Suara kricik-kricik bak hujan jatuh bikin Bu Neni yang lagi asyik berkomunikasi satu arah terhenti. Oni dan Cici, dua anak kelas berat yang hobi ngemil, langsung pucat pasi ketika bu gokur ngarah ke mejanya,"Suara apa itu tadi, Ci?"
Sambil tertunduk Cici njawab, "Kacang rontok, bu."
"Huuu…," koor khas anggota de-pe-er lagi sidang terdengar di kelas Inol.
"Anak-anak diam!" seru Bu Neni, ngeluarin jurus galaknya. Kelas pun jadi bening lagi. "Jadi selama pelajaran kalian makan kacang?"
"Tidak bu," kali ini Oni yang njawab. Dua anak itu mulai mandi peluh dingin. Diam-diam Inol dan Agus, yang duduk tepat di belakang mereka, kakinya saling ber-toast.
Tapi lady killer itu sudah tak killer lagi. Buktinya tak tega ngukum Oni dan Cici. Tapi beliau sempat ngluarin memorandum satu. "Jangan diulang lagi, ya!" "Ya, bu…" sahut kedua anak itu bareng. Keringat dingin mereka langsung kering-kerontang. Padahal jarang, lho, yang bisa selamat dari Bu Neni. Atau Bu Neni sudah mertobat, sebab ada isu tahun depan beliau pergi haji.
Namun begitu Bu Neni walk out, Cici dan Oni langsung ndamprat Inol. Inol dituduh nyoreng muka mereka dengan spidol merah. "Ko memang anak edan! Tak tahu diuntung!" Oni ngungkit-ungkit kalau dirinya pernah ngasih permen karet ke Inol.
Inol pun tidak mau ngalah. "Ibu-ibu, jangan nuduh orang sembarangan! Apa ada bukti otentik kalau saya terlibat skandal kacang bawang kalian?" Berantemnya jago lawan babon itu kian ramai. Pertunjukan gratis itu kian narik perhatian. Joko, anak yang hobby minta sumbangan, nyoba ngiderin topi minta dana sukarela. Tetapi tak ada yang ngrespon. Syukurin, bukan misahin malah ambil untung, dasar trah preman!
Karena tak ada yang mau ngalah maka Dito, sang ketua kelas, ambil inisiatif sidang terbuka. Ditariknya Inol, Cici, dan Oni sambil dicecar omelan. "Ndak tahu malu, skul mau diserbu musuh malah berantem sendiri!"
Dengan beringas Cici berargumentasi. "Gara-gara dia njepreti dengan karet maka kacang dilaciku rontok semua! Buktinya, di kolong banyak karet gelang!"
"Benar itu, Nol? " tanya Dito.
"Itu betul, tapi apa kalian ndak tahu psikologi pelajar? Yang satu ingin nyimak celotehan gokurnya, eh yang lain ngletuki kacang. Berisik! Siapa tahu karet Agus yang kena!" Inol ngotot sampai urat-urat lehernya bertonjolan. "Tapi kok hanya saya yang kalian damprat, Agus kok bebas? Dasar tidak adil!" Tapi Agus dari tadi sudah lari lintang-pukang, dia memang tipe pria tak bertanggung jawab.
"Kalian bisa damai kan?" tanya Dito tidak sabar. Otaknya tak mau lagi diruwetin masalah-masalah yang tak urgen. Tawuran dengan anak-anak Telur Puyuh sudah meras otaknya yang hanya sekepal. Akhirnya, Dito nyaranin mereka untuk ngisap pipa perdamaian, ide itu disambut anggukan kepala yang berantem.
"Tapi kalo diulang lagi, awas!" ancam Cici dan Oni serentak.
"Asal jangan ngunyah kacang saat pelajaran, non!" balas Inol.
Saat itulah Dading tergopoh-gopoh nemui Dito, "Anak-anak Telur Puyuh nggrombol di depan, Dit!" Tawuran anak-anak Muka Kadal dan Telur Puyuh memang telah jadi bahaya laten. Musuhan mereka sudah hitungan generasi, dan sudah seminggu ini mereka yang sok jagoan hanya konsen adu jotos. Catat, Inol tak masuk hitungan.
