Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Balada Putih Abu-Abu

🇮🇩setiawansasongko
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.2k
Views
Synopsis
Inol Kominol adalah anak klas 2 SMA di Jakarta. Gayanya yang santai, cupu, dan culun membuat gemas. Kenakalan-kenakalannya yang tidak terduga mengantarnya pada pertemuan dengan seorang gadis yang dipanggilnya sebagai makhluk halus. Ternyata, pertemuan itu membuka luka masa lalu leluhurnya dalam urusan asmara. Inol pun kehilangan teman akrabnya bernama Patah yang meninggal karena ditusuk preman di terminal. Arwah Patah selalu datang untuk memberi semangat dan jalan jika dia ada kesulitan yang dihadapi Inol. Apakah Inol bisa mengikat hati si makhluk halus yang sangat ditaksirnya? Dan, rahasia apa yang disimpan orangtuanya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Ada Bau Rusia, Lho!

"Inol! Bangun, bersihkan kamarmu!" teriak penguasa rumah dengan nada serioza. Tak ada sahutan. Hanya dengkur irama kodok ijo yang terdengar dari arah kamar. "Klu-klu-kluruuuuuk!" teriak si bariton, ayam jagonya. Padahal kokok ayam itu berkekuatan 120 desibel, yang mampu ngrobek gendang telinga. "Pyek-pyek-pyek-pyek!" paduan suara anak-anak ayam yang nagih jatah makan. Gaduhnya deruk merpati yang kelaparan, meongan kucing yang minta jatah tikus, plus bisingnya kelinci yang nabrak-nabrak seng. Semua itu tak ngusik kupingnya, semua dianggap bilangan hampa. Gendang telinganya betul-betul kedap suara. Akhirnya si nyokap nggedor pintu kamarnya. "Sudah siang!"

"Su azan, Bu?" tanya Inol sambil menggeliat. Dia belum hainul yakin kalau hari sudah siang.

Nyokapnya jengkel, "Ya, belum azan Dhuhur!" Kalau malam minggu dia memang boros melek. Entah itu ngebooking semua acara tivi, main kartu di posko atau lainnya. Pokoknya acara melek tanpa dana, apalagi kalau ada cemilan gratisnya. Eh, begitu bangun langsung nyambar buku primbon. Dia ingin menafsirkan mimpinya yang aneh, makan mie ayam dengan ribuan sumpit bambu. Diubleknya buku kuno itu, tapi yang dicari tidak ada. Orde Ronggowarsito kan belum musim mie pangsit. "Sekali lagi, bersihkan kamarmu!" teriak nyokapnya. Lagi-lagi soal kamar.

Kamarnya memang bak Jalur Gaza, pemantik api perang dengan nyokapnya yang sok perfeksionis. Tapi induk semang mana yang tahan ngliat kamar mirip te-pe-a sampah. Dindingnya full tempelan sketsa kartun, puisi dan cuplikan kata-kata bijak Intisari. Sedangkan buku tulis, buku pelajaran, buku gambar, spidol, kertas, pinsil, typex, ruler dan tas amburadul semua. Belum sogokan kuping yang tercecer di semua sudut. Herannya, si majikan itu justru mrasa aman sentosa bila tenggelam dalam situasi kacau kaya' gitu. Tradisi itu belum lama, sejak cerpen dan kartunnya dimuat di majalah remaja nasional. Dampaknya, Inol jadi sok nyentrik tapi salah kaprah. Mungkin sudah saatnya kenalan dengan psikiater! Gara-gara itu pula nyokapnya sering ngelus dada, habis dulu 'kan tidak pernah ngidam sampah.

"Kalau kamarmu tidak beres dalam tempo sesingkat-singkatnya, jangan harap bisa sarapan," nyokapnya niat ngembargo ekonomi. Inol jadi ngeper, takut kena maag.

"Tapi traktir tomat setengah mateng ya, Bu," ujar Inol nawarin win win solution. Dia memang punya adat unik, ngremus tomat mengkal. Kuotanya sehari satu. Bukan sok ikutan Popeye, lho. Sehari tak nyaplok tomat bibirnya bisa retak-retak. Tomat baginya sudah sugesti. So, kalau ada acara prasmanan dia sering kebingungan, pilih tomat atau kambing guling.

