Butiran – butiran air menetes menyejukkan bumi. Daun hingga ranting pohon kebasahan akibat jatuhnya hujan yang membombardir bumi tanpa aba – aba.
"Hah!" Airin mendesah nafas berat, sepertinya Ia harus kembali naik angkot untuk segera sampai di sekolah, mengingat hari bertambah siang walau sang mentari masih terus tenggelam diantara gelapnya awan.
"Ai, berangkat dulu ya bu... Assalamualaikum." Teriak Airin dari teras rumah, sebenarnya tadi Airin sudah berpamitan dengan ibunya namun Ia termangu di teras saat tiba – tiba saja hujan deras turun dengan begitu lebatnya.
Airin berjalan di bawah rintikan hujan dengan payung sebagai pelindung dari air hujan. Disisi lain Aksara sedang mengendarai mobilnya menuju ke sekolah. Namun tiba – tiba saja ingatannya tertuju pada sosok kecil yang Ia sayang.
"Ai naik apa ya? Hujan datang tiba – tiba, semoga saja dia tak bawa motor. Pasti kehujanan. Kakak juga sedang di luar kota tak mungkin ia mengantarkanj Airin ke sekolah." Gumam Aksara sambil memutar kemudi keluar dari area perumahan elit tempatnya tinggal.
"Apa gue jemput aja ya?"
"Jemput aja deh.. tapi kalau dia menolak gimana?" Aksara terus saja bermonolog. Namun Ia tak menyadari jika nalurinya justru tanpa permisi telah menunjukkan jalan menuju ke rumah Airin.
"Kok gue lewat sini?" Aksara baru menyadari jika Ia menuju ke arah rumah Airin, namun tatapannya menangkap pemandangan di depannya yang membuat hatinya seketika ikut mendung.
"Sialan. Keduluan deh." Ucap Aksara sambil menatap sepupunya menutup pintu mobil untuk Airin.
Ya Dika mendapat mandat dari sang kakak untuk mengantarkan Airin berangkat ke sekolah. Anjasyang harus keluar kota menggantikan Tuan Marcello harus memastikan jika perempuan kesayangannya itu dalam keadaan baik.
Aksara mengikuti mobil Dika dari arah belakang, matanya terus awas mengikuti kemana arah mobil itu, walau ia tahu jika mereka akan pergi ke sekolah sama halnya dengan dirinya.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di sekolah, tiba di parkiran Aksara langsung menuju ke dalam kelas tanpa menghiraukan Airin dan Dika.
"Kenapa Lo, datang – datang muka deh suram kayak kuburan." Celetuk Aldo sambil memandang Aksara yang memasang wajah kesal.
"Brisik Lo, tanya mulu."
"Eh! Gue tuh Cuma ga mau aja ini hari udah hujan deres hawa dingin jangan ditambah dingin lagi."
"Apaan sih, ribut mulu."Alfaro duduk di samping Aksara yang masih nampak manyun.
"Eh, gue lihat Dika sama Airin barusan di parkiran." Sambung Alfaro, Aksara melirik tajam ke arah Alfaro.
"Ow, jadi karena itu." Ucap Aldo yang baru mengerti mengapa Aksara manyun.
Sementara biang keladi dari manyunnya Aksara justru nampak begitu santai memasuki ruang kelas dengan diantar oleh Dika.
'Kau memang harus aku lenyapkan.' Gumam seseorang yang menatap mereka dari kejauhan.
"makasih ya kak, udah jempaut dan anterin aku bahkan sampai kelas." Ucap Airin, Dika hanya mengangguk dengan senyuman manis yang menghias di wajahnya.
"Sama – sama, nanti pulang tunggu aku, jangan pulang duluan. Ok?"
"Hm."
Setelah melihat anggukan Airin, Dika langsung melangkah meninggalkan kelas Airin.
"Hai, Kak Dika.."
Dika menoleh ke sumber suara, "Hai.."
"Kakak kok dari sana, kan kelas kakak di sebelah situ?" Kata gadis manis sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah kelas.
"Habis antar Airin. Aku duluan ya.."
"Ok, sampai nanti kak."
Dika hanya membalas dengan senyuman, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kelasnya.
