"Di mana putrimu?"
Nenek Sari baru saja keluar dari kamarnya. Ia berjalan sangat lamban untuk sampai ke meja makan, menghampiri Bik Arum, putrinya yang tengah duduk melamun.
"A-ah, ibu." Bik Arum seketika membuyarkan lamunannya dan bergegas membantu Nenek Sari untuk duduk.
"Ibu segera sarapan, ya. Nasi goreng yang aku siapkan sejak tadi bahkan sudah dingin," sambung Bik Arum.
"Ke mana Juwita?" ucap Nenek Sari mengulang pertanyaannya.
"Ah, Juwita, dia baru saja pamit ke sekolah." Bik Arum menerangkan sembari mengelap pipinya yang sedikit berair.
"Apakah kau baru saja menangisi keadaan putrimu?"
Bik Arum tercekat, ia kembali duduk di tempatnya kemudian mulai mengambil sepiring nasi goreng untuk Nenek Sari.
"Apakah aku terlihat seperti orang yang bersedih? Aku hanya terharu melihat kegigihan putriku dalam menempuh pendidikan, ibu," elak Bik Arum.
"Ya, itu benar. Lebih baik lagi jika hatimu tergerak untuk memperbaiki hidupnya. Maksudku, nasibnya!" pekik Nenek Sari.
Bik Arum hanya menghela napas pendek, lalu mendekatkan sepiring nasi goreng untuk Nenek Sari.
"Ibu, habiskan sarapanmu." Bik Arum berucap pelan dengan raut wajah tidak bergairah.
Nenek Sari menatap tanpa selera sepiring nasi goreng di hadapannya.
"Terlalu banyak mengonsumsi obat, membuatku perlahan-lahan kehilangan selera makan. Seolah lidahku sudah begitu akrab dengan rasa pahit, sehingga menikmati makanan apapun rasanya tidak akan jauh berbeda dengan obat-obatanku," papar Nenek Sari.
"Tetapi ibu harus tetap makan untuk mendapatkan energi!" sergah Bik Arum memperingati.
"Energiku selalu terkuras habis ketika melihat keluarga kecilku dalam kesulitan. Aku ingin mereka selalu hidup bahagia tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Arumi, apakah kau tahu? Sesuatu yang paling kuinginkan di penghujung usiaku saat ini, adalah melihat cucuku, Juwita, hidup bahagia dan berkecukupan!" beber Nenek Sari dengan sorot kedua mata yang tegas.
Bik Arum mengawasi wajah renta di hadapannya itu, ia mendengarkan dengan sangat baik setiap kata yang keluar dari mulut nenek tua berambut putih tersebut.
"Apakah kau pikir, di dunia ini ada seorang ibu yang menginginkan putrinya hidup menderita? Apakah ada seorang ibu yang hatinya baik-baik saja ketika melihat putrinya dalam kesusahan? Aku sama sepertimu, ibu. Yang selalu berharap dan berusaha keras agar hidup putrinya jauh lebih baik daripada dirinya sendiri. Selama ini aku berusaha keras untuk itu, meski nasib buruk seringkali menimpaku." Bik Arum kembali menitikan bulir air di pelupuk matanya, mengingat saat ia dipecat dari pekerjaannya dan ketika pencopet jahanam itu merampas seluruh uangnya.
"Setidaknya, saat ini kau mempunyai kesempatan yang jauh lebih baik. Pilihan itu ada di tanganmu sendiri," imbuh Nenek Sari.
Bik Arum sedikit tercekat, kedua alisnya mulai mengernyit.
"Maksud ibu?"
"Tawaran dari Tuan Besarmu itu...," ungkap Nenek Sari sedikit canggung.
Seketika kedua bola mata Bik Arum membulat sempurna.
"Ibu mengetahuinya?" pekik Bik Arum.
Nenek Sari menganggukkan kepala dengan lamban.
"Ya, ketika aku tidak mendapatkan jawaban darimu. Aku berusaha mencarinya sendiri!" sergah Nenek Sari.
Bik Arum membuang napasnya, ia tak menduga bahwa nenek tua renta itu bisa bertindak dengan nekat, untuk sekedar mengulik sesuatu yang coba Bik Arum sembunyikan.
"Lalu, setelah mengetahui hal itu. Apa yang ingin ibu katakan?" tegas Bik Arum.
Nenek Sari hanya terdiam untuk beberapa saat, ia seolah tengah mengumpulkan keyakinan untuk mengutarakan maksudnya.
"Aku hanya merasa, saat ini, setelah seluruh uangmu hilang tanpa sisa, yang terbaik adalah menerima tawaran dari Tuanmu itu...,"
"Apa?" potong Bik Arum dengan raut tak percaya.
"Ya, kau terima tawaran dari mantan majikanmu itu!" imbuh Nenek Sari menegaskan.
"Maksudmu, aku mengirim putriku sendiri ke kota untuk bekerja sebagai pelayan?" pekik Bik Arum dengan wajah yang mulai memerah.