Karena tekanan eksternal itulah Inol bersih-bersih kamar. Kerja kambuhan tiga bulan sekali. Buku-buku yang berserakan sampai kolong ranjang dirapikan di rak. Tas berbahan levis, mantan celananya yang didaur ulang, disampirkan di tembok. Mesin tik, yang pernya sudah diganti karet kolor, disibin dengan gombal yang dicelup air. Buku primbonnya diasingkan di pojokan rak bak ngrawat pusaka. Habis kamar beres, dia ngasih makan binatangnya. Syukurlah almarhum kakeknya dulu orang penting di Pertamina, sehingga bokapnya kecipratan rumah dan tanah yang cukup luas di ibu kota.

Setelah kamar oke Inol pun nyapu halaman, tugas rutin tiap pagi. Lho, kok rajin nyapu halaman? Ini beda, biar lancar nglirik orang lewat dan dicap rajin oleh tetangga.

"Yunior, buat api unggun, yok!" teriak Inol dari kebun. Yunior yang lagi asyik makan langsung nglempar buburnya dan lari ikut kakaknya. Yunior adik adopsian tapi rasa adik kandung. Nyokapnya tak bisa ngado adik karena rahimnya sudah diangkat gunting operasi.

"Ya ampun!" teriak nyokapnya stroke. Intonasinya tak lagi keras karena voltasenya sudah sangat berkurang. "Inol, bersihkan dulu tumpahan bubur adikmu!"

"Huh, bikin kerjaan! Ayo bersihkan sendiri!" Inol bersungut-sungut. Gara-gara kakak tak tahu introspeksi Yunior pun jadi korban teori domino.

"Biar dimakan ayam saja, Kak," jawab Yunior yang sudah ketularan ngeyel. "Kakak stroke juga, ya?"

Nama asli Inol adalah Iskandar Zulkarnaen. Tapi nama asli itu hanya disebut kalau pas ada pembagian rapot, jadi setahun tiga kali. Selebihnya orang manggil dirinya Inol. Inol Kominol, bau Rusia katanya. Dia sangat bangga dengan nama panggilan itu. Padahal kadar keningratannya hanya satu persen. Imbas dari nyokapnya yang sok trah kraton Surakarta, karena buyutnya dulu selir pangeran sana. Itulah alasan utama kenapa nyokapnya suka berkonde dan berkebaya. Tapi bapaknya anti feodal, darah ningrat yang diambang punah itu pun ditypexnya. Sehingga nama Inol tanpa embel-embel raden mas. Yang pasti golongan darah Inol berbentuk donat! Berat badannya kurang lima kilo dari berat ideal. Rambutnya jabrik landak, bisa untuk maku tembok. Tingginya wajar-wajar saja.

Bokapnya pegawai negeri sipil, insan kelurahan yang tak naik-naik pangkat gara-gara dinilai kritis oleh atasan. Untuk membantu asap dapur, nyokapnya punya kios di pasar Palmeriam, sebagai juragan bandeng.

Inol mbakar sampah tapi tumpukan sampah itu bandel, tak mau nyala. Berbatang-batang korek api disulut hanya asapnya saja yang muncul. Sampah itu belum begitu kering. "Nor! Ambil minyak tanah!"

"Coba saya yang ngejresin koreknya, pasti nyala," sahut Yunior yang enggan punya komandan.

Napas Inol tersengal-sengal niup bara api yang tak kunjung nyala.

"Tiup lagi! Tiup lagi, terus Kak!" teriak Yunior nyuporteri kakaknya.

"Gundulmu! Napasku su habis! Ayo ambil minyak tanah!" Yunior akhirnya masuk rumah, keluarnya terengah-engah bawa jerigen minyak ukuran sepuluh literan. Inol nyengir campur kasihan melihat adiknya yang belum juga panjang akal. Dengan bantuan minyak sampah itu pun nyala.

"Seperti neraka ya, Kak?" kata Yunior girang.

"Sok tahu!"

"Kata orang-orang!" seru Yunior berang. Saat itulah si belang muncul. "Ya Allah, anak klinci itu kluyuran terus!" Kakak beradik itu ngecek kandang kelinci. Ternyata ada lorong bawah tanah yang nembus pagar kandang. Inol dan Yunior pun tertegun. "Klinci punya otak ya, kak?"

"Punya, tetapi kecil seperti milikmu," jawab Inol. Lubang lorong itu ditutup batu bata. Si kuping panjang tampaknya tak betah dikurung. Maklum kelinci masih bocah, napsu jalan-jalannya masih besar. Diam-diam Yunior njatah pisang ambon pada kelinci.

"Tumben ko hari ini sangat dermawan."

"Itu tadi pisang jatah kakak."

Inol tertegun. "Pantas saja kakakmu kurang gizi. Rupanya ko lebih sayang klinci dari pada kakakmu!" Inol nabuh kepala Yunior. Gung!