"kenapa kalau sama Airin, kak Dika selalu nyaman dan bisa tersenyum begitu manis, bahkan sikapnya pun manis, sedangkan sama aku?Huh!" gadisitu membuang nafas kasar sambil menatap Dika yang berjalan menjauh. Gadisitu kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kelasnya sendiri.
Sedangkan di ruang kelas, Anastasya menatap penuh ejek pada Airin, sambil bersandar di meja milik Airin, Anastasya mulai meluncurkan kata – kata kasar pada Airin.
"Lo, itu udah ga bisa gaet Aksara, kini beralih pada Dika? Hah! Jadi cewek jangan murahan!" Ujar Anastasya,
"Dan awas saja Lo, kalau ga bisa berhasil deketin Dika lo gantian deketin Alfaro, dia milik gue! Paham?"
Airin masih saja terdiam dan tak mengeluarkan sesuatu kata pun pada Anastasya hingga membuat anas geram.
BRAAKK!
"Denger ga si Lo, gue ajakin ngomong." Geram Anastasya.
"Oh, kamu ngomong sama aku?"
"Dasar kurang ajar!" Anastasya hendak memukul Airin namun berhenti saat mendengar suara seseorang.
"Ngapain Lo, Nas? Buang – buang waktu buang energi tahu ga ngomong sama gadiskayak gitu, mending kita ke kantin, gue belum sarapan nih laper." Ucap Amanda seraya menarik tangan Anastasya menjauh dari Airin.
Maria menatap kedua gadis most wanted sekolah dengan penuh tanya, lalu menatap pada Airin yang masih duduk dengan tenang di kursinya.
"Lo ga di apa – apain sama nenek lampir itu kan?" Tanya Maria setelah mendudukan dirinya di kursi depan Airin.
Airin mengeleng.
"Kirain, gerombolan nenek lampir tadi jahatin Lo lagi."
"Tenang aja sih, biarin aja mereka mau apa, lagian aku udah ga terlalu perduli dengan mereka, mau jungkir balik di depan akupun aku ga akan peduliin." Jawab Airin lalu tersenyum pada Maria.
"Lo itu memang hebat, ga pernah nyerah dengan keadaan, terus Lo sama Aksara gimana?" Tanya Maria.
"Maksud kamu?"
"Ya udah baikan belum sama Aksara?"
Airin menarik nafas panjang, rasanya Ia lelah jika harus membicarakan tentang Aksara, bukan karena Ia benci pada laki – laki itu, tapi karena hatinya yang mulai jujur tentang apa yang di rasakannya kini terhadap Aksara.
"Ga tau lah, biarkan saja begini, lagian aku Cuma anak sopir ga seharusnya aku deket – deket sama dia, malah selalu bikin dia celaka."
"Lo kok ngomongnya gitu sih?"
"Ya itu yang di katakan Aksara waktu itu sama aku kan? Bahkan aku yakin kamu pun denger."
"Tapi ya jangan kayak gitu juga kali, Ai.."
"Terus harus gimana?"
Maria hanya diam tak menjawab lagi, Ia pun bingung harus berkata apa. Sampai akhirnya guru kelas mereka hadir untuk memulai pelajaran.
Sementara di kantor, Marcelo sedang berbicara dengan Tara perihal mami Aksara yang telah kembal.
"Kamu serius dia telah kembali ke kota ini lagi?"
"Saya serius Tuan, ini buktinya." Tara memberikan tablet yang berisi tentang gambar – gambar Senja yang sedang berada di bandara dan saat keluar dari Bandara hingga sesampainya di sebuah rumah yang sederhana namun terlihat asri. Dan Marcelo sangat paham dengan rumah itu.
"kenapa Senja kembali kerumah itu?" Tanya Marcelo pada Tara dengan dahi berkerut.
Rumah itu telah lama tak berpenghuni, walau setiap minggu akan ada seseorang yang membersihkan rumah itu, namun Marcelo tak mengerti mengapa Senja justru kembali ke rumah itu dan bukan ke rumah milik nya sendiri yang juah lebih mewah.
"Saya masih menyelidikinya Tuan."
"Cepat selidiki, apa hubungan Senja dengan Dina."
"Baik, Tuan."
Tara langsung keluar dari ruangan tuan Marcelo, sepeninggal Tara Tuan Marcelo masih memikirkan apa sebenarnya yang terjadi.