Aku ingat betul tadi ketika dia berhenti di depanku. Telingaku menangkap seperti suara kunci yang sedang dia pasang dengannya. Dan benar saja, tatkala kucoba buka knop pintu itu, ternyata pintunya tidak terbuka sama sekali. kurang ajar benar pemuda satu ini, apa maksudnya sampai terus-terusan mengerjaiku seperti ini,

"Buka! Buka pintunya, buka!" teriakku yang sudah mulai panik. Bukannya membuka, mereka malah semakin tertawa, hingga derap langkah itu menghilang dengan sempurna.

Gusti, apa yang harus aku lakukan? Romo, Biung, Kangmas, tolong aku!