Malam itu terasa meriah, suara alunan DJ terdengar menggema memenuhi ruangan. Ada banyak tamu berada di sana. Namun, jika dilihat dari pakaian dan aksesoris yang mereka gunakan, mereka bukanlah orang sembarangan. Mereka kalangan elit bergelimang harta. Dimulai dari jam tangan rolex, tas dan sepatu juga pakaian dari brand ternama seperti Gucci, LV dan merek lainnya yang bukan berasal dari Indonesia. Semua berabur bintang di tengah gemerlapan.
Diantara banyaknya tamu yang ada, hanya seorang wanita yang terlihat begitu memesona. Bertubuh tinggi dan berkulit putih yang diyakini sosialita ternama. Wanita itu begitu asik menari di depan seorang pria dewasa dengan setelan yang tak kalah mewahnya.
Menarik mengikuti nada sambil terus meliuk-liukkan tubuhnya yang seperti gitar spanyol. Gaun berukuran pendek bewarna hitam dengan kalung berlian putih semakin membuat dirinya bersinar. Polesan tipis menutupi wajah tirusnya berhasil menunjukkan keanggunan. Rambut warna cola itu pun ikut bergerak menunjukkan sisi feminimnya. Tak heran jika ada banyak mata yang menatap takjub ke arahnya.
Seakan waktu terhenti, musik terus saja mengalun memeriahkan suasana. Tak terlihat lelah dan semakin bersemangat. Begitu pula dengan gadis yang dipanggil Mona. Ia terus saja menari dengan seksinya, menjulurkan kedua tangan ke arah atas sambil terus menggenggam gelas berisi minuman. Keberadaannya sungguh menjadi pusat perhatian banyak mata karena lekuk tubuhnya terbentuk jelas selama ia menari.
Terhipnotis, tidak ada seorang pun yang tahan untuk tidak menari. Terkecuali seorang pria yang kini berdiri di pintu masuk. Wajah dan sikap tubuhnya tak seperti tamu lainnya. Ia seperti merasa tak nyaman dan kebisingan dengan keadaan yang ada. Namun, tatap matanya terus saja mengarah pada Mona. Tatapan kesal bercampur geram itu mendadak lupa berkedip. Meski ruangan cenderung gelap dan hanya diterangi dengan lampu sorot yang terus bergerak, namun keberadaannya ternyata disadari pria yang menjadi teman menari Mona.
"Eh, ada yang ngeliatin kamu terus tuh! Kamu kenal?" bisik pria itu tepat di telinga Mona, sambil melirik ke arah pria yang masih saja berdiri di depan pintu.
Seketika mata Mona mengarah ke arah yang sama, dengan acuhnya Mona berucap, "Enggak tuh!" tak lupa ia menaikkan kedua bahunya, lalu kembali menari menikmati lagu.
"Kamu yakin enggak kenal?" tanya pria itu kembali dengan perasaan curiga. Entah mengapa meski suasana meriah dengan lampu meredup pria itu merasa takut akan tatapan kemarahan yang laki-laki itu berikan.
"Biarin aja! Emang ada yang enggak tertarik dengan Mona?" ungkap Mona dengan penuh angkuh. Kembali meneguk minuman yang ada di genggamannya, lalu menyandarkan tangan kirinya di bahu sang pria. Kembali menari dengan jarak yang kian dekat.
Tak ingin melewati kesempatan yang ada. Pria itu lantas dengan sengaja meletakkan kedua tangannya tepat di pinggang Mona sambil terus menatap puas wajah wanita yang begitu cantik. Apalagi bibirnya, merah dan begitu menggoda.
Rasa kesal pun berubah menjadi kemarahan. Lelaki yang sedari tadi menatap itu pun pergi dengan tangan mengepal dan gemetar. Langkahnya terdengar gagah menghentak marmer hotel.
"Kenapa harus aku yang jadi pasanganmu sih? Walaupun aku enggak cinta, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya. Kamu pikir pernikahan itu main-main. Aku juga bisa berhubungan dengan cewek lain," gerutu lelaki yang diketahui bernama Bara. Dengan penuh tekanan dan kekecewaan, Bara meraih gawai dan membuka aplikasi yang bernama "Teman Tidur", memilih salah satu wanita dan mulai menghubunginya. Membuat janji temu untuk melampiaskan hasratnya yang sudah enam bulan lamanya tak tersalurkan. Sesungguhnya ini bukanlah hal yang sulit untuknya, karena jauh sebelumnya ia tak pernah mendekati maupun berkencan dengan wanita. Hanya Mona satu-satunya wanita yang dekat dengannya, meskipun kedekatan mereka hanya karena perjodohan terpaksa yang berujung pada pernikahan dengan banyak syarat di dalamnya. Namun, ia tidak menyangka Mona sangat keterlaluan dan tak menghargai dirinya.
"Mas!" seru Cassie yang dengan sengaja berbisik lembut di telinga Bara. Bisikan bernada penuh desah itu menimbulkan angin hingga membuat rambut di sekitar pundak Bara berdiri seketika.
"Yah!" sahut Bara yang kembali berusaha menjauhkan diri dari Cassie.
