Matematik selalu nguras otaknya. Tak tahulah, begitu ganti gokur otaknya jadi bebal bak dibebat handuk. Apalagi kalau lagi ulangan. Belum habis soalnya dia garap perutnya keburu mules. Kepalanya sekonyong-konyong pening, kaya' baru mabuk laut. Padahal dulu, sebelum Pak Muslim digantikan Pak Nardi, rasanya matematik itu normal-normal saja. Pak Nardi pun ikut prihatin akan duka muridnya yang satu ini. Inol sendiri juga heran. Bila sudah begitu sampai pulang skul pun kepalanya tetap berdenyut-denyut. Mabuknya tak segera hilang. Bahkan bisa berubah jadi flu berat. Untuk mengentas keterpurukan otaknya dia coba konsul sama Bu Nita, gokur bepenya. "Apa kamu membenci Pak Nardi?" tanya Bu Nita saat Inol selesai menyampaikan uneg-unegnya.
"Tidak, bu."
"Apa kamu kesulitan mengikuti cara mengajarnya?" tanya Bu Nita lagi.
Inol tak segera menjawab. Aduh bu, ini kan bukan ngintrograsi maling! Inol malah tambah pusing. Namun bibir horisontal itu akhirnya menjawab, "Tampaknya tidak, bu. Biasa saja."
"Ya, sudah. Mungkin kamu harus lebih siap kalau pelajaran matematika. Kamu baru terkena phobi atau sindrom. Yang bisa menyembuhkan hanya kamu sendiri."
Kesimpulan Bu Nita menyiutkan nyalinya. Setelah selesai konsul dengan gontai Inol keluar ruangan bepe. Sobat-sobitnya melihat dirinya penuh slidik bak sherif ngintai bandit. Habis sudah tradisi, kalau ke ruang bepe pasti siswa bermasalah. Kalau tidak berantem ya terlibat kriminil kecil-kecilan. Nyolong kapur, misalnya.
"Eh, Nol! Kena kudis bukannya ke puskesmas, kok malah ngapeli Bu Nita?" sapa Azam. Inol hanya tersenyum. Tapi senyuman nan mirip kuda habis nelan cabai sekilo itu bikin sobat-sobitnya penasaran.
"Naksir Bu Nita, ya? " seru Oka. "Jangan nepsong, Nol!"
"Hus!" bentak Inol. Tak mau privacy-nya dikonsumsi anak-anak. Dirogohlah sakunya. Ditimang-timangnya tomat mengkalnya. "Biasa, konsul akademis. Saya positif dikirim lomba siswa teladan."
"Sejak kapan ko masuk nominasi?" Ejek Otek. Inol tertawa, tomatnya dikremus sekali habis. Theng-theng-theng! Bel tukang bakso berbunyi tanda pulang skul. Syukurlah begitu sampai rumah nyut-nyut kepalanya reda. Setelah menyantap sayur lodeh dia rebahkan badannya sampai matanya merem. Namun sebelum pulas sudah keberisikan rengekan Yunior minta layang-layang. "Ada apa sih kok ribut-ribut?"
Mulut Yunior yang mecucu kayak Doraemon tidak menyahut. Malah layangan di tangannya disobek-sobek penuh emosi. Tangisnya membahana ke segenap penjuru mata angin. Inol pun turun tangan. "Ayo beli layang-layang lagi!" Bujukan itu sangat jitu. Lalu kakak beradik itu dengan rukun bermain layang-layang di halaman. Yunior tertawa-tawa senang. Inol heppi kalau adiknya bahagia.
"Wah, kakak jago main layangan, lho!" seru Yunior senang. Toh hati Inol tak mengembang dapat pujian seperti itu. Kata-kata Bu Nita tentang matematik phobi masih terngiang di telinganya. Siet-siet, layangannya meliuk-liuk di langit, searah tangan Inol yang menarik dan mengulur benangnya. Sreettt tiba-tiba layangan menukik turun, lalu meliuk lagi ke atas.
"Asyik!" seru Yunior kegirangan. Padahal kalau dilihat dari sisi hukum justru Yuniorlah yang berhak atas mainan itu. Tapi syukurlah Yunior sudah merasa makmur jadi penonton.
"Awas, kak!" Layangan itu menukik ke bawah dan nyungsep ke rumah kuno sebelah selatan, selisih lima rumah dari rumah mereka. Rumah drakula, karena sangat tua dan sepi. "Bagaimana ini, kak?"
"Tugasmu ngambil layangan itu!" seru Inol. Yunior yang bercita-cita jadi Ghostbuster pun segera berlari ke rumah itu. Sekembalinya membawa layangan plus belimbing manis.
