Embun pagi menyambut sejuknya pagi hari. Hembusan angin terasa sangat segar. Kini Surya berdiri di depan rumah sambil merentangkan kedua tangannya.
Hari Minggu adalah hari kebahagiaan Surya, di mana dirinya bisa bermain bersama teman-temannya dari pagi karena beberapa temannya yang sekolah libur. Surya jalan kaki menuju ke lapangan untuk berkumpul dengan beberapa temannya. Seperti biasa dia tidak menggunakan sandal.
Jangankan untuk membeli sandal. Membeli makan saja susah. Jadi, uangnya lebih baik digunakan untuk makan daripada beli sandal. Sebenarnya sandal di rumah ada, hanya saja jumlahnya terbatas dan seringkali digunakan oleh Tiya. Lagi pula Surya juga sudah terbiasa jalan tanpa menggunakan sandal, meskipun terkadang ada jalanan yang hanya terbuat dari kumpulan kerikil saja. Lebih parahnya lagi sampai kaki Surya terkadang muncul kapal di bagian telapak kaki.
"Sur!" Panggil seseorang dari belakang. Surya pun menghentikan langkah kakinya lalu berbalik badan untuk mengetahui orang yang telah memanggilnya.
Surya memutar bola matanya malas ketika tahu orang tersebut, dia adalah Toni. Bukan karena Surya tidak mau berteman dengan Toni, dia hanya tidak ingin dianggap gila lagi oleh teman-temannya karena Toni tidak terlihat di dunia nyata. Surya pun melanjutkan jalan tanpa memperdulikan kehadiran Toni.
Namun, itu semua salah. Namanya saja hantu, sehingga Toni bisa berjalan lebih cepat dari Surya hanya dengan kekuatannya. Tiba-tiba Toni berdiri di depan Surya sambil merentangkan kedua tangannya. Untung saja Surya menyadari hal tersebut, sehingga mereka berdua tidak sampai bertabrakan. Tubuh Toni memang tidak nampak jika dilihat oleh orang bisa, tapi jika Surya tentu sudah bisa melihat bahkan bersentuhan dengan tubuhnya pun juga bisa, kecuali kalau memang Toni sengaja membuat dirinya agar tidak bisa disentuh oleh Surya.
Surya sangat kesal melihat Toni yang berusaha menghalang-halangi jalannya. Apalagi melihat wajah Toni malah cengengesan seperti orang yang tidak memiliki salah. Oleh karena itu, Surya berusaha menahan diri dan bersikap seperti manusia normal seakan tidak melihat kehadiran Toni karena dia tidak ingin dianggap aneh oleh orang lain.
"Mau kemana?" Tanya Toni yang masih berusaha menghalang-halangi langkah kaki Surya. Jika Surya ke kanan, maka Toni pun akan ikut ke kanan. Begitupun sebaliknya jika Surya geser ke kiri.
Semakin bersikap tidak peduli, maka Toni semakin menjadi-jadi. Sesekali dia juga mendorong Surya hingga membuatnya hampir saja terjatuh. Namun, Toni hanya masih tetap senyum-senyum saja.
Surya menatap sekelilingnya dulu untuk memastikan situasi dan kondisi karena dia sudah tidak tahan terhadap perlakukan Toni. Setelah dirasa cukup aman, Surya pun menatap Toni tajam. Namun, justru karena itulah wajahnya malah dipukul oleh Toni.
"Aduh, dasar setan kurang ajar!" Umpat Surya sambil mengelus-elus wajahnya. Untung saja tidak terkena mata karena mata adalah bagian yang paling sensitif yang berada di kepala.
Lagi-lagi Toni hanya cengengesan. Bahkan raut wajahnya itu seperti anak kecil yang sedang bahagia. Lebih parahnya lagi dia memasang wajah sok imut seperti anak kecil yang sedang merayu orang dewasa hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Ck, apa-apaan sih, Ton, minggir sana aku mau lewat!" Ketus Surya langsung melangkahkan kaki, tapi malah tubuhnya tertabrak tubuh Toni. Hal itu membuat Surya meringis karena benturan antara kepala.
"Aku mau ikut kamu," kata Toni.