"Bukankah itu lebih baik, daripada Juwita harus berjualan lebih keras lagi untuk sekedar menyambung hidup dan juga sekolahnya? Selama ini saja, ia sudah cukup banyak mengalah dan berkorban. Dia lebih mengutamakan biaya pengobatanku daripada kebutuhan sekolahnya sendiri. Kau lihat, kan? Bagaimana penampilannya saat akan pergi sekolah? Semua yang ia kenakan tampak sudah tidak layak pakai. Apakah kau mau melihatnya terus-menerus menahan malu sampai tiba hari kelulusannya?" papar Nenek Sari dengan getir.
"Ya, aku tahu, dan tentu saja hatiku sakit melihatnya! Tetapi mengirimnya ke kota untuk bekerja, tidak lebih baik dari apapun! Bahkan ibu tahu Juwita adalah seorang pelajar, tugas dan tanggung jawabnya hanya belajar dengan baik di sekolah! Sementara bekerja untuk mencari nafkah adalah tugasku sebagai orangtua," bantah Bik Arum keberatan.
"Paling tidak Tuanmu telah memberikan jaminan masa depan cerah untuk putrimu! Lagipula, pekerjaannya tidaklah cukup berat. Juwita hanya perlu mendampingi putri semata wayangnya itu setiap saat, bukan? Tidakkah kau berpikir, bahwa berteman dengan seorang Tuan Putri lebih baik daripada harus terus-menerus berjualan kue? Paling tidak, satu kali dalam hidupnya, Juwita dapat merasakan bagaimana indahnya hidup di sebuah istana megah. Juwita bisa makan apapun yang dia inginkan di sana, tidur di ranjang yang lebih baik daripada miliknya sendiri. Bahkan, dia dapat berbaur dengan orang-orang elite di sekolah barunya nanti!" papar Nenek Sari dengan sorot mata penuh harapan.
Sekali lagi, Bik Arum hanya menghela napasnya. Sebuah desah kehidupan yang menyiratkan makna bahwa kenyataan sebenarnya tidaklah seindah khayalan Nenek Sari. Bik Arum pun telah mengalaminya sendiri. Bagaimana angkuh dan congkaknya Nona Purie. Betapa perannya di dalam rumah itu selalu saja direndahkan oleh gadis cantik yang sebaya dengan putrinya sendiri itu.
"Tetapi kehidupan di perkotaan sesungguhnya lebih kejam! Hiruk-pikuk kehidupan di kota besar tidaklah cukup aman bagi putriku yang lugu. Bagiku, hidup bersama di desa jauh lebih menentramkan. Meski dalam kondisi serba kekurangan," keluh Bik Arum.
Nenek Sari menatap lekat-lekat wajah Bik Arum. Seolah ia ingin meyakinkannya bahwa pilihan tersebut tetap jauh lebih baik untuk Juwita.
"Kalau memang seperti itu menurutmu, bagaimana kalau kita serahkan pilihan tersebut pada Juwita. Biarkan dia memilih sendiri jalan menuju masa depannya kelak!" anjur Nenek Sari.
"Tidak!!!" protes Bik Arum dengan cepat.
"Aku bahkan tidak ingin Juwita sampai mengetahui hal ini! Aku harap ibu tidak sekalipun membuka mulut perihal ini kepada putriku," sambung Bik Arum memohon dengan sangat.
"Kenapa tidak boleh, ibu?"
Seketika suara itu menyita perhatian Bik Arum dan juga Nenek Sari. Keduanya dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah suara gadis yang tiba-tiba hadir di tengah mereka.
"Ju-Juwita?" gumam Bik Arum dengan raut takjub.
"Cucuku?" gumam Nenek Sari tak kalah terkejut.
"Kau, be-lum berangkat ke sekolah?" tutur Bik Arum sedikit terbata.
Juwita hanya tersenyum tipis, air mukanya menampakkan bahwa ia tengah menahan kesedihan yang mendalam.
"Aku hendak pergi ke sekolah, tetapi akhirnya aku mengingat sesuatu, bahwa aku melewatkan kotak makanan di hadapan ibu." Juwita berjalan mendekat pada ibunya, kemudian mengambil sesuatu di atas meja.
"Ibu, bukankah kau menyiapkan ini untuk teman-temanku di sekolah? Kue-kue ini adalah tester rencana produk kita selanjutnya, kan? Mengapa bisa kita berdua lupa secara bersamaan?" sambung Juwita dengan nada suara yang mulai getir.
Bik Arum hanya terperangah, tak percaya bahwa rupanya Juwita bahkan telah mengetahui seluruh rahasia yang coba disembunyikannya.
"Ah, i-iya." Bik Arum menatap putrinya dengan canggung.
"Baiklah, kita akan bahas soal ini lagi nanti! Aku harus bergegas pergi ke sekolah sekarang juga."
Juwita mengemas satu kotak kue ke dalam tas sekolahnya. Dengan raut wajah menahan sedih dan pilu akibat tak sengaja mendengar seluruh percakapan antara sang ibu dengan sang nenek, yang memperdebatkan perihal tawaran pekerjaan untuk Juwita sebagai pelayan di rumah mantan majikan ibunya. Tak lama kemudian Juwita bergegas pergi meninggalkan sang ibu dan sang nenek yang masih terperangah atas kemunculannya.
*****