"Kok malah panen?" tanya Inol. Terbit titik liurnya melihat adiknya mengunyah buah segar. "Sini layang-layangnya!"
Layangan membumbung ke langit lagi. Siuttt…tiba-tiba angin bertiup kencang. Layangan pun tak terkendali. Nyungsep ke bawah, ke rumah itu lagi! Kali ini ada sosok makhluk halus yang mengangkat layangannya, lambaian tangannya menyuruh Inol agar menyentak benangnya. Wess, layangannya terbang lagi
"Ya kakak itu yang memberiku blimbing!" berita singkat Yunior.
"Cantik tidak?" tanya Inol. Aduh, pecah deh rekormu! Bukankah adatmu selama ini cuek sama cewek? Itulah yang bikin sobat-sobitmu menyangka kau abnormal! Habis bila anak seusiamu sudah latihan kirim surat, jantungmu belum pernah kau latih deg-degan bila bertemu cewek manis!
Yunior terpana atas pertanyaan itu. "Cantik! Eh, lihat saja sendiri! Kalau layangannya jatuh ke sana lagi ambil sendiri, ya!"
"Terus tugasmu apa?"
Yunior tidak menjawab karena mulutnya tersumpal sumber vitamin A. Agak lama Inol mainkan layangannya. Hm, bagaimana kalau layangannya disungsepin ke sana lagi? Kira-kira dia masih rela menolong tidak, ya? Kalau tahu disengaja jangan-jangan malah marah.
Swing! Layangan pun memutar haluan, setelah berputar-putar lalu bak pesawat kamikaze layang-layang itu meluncur ke arah rumah angker itu lagi. Memang rumah besar itu bak tak berpenghuni karena pemiliknya sudah tua. Hanya saat Idul Fitri saja rumah tua itu jadi pasar tiban, karena banyak makhluk asing yang bertandang.
Inol menunggu respon. Op, itu dia! Lambaian untuk menaikkan layangannya muncul lagi. Bukan main girang hati Inol. Setelah itu dia tak mau mengarahkan layangannya ke sana lagi. Takut ketahuan kalau disengaja. Tapi lubuk hatinya tak sabar menunggu hari esok.
Saat di skul hati Inol masih tetap berlayang-layang ria. Gila, padahal dia belum tahu tampang si makhluk halus itu, lho, tapi insting senimannya memberi sinyal positif. Maka ketika dia mesam-mesem sendiri sobat-sobitnya pada mengernyitkan jidat. Batin mereka memfitnah Inol kemasukan jin skul.
"Yunior! Main layang-layang lagi yok!" ajaknya begitu ontanya parkir di rumah. Onta adalah sepeda balapnya. Harta termahal yang dia punya. Hasil lomba panjat pinang tujubelasan tahun lalu. Tanpa ganti baju seragam dia pun menyambar layangan "Males kak!" Jawab Yunior yang tak tahu misi rahasia kakaknya. Tapi mata Yunior keburu ijo ketika Inol menyuap dengan permen jelly. "Oke deh!"
Mata Inol pun tak henti-henti memelototi balkoni rumah angker itu. Sepi tak ada siapa-siapa. Inol kecewa. Wah gagal, bisiknya.
"Hallo, kak!" seru Yunior ketika ada gadis yang melintas di depan mereka. Up, point sembilan tuh cewek! Makhluk halus itu berhenti sebentar, dia hanya sekejab nglirik si Inol. Toh dalam moment sepermikro detik Inol sempat jadi juri miis universeMaklhuk halus itu tampaknya tak mau lama-lama dikonsumsi mata Inol. "Yunior mau belimbing lagi tidak?"
"Mau!" seru Yunior. Adik Inol yang bertalenta mata keranjang pun ikut cah ayu itu. Inol jadi glagepan sendiri, malu campur girang sampai jadi bisu. Lidahnya kaya' dilem castol. Ya, penyakit kronisnya kumat, kelu kalau melihat gadis cantik yang dia taksir.
Sekembalinya perut Yunior mlenthus, karena kaosnya disumpal banyak belimbing. "Nih, kakak dapat jatah!"
"Gila! Kupikir dapat salam!" pikir Inol yang kupingnya jadi setengah buntet. "Eh, kakak yang tadi namanya siapa?"
Dapet intrograsi seperti gitu Yunior langsung lari lagi, sekembalinya dia berteriak-teriak lantang, " Namanya Kak Ririn!"
