Chereads / Gandeng Mayit / Chapter 13 - Keinginan Hidup Normal 2

Chapter 13 - Keinginan Hidup Normal 2

"Kalau masalah itu sih aku juga nggak tahu, Kak. Aku sendiri seumur hidup belum pernah lihat yang namanya hantu, paling suara-suara aneh saja," kata Arga apa adanya.

"Iya juga sih," sahut Surya. Dia duduk lesu sambil memikirkan nasib dirinya sendiri. Bukan karena dia tidak bisa bersyukur, tapi karena dia malu terlihat berbeda di depan teman-temannya.

Perlu digaris bawahi bahwa terlihat berbeda sendiri memang suatu ciri khas setiap orang, tapi perlu dimengerti bahwa konsep permasalahannya dulu. Kalau berbeda dalam hal akademik, maka akan semakin digauli dan bahkan dibangga-banggakan. Namun, kalau berbeda dalam sikap yang sudah menjadi kebiasaan seseorang atau katakanlah aneh dalam hal memiliki kekurangan, maka bukannya semakin digauli, justru malah akan semakin dijauhi karena dianggap akan bisa mempengaruhi kekurangan tersebut kepada orang lain. Oleh sebab itu, Surya benar-benar memikirkan cara agar dirinya bisa terbebas dari yang namanya godaan setan.

Di sisi lain, Arga juga merasa tidak tega melihat kakaknya menderita karena status gandeng mayit, meskipun tiap harinya mereka seringkali tidak akur. Namanya juga hubungan sedarah, mau sejelek dan seburuk apapun sikap saudara, tentu akan tetap memiliki rasa kemanusiaan hingga tanpa menimbulkan perpecahan. Beda lgi kalau masalahnya dengan orang lain tanpa ada hubungan darah.

"Kak, sudahlah jangan terlalu dipikirkan seperti itu, nanti malah semakin tambah jadi beban pikiran loh. Kalau menurutku yang penting nggak menyakiti Kakak saja cukup," kata Arga.

"Nggak menyakitiku bapak kau! Kamu pikir aku diam saja sedang baik-baik saja? Nggak, Ga, aku menderita karena hidupku nggak pernah tenang. Terkadang tiap kali diganggu tanpa ada kesadaran dari diriku, sehingga ketika aku sudah sadar, maka aku akan terlihat seperti orang bingung dan tidak tahu apa-apa," jelas Surya dengan tatapan kosong.

"Hm, gimana ya, aku juga bingung mau ngasih solusi apa. Cuma lebih baik kita ambil sisi baiknya dulu saja deh, nanti seiring berjalannya waktu pasti akan mendapatkan jawaban."

Surya tersenyum getir lalu menatap Arga. "Susah kalau memang dasarnya belum pernah merasakan apa yang aku rasakan."

Arga pun sama bingungnya, dia tidak berani banyak bicara karena takut salah dan akan menyebabkan perkelahian. Secara tidak langsung dia sadar bahwa dirinya akan mudah mengatakan hal-hal yang seharusnya tidak dikatakan. Cukup melihat kakaknya saat ini saja sudah terlihat seperti orang frustasi, sehingga Arga tidak ingin memancing emosi. Lagi pula hari masih petang dan tidak mungkin saja kalau mereka ribut yang tentunya akan mengganggu tetangga yang masih istirahat.

"Kak!" Suara anak kecil.

Surya dan Arga menoleh ke arah sumber suara tersebut lalu mereka berdua pun bertanya, "Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa. Ibu mana?" Tanya Bayu, dia adalah anak ke lima.

"Sudah berangkat kerja."

"Yah, padahal aku ingin minta uang buat jajan nanti siang. Apa aku minta sama Ayah saja? Tiap kali main sama teman, aku selalu ingin ikut jajan," ujar Bayu. Raut wajahnya terlihat sedih.

Sebenarnya bukan hanya Bayu saja yang ingin jajan, tapi saudara lainnya pun sama. Namun, prinsip Siti hanyalah yang penting bisa makan. Kalaupun ada sisa uang tentu akan disimpan untuk cadangan kehidupan, meskipun terkadang ketahuan oleh Sholeh dan tentu akan dirampok tanpa meninggalkan sisa.

"Jangan mimpi!" Cibir Surya.

"Minta Ayah? Memangnya dia dapat duit dari mana? Nggak usah ngehalu deh. Kalau kamu bilangnya Ayah adalah seorang yang hanya ngabisin duit, maka aku adalah pendukung pernyataanmu nomor satu. Dia saja suka maling duit Ibu, boro-boro mau ngasih duit jajan," sahut Arga.

