"Bu, Airin berangkat dulu ya."
"Hati – hati ya, ingat jangan makan sembarangan nanti alergi nya kambuh lagi." Pesan sang ibu saat Airin mencium pungung tangannya.
"Iya bu, lagian hari ini Airin bawa bekal kok, ga akan kena alergi lagi, kan ini masakan ibu."
"Ya sudah, sana berangkat. Hati – hati."
"Ya bu."
Rambut panjang hitam legam terkuncir rapi di belakang. Dengan menenteng tas pungung Airin berjalan keluar rumah. Sang ayah yang bekerja sebagai sopir pribadi sekaligus bodyguard tentunya sudah lebih dulu berangkat sejak pagi tadi.
"Selamat pagi Airin."
Airin tersenyum saat melihat seorang laki – laki muda dengan pakaian jas kerja rapi masuk ke halaman rumahnya.
"Kak Anjas, ada apa pagi – pagi kemari?" Tanya Airin ceria seperti biasanya.
"Jemput kamu."
"Jemput aku? Aku kan bisa berangkat sendiri, tuh motornya sudah di siapkan oleh ayah."
"Jangan berangkat sendiri lagi pula kamu baru saja sembuh, biar kakak saja yang antar."
"Kakak nanti terlambat masuk kantor, kenapa marah baru tahu rasa."
"Siapa yang akan marah pada kakak? Om Marcel sendiri yang menyuruh kakak untuk anter kamu."
Airin terdiam untuk sesaat.
"Kok diam? Ayo berangkat nanti kamu terlambat loh."
"Ai… sudah sana berangkat sama kak Anjas." Ujar sang ibu.
Airin menoleh pada sang ibu lalu mengangguk, "Iya bu."
Airin segera bergegas mengikuti langkah Anjas menuju ke sebuah mobil yang terparkir di depan halaman rumah. Tak jauh dari mereka terlihat Aksara yang men atap keduanya dengan perasaan entah lah. Antara senang sedih namun yang jelas ada rasa kehilangan yang sangat di dalam hatinya.
"Apa yang harus gue lakukan?" Gumam Aksara.
Wusss!!
Aksara memalingkan wajahnya saat mobil yang di kendarai oleh Anjas melewati dirinya.
'Benarkan? Kamu pasti ngikutin. Tadi aja di suruh jemput Airin ga mau.' Batin Anjas sambil menatap Aksara melalui spion mobil.
"Ada apa kak kok senyum – senyum gitu?" Tanya Airin sambil menatap Anjas yang menambah lebar senyumannya.
"Ga ada apa – apa."
"Kamu pulang sekolah ada acara ga?" Tanya Anjas.
"Ehm. Sepertinya tidak. Kenapa kak?"
"kakak mau ajak kamu ke tempat teman kakak yang kakak ceritakan tempo hari sama kamu."
Airin menoleh pada Anjas. Ia ingat benar siapa teman yang di maksud.
"Airin jadi ngerepotin kakak."
"Sama sekali tidak."
"Sebenarnya kakak tidak perlu repot – repot pesan sepatu satu lagi buat aku, ini saja sudah cukup." Kata Airin sambil menunduk.
"Ai, kakak tidak merasa di repotkan. Kamu, Aksara dan Dika kalian semua adik kakak." Ucap Anjas penuh keseriusan.
"Terima kasih kak. Airin memang tidak punya kakak kandung, tapi dengan adanya kakak dan kak Dika selama ini sudah cukup untuk Airin. Kalian itu anugerah yang indah dari Tuhan untuk Ai."
"Aksara bukan anugerah?" Goda Anjas.
Airin melengos, "Ga tau kak."
"kalau cinta itu bilang, jangan main sembunyi – sembunyian." Anjas tersenyum lebar.
"yang sembunyi – sembunyian itu siapa?"
"kamu sama Aksara."
"Jika Aksara inginnya menjauh dari aku, buat apa juga aku harus dekatin dia kak. Lebih baik aku sadar diri dengan menjauh juga."
"Memang Aksara bodoh dalam hal perasaan. Keras kepalanya sama seperti Om Marcel."
"maka biarkan saja dia dengan kebodohannya." Jawab Airin lalu tersenyum pada Anjas yang tertawa cekikikan membayangkan Aksara yang selalu uring – uringan antara Ia ingin bersama dengan Airin atau menjauhinya.
Airin yang sering terpuruk karena sikap Aksara, kini mulai memudar karena Anjas yang selalu memberikan support untuk Airin.
