Chereads / Gandeng Mayit / Chapter 9 - Ketika Keanehan Menghampiri 4

Chapter 9 - Ketika Keanehan Menghampiri 4

"Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Anes!" Tegur Surya yang masih fokus terhadap pekerjaannya.

"Bagaimana aku nggak ngomong, ini semua nggak adil bagi kita, Kakak, dan adik. Apa Kakak nggak merasakan kalau kita ini menderita karena Ayah, meskipun dia tidak pernah menyakiti kita dari segi fisik, tapi Ayah menyakiti kita dari segi batin. Mental kita yang kena, Kak. Bahkan terasa lebih menyakitkan dibandingkan dengan luka fisik. Bisa Kakak bayangkan, luka secara nyata dapat diobati secara langsung, tapi bagaimana kalau luka yang tak nampak?"

"Ya mau bagaimana lagi karena memang seperti itulah faktanya. Mau kita berontak pun akan tetap sama saja atau bahkan malah memperburuk masalah. Perlu kamu ketahui bahwa sifat itu mendasar pada tiap diri seseorang."

"Tapi, Kak, andai Ayah itu nggak gila, maka kemungkinan kita ini punya uang. Kakak bisa lihat sendiri kan bahwa Ayah suka mencuri uang Ibu."

"Kalian lagi ngomongin apa?" Tanya Sholeh yang tiba-tiba muncul di dekat mereka duduk. Di sela-sela jarinya masih ada putung rokok dengan ujung terdapat warna merah menyala.

Anes memejamkan matanya untuk memberantas kebodohannya. Jantungnya berdetak sangat cepat dan keringat dingin pun mulai menyelimuti dirinya. Dia menatap Surya untuk meminta tolong, akan tetapi Surya hanya cuek saja seakan tidak terjadi apa-apa. Tangan Surya saja masih tetap bergerak naik turun membersihkan sisik ikan.

"Nggak ada," jawab Anes sedikit gemetar.

"Oh, masaknya yang cepat ya, Ayah sudah lapar!"

"Iya."

Setelah itu, Sholeh pergi meninggalkan Surya dan Anes. Mereka berdua akhirnya bisa bernapas lega. Ketika hal tadi terjadi memang sangat terasa canggung.

"Kamu sih kalau ngomel nggak lihat tempat. Untung tuh si beban nggak dengar!"

"Beban?"

"Iya, beban hidup bagi keluarga kita," jawab Surya agak sedikit meninggikan nada bicaranya.

"Tumben nih ngedukung pendapatku."

"Ya mau gimana lagi, faktanya memang seperti itu sih."

Mereka berdua melanjutkan pekerjaan sampai selesai. Semua keluarganya kumpul untuk makan bersama, kecuali kakak dan adik pertamanya, mereka berdua sedang membantu sedang membantu Siti mencari uang. Biasanya akan pulang ketika siang hari, sekaligus membawakan makan siang untuk Siti.

Setelah perut kenyang dan pekerjaan rumah beres, Surya memutuskan untuk main bersama teman-temannya. Dia yakin bahwa beberapa teman-temannya ada yang sudah pulang sekolah. Tak lupa pula dia membawa mainan yang dinamakan dengan egrang bathok.

Mainan tersebut sangat populer. Selain mudah didapat, cara membuatnya pun sangat mudah. Kini Surya menggunakan egrang bathok sebagai ganti alas sandal menuju ke rumah temannya. Terasa lumayan lelah, tapi tergantikan oleh rasa bahagia.

Suara bathok kepala tersebut cukup nyaring setiap hentakan tekanan saat ada pijakan. Meskipun mainan tersebut sedang populer, tapi tidak semua anak memiliki. Jadi, tujuan Surya membawa mainan tersebut untuk menarik hati orang lain, sehingga mau berteman dengan dirinya. Bukan berarti terima saja atas perlakuan orang lain, tapi dia ingin kerukunan. Dalam suasana rukun, segala sesuatu akan terasa nyaman dan menyenangkan, jauh berbeda kalau sudah berhubungan dengan kebencian. Lingkungan kebencian hanya akan menumbuhkan rasa dendam, baik secara langsung maupun tidak secara langsung.

"Surya!" Panggil seseorang dari arah belakang.

