Bangunan gedung-gedung pencakar langit berderet di sisi kanan dan kiri. Jalan aspal yang teramat mulus dan bersih pun turut memanjakan mata. Kini, Juwita telah berada di dalam mobil mewah nan nyaman, tepatnya di kursi belakang. Sementara Pak Aldo, sopir sekaligus orang kepercayaan Tuan Seno itu fokus menyetir di depan. Keduanya tengah menempuh perjalanan menuju perusahaan milik Tuan Seno. Entah mengapa Tuan Seno memintanya datang ke sana, bukan mendatangi langsung ke rumahnya saja.
"Saya dengar dari Tuan, Nona ini merupakan putri tunggal Bik Arum, ya?" cetus pria paruh baya berseragam serba hitam itu mengawali pembicaraan.
Dari pantulan kaca spion dalam, wajah Juwita tampak sedikit canggung. Ia pun menganggukkan kepala dengan lamban.
"I-iya, betul sekali, Pak!" sahut Juwita.
"Pantas saja, kau terlihat begitu ramah, baik dan cantik, persis seperti ibumu!" timpal Pak Aldo.
Senyuman kecil mulai terukir di bibir mungil Juwita.
"Terimakasih, Pak. Tetapi, omong-omong, kalau Bapak sudah mengetahui bahwa saya adalah putri kandung Bik Arum, mengapa Bapak memanggil saya dengan sebutan Nona?"
"Memangnya apa yang salah dengan panggilan itu?"
"Tidak ada. Hanya saja, saya merasa tidaklah layak mendapat panggilan tersebut. Sebab, saya bukanlah putri dari keluarga kaya raya. Saya hanyalah seorang putri dari seorang mantan pelayan Tuan Besar."
"Loh, loh, memangnya ada peraturan semacam itu? Bagi saya, sebutan Nona merujuk pada gadis yang lebih muda usianya dibandingkan dengan saya." Pak Aldo pun tertawa kecil menimpali kepolosan Juwita.
Seketika tawa Juwita mengisi ruang mobil yang awalnya begitu hening.
"Ya, Bapak benar juga!" sahut Juwita.
Pak Aldo memerhatikan wajah lugu Juwita dari pantulan kaca spion dalam. Ia merasa lebih leluasa, ketika gadis polos yang awalnya tampak begitu canggung dan tak banyak bicara itu akhirnya mulai mencair.
"Nah, seperti itu! Tertawalah! Jangan terlalu sungkan dengan saya. Kalau kau begitu kaku di hadapan seorang sopir pribadi Tuan Besar, bagaimana saat berhadapan langsung dengan Tuan Besar?" sergah Pak Aldo.
Juwita tersipu malu sembari membenarkan posisi tas selempang miliknya.
"Maafkan saya, Pak. Saya hanya tidak pandai berinteraksi dengan orang baru. Apalagi dengan orang-orang kota seperti Bapak," ungkap Juwita.
Pak Aldo kembali terkekeh.
"Memang apa yang membedakan orang kota dengan orang desa? Apakah orang kota terlihat begitu menakutkan dibanding orang desa yang begitu ramah?"
Juwita menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis.
"Bukan begitu, Pak. Entah mengapa saya selalu merasa bahwa orang kota dengan orang desa itu berbeda kasta. Saya merasa bahwa tidaklah selevel dengan mereka," tutur Juwita dengan raut pesimis.
"Itukan pemikiranmu saja! Mulai sekarang, buang jauh-jauh pikiran tersebut! Sejatinya kita semua adalah mahluk Tuhan yang lemah! Karena itu kita hidup untuk saling melengkapi satu sama lain! Orang sekaya raya apapun, tetap membutuhkan orang kecil seperti kita untuk membantu segala keperluan mereka, bukan? Seperti Tuan Besar yang memerlukan tenaga sopir pribadi seperti saya. Beliau juga mempekerjakan banyak orang di rumahnya dengan tugas masing-masing, agar segala keperluan rumah dapat terurus dengan baik," pungkas Pak Aldo membesarkan hati Juwita.
Juwita mengangguk lamban.
"Ya, Bapak sangat benar!" sahut Juwita.
"Nah! Seperti itulah kehidupan! Roda di atas ataupun di bawah hanyalah berdasarkan sudut pandang! Kau hanya perlu menjalani peranmu dengan sebaik mungkin. Jangan memperbudak tubuhmu dengan pemikiran-pemikiran sempit!" papar Pak Aldo menasehati, layaknya seorang ayah yang tengah mengajarkan makna kehidupan pada putri kecilnya.