Mobil yang mereka tumpangi tak terasa telah sampai di sekolah Airin. Bisa Anjas lihat jika Aksara telah lebih dulu sampai di sekolah itu berarti Aksara memacu motornya dengan kecepatan di atas rata – rata.
"Aksara sudah sampai, kamu hati – hati ya.."
"Iya kak, kakak juga hati – hati."
"Hubungi kakak jika ada sesuatu."
"Ok kak."
Airin keluar dari mobil Anjas lalu masuk ke dalam gerbang sekolah dengan tatapan tajam dari Aksara. Namun Airin pura – pura tak melihat.
"Dasar si kunyuk!" Gumam Airin sambil berlalu melewati kerumunan siswa yang sedang bercengkerama.
"Eh anak baru!" Panggil salah satu siswa yang berada diantara gerombolan siswa.
Airin tak mengubris, Ia terus saja berjalan menuju ke kelasnya.
"Eh kamu budek ya! Dipanggil diam aja." Siswa tadi langsung menarik tangan Airin hingga tubuh kecil Airin limbung dan hamper terjatuh, Aksara yang melihat itu pun tak tinggal diam. Secepat kilat Ia langsung berlari. Aksara sengaja menabrak tubuh Airin agar dapat terlepas dari cengkeraman siswa yang tadi menarik pergelangan tangannya.
"Aduh!" Airin mengaduh karena memang kakinya terasa ngilu.
"Sorry gue ga sengaja." Ucap Aksara lalu menoleh pada siswa yang tadi mengengam pergelangan tangan Airin.
"Eh lo dipanggil pak security tuh kayak nya ada barang lo yang ketinggalan." Ucap Aksara pada siswa yang menganggu Airin. Sedangkan Airin hanya menatap Aksara.
"Gue?"
"Iya elo. Lo yang namanya Abraham kan?"
"Iya kak."
"Ya udah sana cepetan entar keburu masuk lho." Ucap Aksara tanpa mengetahui jika Airin taka da lagi di sampingnya.
Aksara menoleh mencari keberadaan Airin saat siswa yang bernama Abraham tadi pergi meninggalkan mereka.
"Ya, gagal deh si Abraham dapetin tuh cewek baru. Bisa – bisa kalah taruhan dia." Celetuk salah satu siswa yang lain.
"lagian strateginya salah sih, bukannya pakai cara manis, eh dia malah ngajak perang tuh cewek." Ucap siswa yang lain.
Aksara masih mendengarkan perkataan mereka meskipun tubuhnya telah berbalik hendak pergi dari tempat itu.
"Sialan!" Gumam Aksara lalu pergi dari kerumunan para siswa adik kelas nya itu.
"Belum tahu kalian berurusan dengan siapa." Lagi – lagi Aksara bergumam saking kesalnya.
BRAK!
"Kenapa lagi sih lo?" Tanya Aldo yang sulit memahami sikap Aksara akhir – akhir ini.
"Jangan – jangan beneran lo lagi PMS." Ucap Alfaro menimpali Aldo.
"Sialan lo bedua." Katus Aksara.
"Terus Lo kenapa datang – datang langsung marah – marah gitu. Tadi gue ajak bareng ga mau."
Aksara menarik nafas panjang, "Tuh si adik kelas brengsek bisa – bisa nya mereka jadiin Airin bahan taruhan."
"Terus hubungannya sama elo apa?" Tanya Aldo dan Alfaro kompak. Bukankah selama ini Aksara tak peduli dengan Airin bahkan tak mau ambil pusing tentang gadis itu? Lalu kenapa sekarang Ia jadi marah saat Airin dijadikan bahan taruhan?"
"Ya ga suka aja gue."
"Alasannya?" Tanya Aldo dan Alfaro berbarengan dengan mata yang menatap tajam pada Aksara.
"Karena…" aksara bingung mau menjawab apa.
"Memang harus ada alas an, itu salah satu penindasan terhadap perempuan. Makannya aku ga suka." Jawab Aksara yang justru mengundang tawa dari kedua sahabatnya. Untung saja Dika belum tiba di sekolah, bisa – bisa Aksara menjadi bahan bullyan saudara sepupunya itu.
"Bilang aja kalau elo tuh suka sama tuh cewek, pakai alasan muter – muter segala, penindasan segala di bawa – bawa kayak orang lagi demo." Ucap Aldo lalu tertawa puas.
Dan jangan di Tanya bagai mana wajah Aksara kini. Antara malu dan juga entah lah..