Surya pun menengok ke arah belakang. Rupanya ada anak laki-laki yang berdiri sambil tersenyum kepadanya. Surya turun dari egrang bathok. Dia mengerutkan keningnya sampai membentuk gelombang-gelombang kecil di bagian dahi. Dia merasa tidak asing dengan anak laki-laki tersebut.

Langkah anak laki-laki tersebut semakin dekat dengan dirinya. Dia pun menyapa, "Hai!"

"Hai, kamu siapa ya? Apakah penduduk baru? Aku merasa bahwa aku baru kali pertama melihatmu."

"Nggak kok, aku penduduk lama di sini, hanya saja aku jarang keluar rumah dan rumahku dekat dengan kebun yang tadi pagi kamu mancing."

Seketika Surya terkejut. Kedua matanya melotot dengan gelombang kecil yang semakin tercetak jelas di bagian dahi. Dia merasa bahwa sekarang dirinya sedang mimpi.

"Kamu kenapa?"

"Aku cukup terkejut karena yang tadi pagi itu, aku kira hantu."

"Loh kok hantu, itu memang aku loh. Hm, aku langsung pergi begitu saja karena tadi ada perlu mau buang air besar, hehehe."

"Selama aku mancing di sana, aku nggak pernah lihat ada rumah di sekitar sana. Apa rumah kamu baru?"

"Nggak kok, rumahku sudah lama di sana. Nanti kapan-kapan kamu main ke rumahku."

"Oke. Nama kamu siapa?" Tanya Surya sambil mengulurkan tangan kanannya sebagaimana ketika akan berkenalan dan berjabat tangan.

Toni membalas jabatan tangan. "Namaku Toni, nama kamu Surya kan?"

Tubuh Surya bergetar hebat ketika telapak tangannya bersentuhan dengan telapak tangan milik Toni. "Tangan kamu dingin banget, seperti es batu."

"Hehehe iya nih, aku tiap hari memang selalu dingin seperti ini."

"Heran deh. Padahal manusia hidup itu suhu tubuhnya hangat loh. Bisa dingin sih, tapi biasanya dalam keadaan musim dingin, kehujanan, atau ketika merasa takut maupun gemetar hebat. Kalau sekarang kan sudah siang, bahkan terik matahari membuat bumi terasa panas banget."

Surya masih meneliti setiap inci wajah Toni. Dia tidak menemukan hal janggal karena warna bibirnya saja pink sebagaimana warna bibir pada umumnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tangannya dingin dan pucat.

"Surya!" Panggil seseorang.

Surya pun mencari sumber suara tersebut, pasalnya dia tidak asing terhadap suara tersebut. Kedua matanya menyipit untuk memastikan keberadaan orang tersebut. Semakin mendekat langkah kaki orang yang memanggilnya, maka semakin jelas pula wajahnya.

Di belakang seseorang yang memanggilnya ada orang lain pula yang datang sambil mengayuh sepeda. Surya sangat yakin bahwa mereka yang datang adalah teman-temannya. Tentu saja Surya sangat senang karena akhirnya mereka bisa bertemu dan keinginannya mau main bareng akan tersampaikan.

"Kamu di sini ngapain sih?" Tanya Anton.

"Aku mau main ke lapangan. Biasanya kalau jam segini di saja ramai," jawab Surya.

Cit!

Suara sepeda berhenti ketika direm. Dia adalah Asep. Seperti biasa bahwa dia akan terlihat jelas dari diantara teman-temannya. Secara dari tampilan saja beda jauh, dia benar-benar terlihat keturunan orang kaya.

"Aku kira kamu sudah gila atau jangan-jangan sedang praktik mau jadi artis yang main film-film gitu. Hm, tapi kalau kamu seperti tadi cocoknya jadi pemain film horor," ujar Asep yang masih setia duduk di atas sepedanya.

"Kalian pada ngomong apa sih? Aku nggak paham."

"Nggak paham gimana? Dari arah jauh kita lihat kamu macam lagi ngobrol sama orang lain," kata Asep.

"Iya nih si Surya," imbuh Anton.

"Nggak sendiri kok, aku sama temanku," sangkal Surya tidak mau dianggap orang gila, meskipun teman-temannya tidak mengatakannya secara langsung, tapi firasatnya menunjukkan hal tersebut.

"Mana?"

"Ini," kata Surya. Pada saat itulah dia terdiam dan kebingungan. Tidak ada satupun orang yang berada di sampingnya kecuali Anton dan Asep.

"Mana? Nggak ada kan?"