Pagi ini, aku sengaja ikut Manis dan Asih pergi ke pasar. Memang, Kemuning saat ini masih belum memiliki pasar tradisional. Semua kebutuhan sayur-mayur, buah-buahan, lauk-pauk bahkan sampai pakaian ada di pasar Berjo. Meski kini sudah memasuki tahun 2000-an, tapi percayalah, penduduk kampungku masih tidak semaju yang ada di kota-kota. Maklum, kami tinggal di pedalaman, bisa dikatakan malah kami ini tinggal di lereng gunung, yang mana masalah kemajuan zaman, dan lain sebagainya tidak benar-benar terjamah bagi kami. Jangankan terjamah, sekadar menyapa kami pun tidak sama sekali.
Bahkan untuk masuk ke kampungku pun, tidak bisa dilalui oleh dua mobil yang beriringan, selain karena jalan yang hanya muat satu mobil, jalanan di kampungku masih belum beraspal, dan entah sampai kapan kampungku akan tetap menjadi kampung yang tertinggal. Tertinggal? Aku pikir tidak seperti itu, karena memang ini adalah khas sekali untuk kami, kampung halaman yang benar-benar asri tanpa polusi, kampung halaman yang benar-benar menyenangkan, dan menenangkan. Di mana di mana-mana masih hijau, tidak ada penebangan hutan untuk sekadar dijadikan hal-hal yang tidak bermanfaat lainnya. Dan bahkan, kendaraan paling keren di sini masih RX King, yang setiap perempuan jika dibonceng oleh pemuda memakai motor itu, mereka akan sangat bahagia dan bangga, seolah menunjukkan jati diri, tentang siapa dia sebenarnya, tentang betapa beruntung perempuan itu, yang telah terjerat oleh pemuda kaya, ya ... itu adalah hal yang sangat lucu. Namun demikian, bagi penduduk kampung, hal tersebut adalah hal yang sangat membanggakan sekali.
"Lihatlah Sumilah itu, ndhak tahu diri sekali, dia," suara itu, mulai terdengar di telingaku. Tatkala para penduduk kampung yang sedang berada di pasar tampak berbisik-bisik, setelah kulihat ada seorang perempuan sedang dibonceng oleh seorang pemuda yang memakai motor RX King. Perempuan itu memakai rok bermotif bunga mawar berwarna biru, rok selutut yang menurut penduduk kampung cukup seksi, membawa tas dari anyaman bamboo, sambil turun dengan bergaya. Rambutnya yang keriting tampak dibiarkan terurai, menampilkan sosok perempuan masa kini khas penduduk kampung, sementara yang pemuda tampak perlente, mengenakan kaca mata hitam sambil masih duduk di atas motor kebanggaannya. Aku sama sekali tidak kenal dengan mereka, mungkin keduanya berasal dari Berjo, atau mana pun, aku tidak peduli.
"Oh ya, lihat toh, bagaimana endhak. Pamornya dia itu sudah anjlok sekali, lho. Kemarin setelah dibonceng Mislan, sekarang dibonceng Ali, besok dibonceng siapa lagi? Kabarnya, Sumilah itu salah satu pengikutnya Simbah Sanuri, dukun yang ada di sudut kampung itu lho, yang terkenal ketika kita meminta pesugihan mereka harus melakukan hubungan badan dengan perempuan. Nah, si Sumilah ini yang merupakan salah satu wanita yang melayani para tamu-tamu itu. Bisa jadi Ali ini adalah salah satu dari pemuda pemalas yang ingin kaya mendadak, tahu sendiri toh, kalau Ali ini pekerjaannya apa? Dia ndhak kerja apa-apa, sama saja itu seperti si Zainal, anak janda dan bekerja hanya mengambil rumput untuk ternaknya, kambing satu ekor saja. Namun sekarang mendadak dandanannya seperti seorang Juragan saja, toh. Mamakai tesmak, juga membawa motor RX King. Benar-benar ndhak bisa dipercaya!"
Aku kembali melirik, sebab keduanya kurasa sudah benar-benar membuat risih sekali. Bagaimana tidak, seorang wanita dewasa kok gemar sekali untuk sekadar mengomentari hidup orang, padahal hidup mereka sendiri belum tentu sempurna.
"Ti, ndhak usah didengarkan. Kalau di pasar memang seperti itu, ndhak murni hanya membeli saja. Namun juga ada seikit obrolan-obrolan seperti ini, biasa. Aku yakin, kamu ndhak pernah pergi ke pasar, pergi sekali pasti kaget toh?" kata Manis. Aku langsung mendengus, kucubit saja pinggangnya, dia langung memukul lenganku karena kesal.