Betapa raut wajah Juwita tampak haru, mendengar setiap perkataan pria paruh baya yang begitu mahir mengendarai mobil itu. Sosoknya yang hangat dan bijak, dan perawakannya yang besar dan tinggi tegap, berhasil mengingatkan Juwita pada sosok mendiang ayahnya. Sudah begitu lama ia tak mendapatkan petuah-petuah bijak dari seorang ayah.
"Baik, Pak. Mulai saat ini saya akan berusaha untuk lebih percaya diri dalam menjalani hidup."
Senyuman lebar pun kian merekah di bibir Pak Aldo yang dihiasi kumis tebal itu.
"Itu bagus! Kau pun harus tahu, bahwa Tuan Besar dan semua orang yang ada di dalam rumahnya merupakan orang-orang baik! Kau akan aman dan tentram di sana. Kecuali, jika kau berurusan dengan Nona Purie!" tandas Pak Aldo dengan raut yang mendadak serius.
"Nona Purie? Maksud Bapak, putri semata wayangnya Tuan Besar?"
Pak Aldo mengangguk.
"Ya. Sebetulnya Nona Purie adalah anak baik dan periang. Tetapi itu dulu, sebelum ia kehilangan sosok Maminya untuk selama-lamanya. Sepeninggalnya Nyonya Winona, sikap Nona Purie berubah sangat drastis. Ia menjadi sosok yang begitu tertutup, manja, kekanak-kanakan, egois dan pemarah! Kau juga pasti tahu, bahwa penyebab ibumu dipecat adalah karena permintaan Nona Purie?"
Seketika Juwita tersentak, bahkan ia baru mengetahui kabar tersebut dari mulut Pak Aldo saat ini. Juwita mengangguk ragu sembari menelan salivanya.
"Ya. Ibumu dipecat bukan karena dia orang yang tidak baik. Hanya saja ia melakukan kesalahan yang sepele menurut kita namun begitu fatal menurut Nona Purie. Entahlah, biar bagaimanapun, dia selalu berhak mengatur hidupnya sendiri maupun hidup orang lain!" papar Pak Aldo dengan raut sedikit ketus.
Tanpa diketahui oleh Pak Aldo, saat ini hati Juwita begitu meringis kesakitan. Betapa ia mendadak merindukan sosok ibunya. Juwita ingin sekali memeluk tubuh sang ibu untuk meredakan pilu atas kemalangan yang menimpanya. Namun Juwita berusaha keras untuk mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak terbaca oleh Pak Aldo.
"Mungkin, Nona Purie merasa begitu kesepian sehingga ia mencari pelarian untuk meluapkan emosinya." Juwita menjawab dengan raut dan nada datar.
"Ya, sayangnya orang sebaik ibumu yang menjadi korban!" sergah Pak Aldo.
"Ya, anggap saja saat ini memang sudah waktunya untuk ibuku beristirahat. Kini giliran saya yang melanjutkan perjuangannya," imbuh Juwita mencoba membesarkan hati.
Pak Aldo tersenyum kecil, menyaksikan reaksi Juwita yang tampak begitu tenang dan bijak.
"Kau benar-benar anak baik! Kuharap kau dapat mendampingi Nona Purie dengan sabar! Kau harus banyak belajar dari pengalaman ibumu selama bekerja di rumah itu. Biar bagaimanapun, Nona Purie adalah anak semata wayang kesayangan Tuan Besar. Tidak ada lagi yang paling berharga bagi Tuan Besar di dunia ini selain Nona Purie" papar Pak Aldo.
Juwita menganggukkan kepala sembari tersenyum kecil.
"Saya akan bekerja sebaik mungkin, demi ibu dan juga masa depan saya," imbuh Purie.
Pak Aldo tampak tersenyum bangga mendengar ucapan Juwita barusan.
"Pilihan Tuan Besar memang selalu tepat!" gumam Pak Aldo seraya tersenyum simpul.
Setelah melakukan perjalanan sekitar dua puluh menit, Pak Aldo pun akhirnya memarkirkan mobil mewah milik Tuan Seno itu, di halaman parkir sebuah gedung perusahaan yang besar nan tinggi menjulang. Seketika Juwita terperangah tak percaya, untuk beberapa saat ia memandangi gedung perusahaan yang megah dengan mulut menganga. Ini adalah kali pertama bagi Juwita, mengunjungi sebuah perusahaan besar atas dasar undangan langsung dari sang pemiliknya.
***