"Permisi! Apakah betul ini rumah Pak Dimas?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja muncul di balik pagar.

"Ya betul," jawab Inol. Orang itu bawa bambu banyak banget.

"Ini pesanan Pak Dimas kemarin," sambung orang itu. Inol garuk-garuk kepala. Mimpinya terjawab sudah. Jangan-jangan bopaknya ingin buka pabrik sumpit! Inol pun mbantu ngangkati bambu-bambu itu.

"Bapak mana, Bu?" tanya Inol ketika nyokapnya nyuguh air teh dan kue.

"Badminton," jawab nyokapnya. "Bapakmu ingin bikin kandang ayam lagi." Kandang ayam lagi? Wah, alamat ada kerja paksa! Bopaknya memang awam bermain gergaji atau palu. Kandang yang dulu juga Inol yang bikin. Meskipun saat itu dibantu seorang konsultan, tukang kayu maksudnya. Mudah-mudahan sih bokapnya nyewa konsultan lagi. Tapi kalau dananya besar kenapa tak disabet sendiri, bukankah dia sudah punya jam terbang? Lumayan, sekalian ngasah diri jadi kontraktor, pikir Inol mantap. Namun dia tak punya modal untuk nggaet proyek itu. Gergaji, palu, atau pahat tidak punya. Masa' kontraktor pinjam peralatan kepada Mbah Cucakrowo, tetangga sebelah.

Saat berandai-andai itulah sang bokap datang sambil nyiulin Jembatan Merah. "Bambunya sudah datang, ya?"

"Mau mbangun apa sih, Pak?" tanya Inol, nyoba mancing di air keruh. "Anggarannya besar, ya?"

"Sebesar telur gajah," jawab bokapnya.

Dapat info itu Inol makin kebelet jadi kontraktor. "Ini proyek inpres ya, Pak?"

Bokapnya tertawa ngakak. "Pokoknya kau yang jadi tukang, sepulang sekolah!"

"Asal ada depenya!" seru Inol. Bokapnya ngernyitin dahi lalu ngakak lagi, heppi banget. "Pak, saya distempel sebagai kontraktor, ya!"

"Oke. Tapi dengan satu syarat, buat dulu gambar rencana kandang itu!" seru bokapnya masih dalam suasana riang.

"Kok susah amat untuk nggaet proyek. Kita ka-ka-en aja deh, Pak," rayunya.

"Kamu terima tidak syarat saya?"

"Yes!" seru Inol sambil nyengir puas. Masa depannya pun terbayang indah. Hati Inol bersorak-sorai, "Saya jadi seorang kontraktor, mak, sudah pantas ikut club golf!" Hari-hari selanjutnya Inol jadi tak sabar. Tapi uang depe yang ditunggu-tunggu belum juga turun. Toh akhirnya alat-alat pertukangan didrop oleh bokapnya, serba baru. Karena ingin ngejar setoran, sketsa gambar kandang dibuat tergesa-gesa. Hasilnya, sang bokap ngancam akan ganti pemborong. Mau tak mau Inol pun nggambar ulang. Akhirnya, sketsa kandangnya dapat acungan dua jempol kaki.

Ketika acara potong bambu tiba Inol ngontak Patah. Patah dengan jangkrik genggamnya ngontak Oka, si gendut. Oka nyeret Jion. Jion rencanaya mau ngebel Sisi, tapi si tomboy itu sudah keburu datang sendiri. Daya ciumnya memang tajam, di mana ada Patah di situ akan ada Sisi. Sayang cinta kunyuknya belum bersambut karena Patah justru keasyikan macari rumus fisika atom. Pada sobat-sobitnya Inol berkoar bahwa proyeknya bernilai tinggi. Des, ada lima bocah yang bahu-membahu bikin kandang ayam. Karena kerjanya seperti orang kerasukan jin maka dalam tempo seminggu proyek itu kelar. Panen raya sudah terbayang-bayang di depan mata. Akhirnya detik-detik panen itu pun tiba, Inol jadi murah senyum.

"Total dana kandang duaratus duapuluh lima ribu rupiah. Untuk beli bambu dan peralatan seratus duapuluh lima ribu. Makanan kecil dan teh manis limapuluh ribu. Jadi tinggal limapuluh ribu," ujar bokapnya, sambil nyerahin sisa ape-be-en proyek. Ngliat kenyataan pahit seperti itu Inol mlongo kaya' kebo, nelongso banget. Gawat, gimana nanti ngomong ke sobat-sobitnya. Masa depannya pun berubah total, jadi gelap gulita.

"Tidak bisa nambah, Pak?"