"Teroris cilik!" bentak Inol salah tingkah. Wah, bisa jatuh gengsinya. Pasti sangka si makhluk halus dirinyalah yang menyuruh si tuyul itu menanyakan namanya.
"Tumben main layang-layang!" Seru Sisi yang tiba-tiba hadir di antara mereka. "Saya titip buku ke Patah!"
"Kok tidak diberikan sendiri. Tapi boleh buka isinya, kan?" Goda Inol.
Sisi memang sealiran sama Patah, sama-sama anak ipa. Padahal iqiu Sisi di bawah standar, dia masuk jurusan itu maksain diri, maunya sih bela-belain biar bisa menyanding Patah. Sisi nyengir. "Boleh, toh ndak ada apa-apanya!" Konon, Sisi kesengsem berat sama Patah karena hidung Patah yang mirip burung beo. "Pinjem layang-layangnya, ya?"
Inol terperangah. Ih, Sisi tidak tahu kalau Inol harus mengejar target. "Lain kali saja!"
"Uh, tak biasanya ko pelit! Sebentar aja!" seru Sisi. Kaleng tempat benang segera disitanya. Tak salah kalau pada menyebut Sisi bocah semi-semi, semi cowok semi cewek. Habis dia begitu fasih main layangan layaknya anak cowok. Namun saat mata Inol menangkap bayangan si makhluk halus, segera direbutnya kaleng benang yang dibawa Sisi. Sisi pun dongkol. Tapi lama-lama Sisi jadi maklum. "Hm, hm….sejuta rasanya!"
"Rasa apa?" Seru Inol blo'on. Saat menyadari kebegoannya Inol pun meringis. "Do'ain ya, Si!"
"Do'ain apa? Mo ulangan matematik?" goda Sisi.
Sriottt…layang-layang bak burung srigunting meliuk-liuk, melingkar-lingkar. Sesekali menukik ke bawah. Uh, terbangnya tidak pas di atas rumah itu. Mendadak angin bertiup kencang. Layang-layangnya pun tak terkendali. Komat-kamitlah Inol membaca mantera pengusir angin. Sisi tertawa ngikik melihat mulut temannya itu. Yunior pun bengong mengkhawatirkan nasib layangannya. "Jangan sampai putus ya, kak!"
Saat itu pula layangannya menukik ke bawah, pas dengan do'a Inol. Yess! E, sampai lama tak ada tanda-tanda kalau layangannya bakal diangkat si makhluk halus. Yunior mulai gelisah. Akhirnya dia tak sabar, "Saya ambilnya ya, kak!"
Namun sebelum Yunior beranjak pergi layangan itu terangkat. Ada aba-aba siap dinaikkan dari balkoni itu. Bukan main girang hati Inol. Bibir Sisi pun makin mecucu, ya dia mendapat bahan gosip baru! "Pantas mata pawang layang-layangnya ke sana terus!"
Inol hanya meringis ketika Sisi pamitan pulang. "Maaf ya, Si! Tak sempat menjamu tamu!"
Di skul Inol menceritakan kisah heppinya. Semua pada terpana mendengar dongeng Inol. Mereka baru ngeh bahwa sobatnya itu normal. "Jangan-jangan ye cuma ngibul!" seru Jion.
"Tampaknya kita perlu detektif swasta, nih! Eh, Nol Besar, bisa dites ndak dongengmu itu?" sambung Awe.
"Plis!" Seru Inol tak ngeper sedikitpun. Malah perutnya kembung antara bangga plus masuk angina. Siangnya, gerombolannya pada ikut ke rumah. Mau mbuktiin dongeng Inol. Yunior bangga banget ketamuan sobat-sobit kakaknya. Inol pun sudah siap dengan atraksi layangannya. Maklhuk halus di sebelah selatan tampaknya juga menunggu, tidak keder melihat kumpulan penyamun berseragam abu-abu itu. Rasanya mau meletus dada Inol saking berbunga-bunganya, kini ia bisa nyombong di hadapan gengnya.
Karena tak ada angin bertiup maka dengan susah payah layangan baru bisa mengudara. Layangan berbasa-basi sebentar di udara sebelum digiring ke gawang. Yunior heran kenapa sobat-sobit kakaknya pada tertawa, ya, pikiran lugunya belum sampai. Sobat-sobit Inol pun pada ngiler. Namun dari awal mereka sudah punya kode etik sendiri. Kalau sudah ada temannya yang naksir duluan maka yang lain tidak boleh ngotak-atik. Justru diwajibkan berdo'a demi kesuksesan sohibnya.
Sampai teman-temannya pulang Inol masih bermain layangan. Yah, sudah seminggu lebih koleksi binatang dan tanamannya terlantar gara-gara itu.