"Terus aku jajannya bagaimana, Kak?"

"Ya nggak usah, yang penting perut kenyang sudah makan."

Tampak raut wajah Bayu terlihat murung. Bukan karena Surya dan Arga mau menjelekkan orang tuanya. Akan tetapi memang karena mereka ingin transparan saja tanpa menutupinya dengan kata-kata manis dan baik. Sebab, cukup melihat wajahnya saja terkadang sudah membuat muak, apalagi kalau melihat sikapnya, yang ada hanyalah menambah tekanan batin saja.

"Kak, aku mau tanya," ucap Bayu menatap kedua kakaknya secara bergantian.

"Tanya apa?" Tanya Surya.

Bayu menghela napas. "Apakah hidup miskin itu salah?"

"Nggak ada yang salah. Hidup memang diselimuti takdir, tapi bukan berarti hidup tidak bisa memilih," jawab Surya.

Bayu dan Arga mengerutkan keningnya hingga membentuk gelombang-gelombang kecil. Mereka berdua menatap lekat wajah Surya. Nampak sekali bahwa mereka juga terlihat penasaran.

"Maksudnya apa ya?" Tanya Bayu, di usianya menginjak lima tahun, banyak sekali hal-hal yang ingin diketahui. Bisa dikatakan bahwa Bayu memiliki rasa ingin tahu tinggi.

"Ya memangnya kalian mau tetap berada di zona kemiskinan dan penderitaan seperti ini terus? Aku sudah lelah dengan segala tekanan batin. Baik secara fisik maupun mental. Di dalam lingkup keluarga kita saja sudah bikin pusing, belum lagi masalah dengan orang luar. Kita sebagai manusia hidup tentu memiliki masalah pribadi, nggak ada yang tidak punya. Entah itu suatu keinginan tidak tercapai dengan rasa ingin berontak, tapi tidak bisa berbuat apa-apa," jelas Surya.

Surya meregangkan tubuhnya untuk sedikit menghilangkan rasa pegal. Setelah itu, dia kembali menatap kedua adiknya. "Kalau aku sudah besar dan tahu banyak mengenai dunia luar, maka aku akan memilih untuk ngerantau agar bisa terhindar dari orang yang hanya bisa menyakiti saja."

"Iya juga ya, aku malah baru kepikiran. Jadi ingin cepat tumbuh dewasa," sahut Arga.

"Kalian pikir menjadi orang dewasa itu enak apa? Enak banget kalau ngomong!" Cletuk Tiya, dia adalah anak nomor satu. Kesehariannya sibuk mengurus urusan rumah, adik, dan bekerja. Di tangan kanannya menggenggam wadah bekas cat tembok dengan kedua kakinya sudah dibalut dengan menggunakan kaos kaki.

Tiya mendekati adiknya. "Nggak usah terlalu banyak halu, lebih baik sana kerjakan urusan kalian masing-masing! Kakak mau cari makan dulu."

Setelah itu, Tiya pergi meninggalkan adiknya. Dia memang terlihat galak, akan tetapi sebenarnya dia sangat penyayang. Bahkan rasa sayang dan perhatian Tiya melebihi dari yang Siti berikan.

"Huft, bikin jantung mau lepas saja," ucap Arga sambil mengelus dada.

"Bentar, Kak!" Pinta Bayu.

"Ada apa?" Tanya Surya dan Arga secara bersamaan.

Bayu menatap lekat ujung rambut Surya. Dia melangkahkan kaki mendekati Surya untuk memperjelas penglihatannya. Sesampainya tepat di depan Surya, dia sedikit berjinjit untuk bisa meraba rambut Surya.

"Ada apa sih, Yu, jangan aneh-aneh!" Sentak Surya sambil mengibaskan tangan Bayu.

Tepat pada saat itu, Bayu membuka tangannya yang sempat memegang rambut Surya. Di telapak tangannya ada goresan cairan merah dan sedikit mengeluarkan bau anyir. Mereka bertiga pun membulatkan kedua mata karena terkejut.

"Darah?" Gumam Arga.

Surya sedikit ragu mengenai hal janggal tersebut. Dia pun mengelus rambutnya dengan pelan. Setelah itu, dia melihat telapak tangannya terdapat noda berwarna merah.

"Darah dari mana ini?" Tanya Surya.