"Kalian tenang saja di kelas," seru Dito yang dituakan para jawara skul Muka Kadal sambil tergesa-gesa keluar kelas. Inol pun tergopoh-gopoh di belakangnya. Dito mesti punya asisten pribadi, sifat emosiannya itu mesti ada yang ngredam. Dan itu sudah berkali-kali dilakukan Inol. Anak-anak lain ternyata sudah siap ngadepi serbuan para aliens. Malah sudah ada yang mlorot ikat pinggangnya sampai celananya mlotrok.
Inol bergidik ngeri. "Jangan nekat, Dit!"
"Kalau aku gugur tolong ko kubur di taman pahlawan, ya," kata Dito. Jagoan itu ngeri juga begitu ngliat grombolan Telur Puyuh yang siap combat di seberang jalan.
"Jangan nekat, Dit!" sergap Inol. "Kalo ko mati siapa yang mau jadi ketua kelas?"
Namun beberapa saat kemudian Dito ngucap puji syukur berkali-kali. Inol pun jadi penasaran. "Tenang aja. Pimpinan grombolan itu Radite, sepupuku," bisik Dito. Nyes, hati Inol bak disiram air es. Alamat tujuh puluh lima persen tawuran gagal. Dito dan pimpinan grombolan meeting empat mata dibatasi pagar besi. Melihat Dito tersenyum makin yakinlah Inol bahwa prosentase tawuran makin ngecil. Apalagi setelah grombolan Telur Puyuh pergi. Inol pun ngucap hamdallah berkali-kali. "Aman, Dit?"
Tapi wajah Dito belum sebening kaca. "Sementara sih aman, tapi mereka nawarin opsi."
"Apa?"
"Duel lima perwakilan. Kita ditunggu di Lapangan Banteng sepulang skul," kata Dito masih ngandung nada prihatin. Dia memang turunan Si Pitung, peduli dengan ketentraman skulnya. "Mereka harap duel ini bisa mutus mata rantai tawuran kita."
"Brilian juga mereka! Tapi duel itu digelar sehabis makan kan?" tanya Inol ingat perutnya kosong. Sepagi baru keisi tomat jatah Mbok Nah, pemilik kantin. Padahal dia itu tak pernah terlibat pertempuran, lho. Paling banter hanya sebagai suporter jarak jauh. Biar bisa lari paling depan.
"Duel digelar jam tiga. Kita pulang dulu ganti baju, jangan pakai sragam. Itu permintaan mreka," kata Dito lagi. "Awas, jangan bocor ke telinga gokur. Ini persoalan antarjawara skul."
Inol manggut-manggut. "Eh ngomong-ngomong, perlu cheer-leader tidak?"
"Gundulmu!" Tak urung Inol kebagian tugas nglobi para pendekar skul. Mereka sangat antusias nyambut tantangan duel yang berwawasan ke depan itu. Formulir pendaftaran pun sampai dicopy berkali-kali. "Dit, sebaiknya dibuat perjanjian hitam di atas putih. Mesti ada cap jempol bersama-sama," usul Inol. "Kalau tak ada bukti tertulis, percuma. Bisa berlanjut musuhan kita. Kalau bukan kita-kita ya adik kelas kita."
"Ya, mesti dibuat prasasti," tambah Patah yang ikutan ndaftar. Sobat Inol yang satu ini memang pemegang sabuk merah. Dito nepuk-nepuk jidat tanda oke dengan ide sobat-sobitnya. "Kalau begitu perlu waktu untuk bikin draft! Padahal jam tiga kita su ditunggu!"
"Diundur saja. Duelnya besok sore!" seru Ragil, si calon suporter seperti Inol. Tugas utamanya mrovokasi.
Dito bengong. "Hus! Jangan nyoreng nama besar kita, dong!"
"Jangan suka ngorbanin rakyat kecil, Dit," sergah Inol mirip politikus. "Kita kirim kurir ke sana, segera!" Leo pun ketiban tugas. Dengan mbohongi Pak Butar Butar, satpam skul, dia bisa keluar pagar skul. Hasilnya, usulan agar duel diundur diterima anak-anak Telur Puyuh. Dito pun nyuruh Inol membuat draft perjanjian damai itu, juga sketsa prasastinya. Prasasti itu nanti mesti dibuat dua, masing-masing skul kebagian satu.
"Akan ada tawuran lagi ya, Nol?" tanya Rika ketakutan.
"Bukan! Itu tadi Radite, sepupu Dito," Inol nglipur Rika bak seorang hero. "Dia dititipi uang oleh neneknya."