Lagi-lagi Surya mengecek situasi dan kondisi lagi. Dia benar-benar sedikit gusar karena Toni datang di tempat umum. Kalau di tempat sepi, maka Surya bisa leluasa menjawab ucapan Toni.
"Kamu tahu? Kamu ini hantu dan nggak semua orang bisa melihat dirimu. Kalaupun kamu ikut main, maka yang ada kamu membuat orang lain ketakutan," ujar Surya agak kesal. Dia kira berteman dengan hantu itu menyenangkan. Pada kenyatanya malah sekali menyusahkan, maka sangat menyusahkan. Belum lagi hal tersebut menyangkut harga diri.
"Aku tahu, tapi kan aku juga mau main."
"Kamu bisa bermain dengan teman hantumu."
"Kalau jam segini, mereka sedang pada tidur, kamu kan pasti tahu sendiri. Di saat dunia nyata siang hari, maka dunia gaib dalam waktu malam hari di mana mereka banyak yang istirahat sebagaimana manusia pada umumnya. Begitupun sebaliknya, masa anak gandeng mayit gitu saja nggak tahu, dasar bodoh!" Ejek Toni.
Kedua tangan Surya mengepal hingga muncul beberapa urat kecil karena kesal atas kalimat yang keluar dari mulut Toni. "Aku memang bodoh dan kamu tahu sendiri karena aku tidak sekolah!"
Setelah itu, Surya langsung melanjutkan melangkahkan kaki dan tidak memperdulikan Toni. Dia memang mudah tersinggung kalau dikatain bodoh, meskipun itu pada kenyataannya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa Surya hanya bodoh soal akademik, tapi tidak untuk hal selain itu, terutama dalam hal mencari uang dan makan.
Toni mengacak rambutnya frustasi karena dia menyesal sudah salah berbicara. Dia pun merasa bersalah atas apa yang telah diucapkannya. Memang bahwa ucapan itu sangat tajam, sehingga kalau salah kata dampaknya bisa besar.
"Sur, jangan marah dong!" Kata Toni ketika di depan Surya hanya dengan sekali kedipan mata. Dia memang sengaja membuat dirinya transparan agar Surya tidak bisa menabrak dirinya. Jadi, pada saat itu juga Surya seperti hanya melewati sebuah bayangan saja.
Cara tersebut tidak mempan, sehingga Toni berusaha untuk mensejajarkan langkahnya dengan Surya. Dia masih tetap memohon agar Surya tidak marah lagi dan tidak mengusirnya. Wajahnya dibuat menyedihkan agar Surya mau menerimanya lagi.
"Sur, tolong dong jangan gitu," pinta Toni.
"Bisa diam nggak sih? Kamu kan bisa tuh tidur seperti yang lain!" Ketus Surya.
"Aku bosan dan aku nggak bisa tidur."
"Bukan urusan aku, secara dunia kita juga beda."
"Aku tahu, tapi kan nggak ada salahnya kalau aku ikut kamu."
Surya berhenti melangkahkan kaki. Dia menatap Toni lalu berkata, "Oke, kamu boleh ikut, tapi kamu tidak boleh macam-macam, terutama menjahili teman-temanku, meskipun itu hanya sebatas memegang barang. Ingat ya, tidak ada yang bisa melihat kamu. Jadi, jangan macam-macam!"
Toni langsung mengangguk setuju. Dia menganggukkan kepala berkali-kali dan bersemangat. "Ayo!"
Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke lapangan. Baru beberapa langkah ada yang kembali membuat langkah Surya terhenti. "Surya!"
Mereka berdua pun menatap ke arah sumber suara tersebut. "Sasa?"
"Sini, Sur!" Suruh Sasa sambil melambaikan tangan.
Surya pun menghampiri Sasa. Dia mengernyitkan kedua alisnya lalu berkata, "Loh, bukannya makan di tengah pintu masuk itu pamali ya?"
"Apa iya?" Tanya Sasa lalu kembali melahap nasi yang ada di piringnya.
"Kamu perempuan nggak boleh gitu. Makan di tengah jalan pintu masuk itu pamali, nanti katanya lamarannya buat kamu nggak bisa masuk."
"Hah, maksudnya?" Tanya Sasa tidak mengerti maksud yang Surya katakan.