"Apa nanti kalau kita sudah tua akan sama seperti mereka? Tatkala kita pergi ke pasar, maka kita akan saling membicarakan orang lain? Bukankah hal ini ndhak benar sama sekali?" tanyaku, Manis kembali tersenyum.
"Kamu ini apa, toh? Masak iya, seorang Ndoro Putri sepertimu mau ke pasar setiap pagi sambil membicarakan orang. Ya ndhak pantas sama sekali, cocoknya kamu itu seperti Ndoro Putri saja, berjalan dengan angkuh menyusuri pasar, kemudian semua orang langsung menyapamu sambil sungkem. Bukankah hal itu akan sangat menyenangkan?"
"Apakah kamu sekarang hendak mengejekku, Manis? Awas saja, kalau sampai kamu mengataiku seperti ini lagi, aku akan melaporkan kepada Kangmas. Biar kamu dihukum,"
"Arjuna, ndhak berani sama aku!" percaya diri Manis.
Aku tersenyum kembali, ya ... Manis memang usianya beberapa tahun di atasku, tapi aku lebih suka memanggilnya Manis. Kami besar bersama, dan akan selalu bersama-sama selamanya. Mimpiku kelak, jika dia berjodoh dengan Kangmas Arjuna, dan bisa menikah dengan Kangmas. Dengan begitu aku tidak perlu untuk kehilangan sahabat, dan sahabatku akan menjadi mbakyuku.
"Iya jelas, Kangmas ndhak berani sama kamu. Lha wong kamu galak seperti macan."
"Seperti singa," imbuh Asih, kami semua pun tertawa karenanya.
Dan tiba-tiba ....
Buk!!!
Aku nyaris tersungkur, kalau saja tangan itu tidak menangkapku dengan cepat. Aku toleh, melihat siapa sosok yang menabrak dan juga menangkapku. Saat aku tahu jika sosok itu adalah Zainal, buru-buru aku menjauh darinya, kemudian aku segera mengambil jarak.
Di sini di pasar, ada banyak sekali orang, dan aku adalah seorang Ndoro Putri, pantang bagi seorang Ndoro Putri untuk disentuh oleh pemuda yang bukan siapa-siapanya, dan berdekat-dekatan dengan pemuda yang bukan keluarga atau pun suaminya.
"Maaf," kata Zainal, dia memandangku sekilas, tapi aku memalingkan wajahku.
Asih tampak memberi jalan, dia langsung membawa Manis pergi untuk sekadar berbelanja. Ya ... Manis memang tidak tahu, tentang perasaanku dengan Zainal. Sebab aku yakin, kalau sampai Manis tahu dia akan mengadu kepada Kangmas Arjuna tentang masalah ini, dan aku pasti sangat malu. Tidak ada sejarahnya bagi seorang Ndoro Putri, jatuh hati dulu kepada seorang laki-laki, mengemis cinta dulu kepada seorang laki-laki, dan bodohnya aku telah melakukan itu semuanya.
"Ndoro Rianti mau berbelanja bersama dengan Asih dan Manis? Tumben," kata Zainal. Aku pun tersenyum, sambil bersedekap, tidak pernah aku bayangkan berkali-kali dia menghinaku, sekarang dia mulai meremehkanku. Sebuah hal yang sangat merendahkan harga diriku sama sekali.
"Kenapa? Apakah kamu ndhak pernah melihat seorang Ndoro Putri pergi ke pasar untuk berbelanja? Sepertinya, kamu terlalu menilai tinggi aku, Zainal."
"Maaf, Ndoro. Kalau ucapanku terkesan meremehkan, atau telah menyinggung hatimu. Namun percayalah, niatku bukan seperti itu,"
"Aku tahu," kubilang, aku tersenyum kecut memandang Zainal. Kemudian, aku pandang lagi Zainal dengan tatapan yang sangat tajam. "Sekarang, kamu boleh meremehkanku, kamu boleh menolakku. Tapi nanti, aku jamin kamu ndhak akan pernah bisa melakukan hal itu. Malah-malah, kamulah yang akan mencariku sampai kamu ndhak tahu harus berbuat apa,"
Setelah mengatakan itu, aku pun beranjak pergi, hendak mendekati Asih dan Manis, tapi tiba-tiba kakiku tersandung, aku nyaris jatuh, tapi dengan sigap Zainal langsung menangkapku dengan sempurna. Zainal kini mendekapku, matanya tampak memandangku dengan begitu dalam.
"Ndoro, hati-hati. Aku ndhak mau kalaukamu sampai terluka,"