Muka Rika jadi cemberut ndengar jawaban Inol yang tak masuk batok kepala itu. "Tapi kok bawa prajurit?" susul Rika. Giliran Inol nyengir tak bisa njawab. Keesokan harinya Inol tak konsentrasi pada pelajaran. Dia sibuk ngonsep draft perdamaian, dia punya skenario untuk nyiptain perdamaian abadi. Inol mbisiki Dito tentang konsepnya, tapi respon Dito negatif. Inol pun jadi masygul. Di balik kegentingan itu, Joko si trah preman lagi-lagi bikin ulah, gerilya cari sponsor. Katanya untuk pe-tiga-ka. Namun sebelum gerilyawan itu berbuat lebih jauh ulahnya terendus oleh panitia dan divonis. Dia tak dilibatkan sebagai panitia duel apalagi jadi suporter. Joko pun tobat nasuha, ikhlas menerima ukuman. Lobi-lobi via telpon terus dilakukan kedua kubu untuk matangin piagam perdamaian. Setelah oke semua maka jam tiga sore para pendekar itu nyegat bis ke arah Monas. Ketika napaki rumput Lapangan Banteng hati Inol deg-deg plas. Meski hanya sebagai penonton dan saksi, tapi dasar darah penakut ya tetap gemetaran. Mereka sudah ditunggu anak-anak Telur Puyuh nan dipandu Radite.
Dito nemui Radite. "Apakah ko bisa njamin kalau rencana kita ini akan mulus?"
"Maksudmu?"
"Perdamaian ini tak akan ada yang ngusik lagi," Dito nerangin. Mulutnya klepas-klepus ngluarin asap rokok cap cowboy. Disorongkan cigarette-nya ke Radite dan zipo pun disentilnya, nyala, bak adegan gangster Itali.
"Kita sebagai agunannya. Bila ada anak Telur Puyuh yang macem-macem itu tanggung jawabku, demikian juga sebaliknya. Kalau perlu kita ciduk bareng-bareng," kata Radite diplomatis.
Inol ngulurin draft perjanjian kepada Radite. Ternyata disetujui. Dito dan Radite lalu sama-sama bercap jempol di piagam perdamaian yang dijereng di punggung Inol. "Besok tinggal ngukir batunya!" seru Inol. Batinnya pun ser-seran, baru kali ini dia akan ngliat duel jarak dekat. "Sah!" teriak Inol setelah dua pimpinan selesai cap jempol. Dia lalu mbagi copian isi prasasti lapangan Banteng ke masing-masing bocah.
"Kalau perdamaian su berjalan maka anak-anak Muka Kadal boleh macari anak-anak Telur Puyuh. Demikian juga sebaliknya!" teriak A'an, anak Telur Puyuh yang mirif mafia, dia memang tidak laku di dalam negeri.
"Setuju!' sambut anak-anak Muka Kadal yang krisis siswi cakep.
Calon-calon penduel pun diumumkan. Gila, ternyata Inol masuk itungan. Kelabakanlah dia! Namun protesnya tak digubris Dito. Memang sih, dia pernah tercatat sebagai cantrik di padepokan Merpati Coklat. Tapi gara-gara tak pernah mau latihan dia di-drop out. Kini dia nyesel setengah mati. "Kok kringeten, Nol? Grogi itu biasa tapi jangan ditunjukin ke musuh," Dito mbisiki kupingnya.
Panggung duel pun digelar. Mereka bikin arena berupa lingkaran. Begitu Dito nyuruh Amir masuk ring maka Radite ndorong Toha. "Pokoknya tarung sampe salah satu keok!" Amir ngambil jurus cocor bebek. Toha yang karateka ambil ancang-ancang ala Bruce Lee. Saling intip. Begitu Amir njulurin kaki untuk pancingan Toha pun nerjang. Kaki kiri Amir pun masuk nyodok ulu hati Toha yang terbuka. Toha terpental ke belakang. Namun dengan gesit dia berdiri lagi dan nubruk Amir. Yah, gaya yudo! Amir pun terkunci. Hanya tangannya yang bisa njitaki kepala Toha: pletak-pletak-pletok! Tapi jepitan Toha makin beringas, akhirnya Amir njerit kesakitan karena tak bisa napas.