"Itu kamarnya, 212 kan?" tegur Cassie yang ternyata sedari tadi melirik kunci yang berada dalam genggaman tangan Bara.
"Oh, iya," jawab Bara kikuk. Mendadak Bara merasa gelisah, takut dan malu, semua rasa bercampur menjadi satu. Membuat jantungnya berdegup tak karuan diiringi dada yang terasa sesak.
"Are you okay?" tanya Cassie. Tangannya membelai lembut leher belakang Bara, seakan menunjukkan rasa perhatiannya. Namun, senyum sungging yang Cassie perlihatkan menjelaskan betapa isengnya dia.
"Okey!" jawab Bara tegas, segera membuat pintu dan meminta Cassie masuk terlebih dahulu.
Cassie menurut dan melangkah masuk sambil memasang wajah takut. Kepalanya terus merunduk dengan kedua tangan menggenggam erat tas kecil miliknya.
"Aku harus gimana? Kenalan dulu? Atau makan? Ah enggak, katanya enggak enak berhubungan kalau perut kenyang. Aduh ... jadi aku harus mulai dari mana? Apa diam aja menunggu dia yang mulai deluan. Kan ini kerjaan dia, pastinya dia lebih taulah harus ngapain. Iya kan?" gerutu Bara sambil terus mondar mandir di depan pintu kamar hotel yang kini tengah tertutup.
"Tunggu dulu!" seketika langkah Bara terhenti, matanya menatap sayup ke arah pintu. "Sepertinya dia takut setelah aku bentak tadi. Sebenarnya aku enggak niat bentak, kan itu karena aku gugup. Mana aku emang enggak bisa ngomong lembut ke cewek lagi. Ini semua gara-gara cewek terlalu genit ke aku. Aduh, Bara! Emosi sih, emosi. Kalau begini kan repot sendiri. Pakai acara nekad lagi pesan teman tidur. Mana enggak pernah niduri cewek, malunya ...."
Bara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sepertinya ia belum siap untuk masuk. Namun, ia merasa malu jika saja ia tak melakukan apa-apa. Bisa-bisa ia akan dianggap lemah atau fitnah lainnya. Meskipun begitu, ia tak dapat menutupi kegelisahan hatinya. Lain sisi ia merasa takut jika sampai memberikan sikap yang salah karena perasaan gerogi yang dialami.
Sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat dan memaksa Bara untuk segera melangkah masuk menuju kamar. Ia tak ingin sampai ada yang mengenalinya.
Cassie masih saja duduk tertunduk di bibir ranjang. Ia menunjukkan sikap takut seakan ini kali pertama ia melakukannya.
"Kamu mau minum sesuatu?" tanya Bara lembut. Ia hanya berdiri di dekat Cassie tanpa berani menyentuhnya.
Cassie hanya menggeleng lemah dan ini membuat Bara semakin bingung.
"Kamu boleh istirahat dulu, lakuin aja yang buat kamu nyaman. Oke! Saya mau mandi," ucap Bara sambil terus menahan napas sedari tadi.
Suara air mengalir terdengar deras, sepertinya Bara benar-benar mandi. Ia menggosok bersih seluruh tubuhnya hingga membuat ia begitu lama berada di sana. Sudah setengah jam lebih, namun Bara tak kunjung keluar. Ia mandi hingga tiga kali untuk memastikan tidak ada bau dan kotoran yang tertinggal di kulitnya yang putih.
Sebelum melangkah keluar kamar mandi, Bara terlebih dulu mengatur napas dan becermin. Tak lupa menghembuskan hawa mulut ke tangannya memastikan telah wangi. Ia juga mendekatkan telinga ke daun pintu guna mencari tahu apa yang tengah Cassie lakukan di atas ranjang.
"Sepertinya dia tidur. Huh! Baguslah. Ini lebih baik dan aku tetap akan bayar dia sesuai perjanjian," gumam Bara sambil tersenyum dengan wajah lebih tenang.
Benar saja, saat Bara melangkah keluar ia melihat Cassie tengah terbaring di atas ranjang ditutupi selimut.
"Ah ... ngopi sambil kerja enak nih!" gumam Bara yang kini mendekati telepon.
Sembari menanti pesanannya tiba, Bara terus melirik ke arah Cassie. Ia memastikan kalau Cassie tidur sangat nyenyak hingga esok pagi agar ia bisa bekerja dengan tenang di balkon hotel beratapkan langit.
Malam itu angin bertiup tenang, tak menyebabkan dingin, namun cukup menyejukkan. Kopi cappucino pun terasa istimewa. Suasana yang beda membuatnya lebih segar untuk melihat laporan dari layar laptopnya.
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah satu jam lamanya ia bergelud dengan laptop hitamnya. Rasa lelah dan kantuk pun mendadak hadir. Sengaja mengangkat tinggi kedua tangannya sambil menggerakkan tubuh untuk merenggangkan otot, Bara terkaget akan keberadaan dua tangan yang kini merangkul erat dari arah belakang. Membuat rasa hangat pada punggung Bara.
"Mas, aku siap!" ucap Cassie dengan nada yang begitu menggoda.