"Never!" seru bokapnya. "Toh yang makan telurnya nanti juga kamu! Jangan malak orang tua, dong!"

Divonis begitu Inol hanya bisa bengong. Bayangannya mleset jauh, rencana nraktir celana levis sobat-sobitnya gagal total. Kegagalan proyeknya ngraih untung besar itu terbawa sampai skul. Wajahnya nan pucat-pasi pun terbaca oleh sobat-sobitnya. "Tak usah sedih. Saya su senang bisa blajar bikin kandang ayam," kata Oka nglipur hatinya. Patah, Sisi, dan Jion pun idem dito.

"Lalu uang ini kita apakan?" kata Inol lirih. Malu, habis dulu terlanjur mbual.

"Ya jangan disia-siakan," kata Patah. "Terserah, mau ko gunakan untuk apa."

"Tapi ini hasil gotong royong," kata Inol. "Harus dinikmati bareng-bareng." Sobat-sobitnya diam. Begitulah watak Inol. Akhirnya Oka nyeplos, "Kalau buat dana taktis gimana?" Maksudnya dana tawuran antarskul. Es-em-a Muka Kadal, skul mereka, musuhan sama Es-em-a Telur Puyuh. Pokoknya musuhan. Korban fanatisme sempit warisan seniornya. Nama-nama skul yang brengsek itu juga warisan. Tapi emblem tak resmi itu malah mereka sandang dengan bangga.

Usul Oka tak bersambut. Bak lagi patah hati Inol nglencer pergi keluar area skul. Sekembalinya bawa sekranjang besar rambutan. "Kalau begini kan lebih manusiawi. Enaknya dirasakan rame-rame!" Pesta rambutan pun tergelar. Tiap kelas dibagi segepok rambutan yang dagingnya tak bisa nglotok. Padahal meski sudah setengah abad usia itu skul, baru kali ini ada pesta tanpa iuran. Sedikit banyak bakti Inol itu ngobati hatinya nan lagi gerah. Sayang, tak ada sambutan dari Pak Budi, kepseknya. Wah kalau aksi itu dipergoki dewan skul, Inol bakal dianugrahi lencana gambar bintang. Sorenya sobat-sobit Inol berdatangan ke rumah. Inol pun nyambut dengan tergopoh-gopoh. Tetapi begitu tahu sobat-sobitnya bawa kado Inol jadi tak enak badan. "Apalagi kalian ini?"

"Biasa, solidaritas antarteman. Semoga ayammu lekas bertelur," kata Patah. Dia nyumbang tiga anak ayam bangkok. Jion bawa dua babon ayam kampung.

Inol terharu sekali," Bapak su pesan bibit ayam, kok."

"Eh, jangan nolak rejeki halal," seru Oka. Oka bawa sepuluh telur ayam arab. "Coba telur ini ko titipkan pada ayam babonmu yang baru ngeram."

Sisi bawa ayam kate, ayam kate itu segera disambar Yunior yang tertawa-tawa senang karena ada hujan rejeki nomplok. "Terima kasih, Mbak Sisi!" Akhirnya, Inol tak bisa nolak ketulusan sobat-sobitnya. Pasti mereka belanja unggas di pasar burung Pramuka. Sayang, sobat-sobitnya tak ngliat lelehan air mata harunya. Ya, karena genangan air garam itu keburu dijilatnya.(*)

Daftar Istilah:

Su = sudah

Ko = kau, kamu

Mo = mau

So (Ingg) = jadi, sehingga

Stroke = stress

Skul = sekolah, sekolahan

Teori domino = jatuh berurutan

Jangkrik genggam = HP

Gokur = guru

Makhluk halus = gadis yang ditaksir Inol

Mesam-mesem (Jw) = senyum

Cah ayu (Jw) = gadis cantik

Mlenthus = buncit, kembung

Momongan = pacar

Ich liebe dich (Jerman) = I love You

Win-win solution = adil, sama-sama menang

Cenayang = paranormal, dukun

Iskandar Dzulkarnain (Alexander The Great) = nama asli Inol diambil dari tokoh ini. Ia maharaja Macedonia yang melakukan long march dari Eropa sampai India. Murid dari filsuf Yunani Aristoteles ini meninggal di usia 35 tahun. Lihat saja filmnya, ada kok!

Anastasia = putri Tsar Nicolas, kaisar terakhir Rusia. Saat terjadi revolusi keluarga kaisar dibunuh semua, kecuali Anastasia yang bisa selamat dan jadi legenda.

Rasputin = penasehat spiritual Tsar Nicolas. Lebih dikenal sebagai penyihir.