"Tulisan apa ini, kak?" Teriak Yunior histeris ketika layangan diturunkan dari langit. Inol pun ikut terperangah. Ha, tulisan suku primitif mana ini? Pasti makhluk halus itu yang usil! Ihi, saya hampir punya pacar, seru hati Inol menduga-duga. Pikirnya mencari pacar itu semudah cari jangkrik! Senangnya nglebihin kalau telur ayamnya netas. Tetapi otaknya jadi kliyengan mikirin kode garis-garis non morse itu.
"Pak, tahu arti tulisan ini tidak?" sergapnya ketika bokapnya pulang dari badminton.
Bapaknya mengernyitkan dahi. "Kalau tak salah ini tulisan steno!"
"Steno? Suku mana itu, Pak" tanya Inol lagi. Ya Allah, bloon amat.
"Steno itu tulisan rahasia yang dipakai wartawan!" seru bokapnya. Sayang bopaknya juga buta huruf gituan karena bukan reporter. Sama nyokapnya Inol disuruh konsul sama Pakdhe Tomo, wartawan senior yang sok tahu. Layangan itu disimpannya bak surat wasiat. Saking hati-hatinya layangan itu disimpan di bawah kasur. Yunior pun disuap dengan segepok permen jelly agar bisa melupakan layang-layangnya. Keesokan harinya layang-layang itu difotocopy dua. Yang satu buat diskusi sama Pakdhe Tomo dan satunya lagi buat pamer ke skul.
"Itu artinya aku senang sekali!" jelas Pakdhe Tomo yang sudah botak separo. "Sudah menjurus ke I love You. Baru blajar steno, ya? Setahu saya anak-anak sekarang nggak diajari steno!"
Bukan main senangnya Inol mendengar info positif itu. Eh, begitu keluar dari pekarangan rumah si wartawan itu dia masuk lagi. "Pakdhe, bolehkah saya privat steno?"
"Saya ada bukunya, sudah kuno! Nggak apa-apa, kan?" kata Pakdhe Tomo. "Kalau ada kesulitan baru kamu boleh bertanya!"
"Jangan fanatik-fanatik amat dengan ce-be-es-a dong, pakdhe!" seru Inol. Namun tak urung dia mesti berkali-kali mengucapkan kata tengyu-tengyu.
"Eh, ingat! Buku itu hanya kamu pinjam. Bukan hibah!"
Inol meringis. Ah, kalau diloakin paling juga tak laku. Wong bukunya bau pipis kecoa! Toh hanya beberapa kalimat saja yang dia pelajari untuk mengisi ruang layangannya. Hampir sebulan aktivitas saling berkirim steno berlangsung, dan tiap hari pula dia mesti beli layangan baru. Koleksi layangan di bawah kasurnya pun sudah mbejendol. Pujian dan ucapan selamat dari gengnya atas prestasi spektakulernya pun mengalir bak air banjir.
Sore itu Inol disuruh beli obat nyamuk ke warung Wak Haji.
"Ajarin aku steno ya…," sapa seseorang. Inol menoleh ke kiri. Eh, makhluk halus itu ada di sana, belanja juga.
Inol pun sebisa mungkin membuat senyuman yang paling manis. Ditegar-tegarkanlah hatinya. Tetapi Inol kumat groginya, batin Inol tak habis-habis ngumpatin dirinya-sendiri nan grogian. "Justru saya yang ingin belajar sama ko!" suara Inol kaya' bukan kluar dari mulutnya sendiri.
"Aku 'kan buta steno!" ucap mahluk halus sambil mesem lembut.
"Lalu yang mencorat-coret layang-layangku?"
"Nenek!" kata makhkuk halus. Jawaban itu bak petir nyambar jidat. Inol pun serasa tak memijak bumi. Dia baru ingat kalau Bu Ingrid, empu rumah itu, mantan wartawan Antara.
"Ayo pulang, belanjanya sudah selesai!" Ajak Bu Ingrid pada cucunya. Melihat Inol yang kaku nenek itu tersenyum manis. "Obat nyamukmu jatuh, Nol! Kamu boleh belajar steno kepada saya! Besok kutunggu, ya. Kamu punya bakat besar, lho, jadi wartawan!"
"Besok kutunggu, ya! Saya tidak punya teman, lho!" seru makhluk halus berharap
Kata-kata mereka tulus tanpa kesan olok-olok, tapi di hati Inol ucapan itu bak ribuan golok yang mencecah. Inol tak bisa berkata-kata, dan sekonyong-konyong pula kepalanya full kutu.