"Stop!" Teriak Dito yang tak tega ngliat nasib Amir. Anak-anak Muka Kadal masuk arena ngambil Amir yang ka-o. Grup Telur Puyuh bersorak-sorai. Inol makin cepat mbaca doa keselamatan. Kalau bukan harga diri skul mending dia minta di-dis atau ngacir. Pertandingan kedua dimulai. Dito ndorong Beni ke dalam arena. Mudah-mudahan murid Tratai Ungu itu bisa nyelesaiin lawan. Sebab skor 1:0 telah dikantongi anak-anak Telur Puyuh. Radite ndorong Seno. Porsi tubuh mereka tak seimbang, Beni nan krempeng kecil musti nglawan Seno yang tambun. Masing-masing kubu riuh rendah nyuport jago masing-masing. Tapi Inol tetap asyik berdoa untuk dirinya sendiri. Begitu duel dimulai Seno tampak kualahan, tendangan shaolin Beni berkali-kali masuk tanpa bisa dicegah. Doble cover Seno tak berdaya mbendung gempuran Beni. Maka begitu tulang keringnya terhajar, Seno tidak bisa berdiri lagi. Giliran sorak-sorai anak-anak Muka Kadal. Skor satu-satu!
"Maju, Nol!" seru Dito.
Inol makin ngetrail baca do'a. Gila musuhnya Ateng, si bulat pendek gemuk. Begitu dua jagoan itu adep-adepan maka pertukaran pukulan dan tendangan sama-sama mereka rasakan. Pokoknya jurus apa pun Inol keluarin, termasuk jurus nguleg sambel! Begitu ada kesempatan tendangan Inol masuk ke iga-iga Ateng. Tapi Ateng berkulit badak, pukulan dan tendangan Inol dianggap main kitik-kitik. Giliran Ateng ngegos arah slangkangannya maka bola golf Inol meradang dan teriak kesakitannya ngundang bintang-bintang. Baru kali ini Inol piknik ke luar angkasa. Begitu sadar dia dapati sobat-sobitnya pada ngrawat dirinya. Memang hanya Inol yang cedera paling parah.
"Masih sakit?" tanya Dito yang mijit-mijit tengkuknya.
Inol mringis karena nahan ngilu di antara paha. "Skor berapa?"
"Tiga dua buat mereka!"
Pulangnya Inol diantar Dito, nyarter bajaj. "Jangan pucat. Bokapmu nanti curiga,"
"Kenapa kalah?" tanya Inol masih nahan anu di selangkangannya.
"Bukankah aku nuruti skenariomu?"
Inol mlongo. "Kalau gitu saya korban saranku sendiri?"
"Ya, harus ada yang jadi martir, dan itu tugasmu," jelas Dito. "Tapi saranmu memang pas kok. Saya tahu betul tabiat Radite. Kalau mereka kalah tampaknya perdamaian abadi tak bakal terwujud."
Inol ngangguk. "Setelah saya klenger siapa yang maju?"
"Patah nglawan Bejo! Patah menang. Giliran babak penentuan Zueb tersungkur sama Radite."
"Ko sendiri kok tidak terjun?"
Dito tak segera njawab. "Ini yang harus ko maklumi dan jangan sampai bocor ke anak-anak. Saya dan Radite satu padepokan, sama-sama murid Oom Toni, paman kami yang pelatih karate Kopassus. Saya tahu persis watak anak itu."
"Terus saya ko korbankan," kata Inol nahan sakit.
"Sekali lagi saya katakan, kita butuh seorang martir. Bila ada kesempatan biar kami ketemu di arena resmi," kata Dito ngotbahi Inol. "Bukankah perdamaian abadi yang kita inginkan?" Sekali lagi Inol ngangguk-angguk gaya burung pungguk. Dia pun ngagumi Dito yang bisa berpikir bijak. Perdamaian abadi antara anak-anak Muka Kadal dan Telur Puyuh pun terbayang sudah.
Hobby baru Inol, yang suka sarungan dan jalannya ngangkang, bikin Yunior penasaran. "Kakak sunat lagi, ya?"
"Bukan sunat! Dipatok ayam!" seru Inol. Sama ortunya dia ndongeng kalau kepentok sadel onta. Sang martir itu sudah tiga hari tak masuk skul. Sayang belum ada yang mbezoek, padahal dia sudah kepingin makan kue lapis. (*)